Ciri utama orang-orang dengan sikap politik mendua serupa wajah Janus tersebut ialah mereka dari awal sudah mendaku diri sebagai golongan putih (Golput) yang tak akan memilih salah satu calon presiden dan calon wakil presiden pada perhelatan Pilpres 9 Juli nanti. Tapi pada praktinya mereka menunjukan sikap kebalikannya alias tak netral.
Tak ada yang salah dengan Golput. Di alam demokrasi ini Golput adalah juga hak politik seseorang tatkala menurut barometer pemikiran kaum Golput visi dan misi Capres yang ada tak satupun mampu meyakinkan mereka untuk berketetapan hati memilih salah satu dari pasangan Capres dan Cawapres.
Angka Golput yang cukup tinggi adalah ancaman serius bagi tata pemerintahan yang dihasilkan proses demokratisasi walhasil para penyelenggara pemilu berikhtiar sedemikian rupa untuk menarik minat pemilih untuk tak lagi Golput dan mulai memberikan suaranya pada perhelatan pemilihan umum.
Ya, jika angka Golput membesar siapapun presiden terpilih dia sekurang-kurangnya tidak mendapatkan simpati dan dukungan dari orang-orang Golput. Di sinilah Golput mendapatkan tempat istimewa. Golput menjadi ancaman yang potensial mendelegitimasi presiden terpilih.
Menjelang pemilihan Capres dan Cawapres 9 Juli nanti sudah banyak pihak yang bakal menjadikan Golput sebagai pilihan politik. Di antara mereka ada yang berhasil membangun argumentasi politiknya secara meyakinkah ihwal keputusannya untuk Golput.
Dalam berargumentasi orang-orang Golput mampu secara berimbang dan mengesankan menunjukan kelebihan dan kelemahan masing-masing Capres dan Cawapres yang berlaga. Dari segi ini Golput jelas bukan pilihan asal-asalan, tapi mengandaikan adanya alasan-alasan politik yang rasional dan bertanggungjawab. Jikapun seorang Golput tak memiliki kemampuan bernalar secara rasional dan bertanggungjawab maka diam adalah pilihan yang masuk akal.
Golput adalah pilihan bagi pihak-pihak yang berketetapan memilih jalan sunyai dalam politik.Bagaimana tidak, ia memutuskan untuk tak memilih di saat ratusan jutan orang lain justru antusias memilih.
Tapi, ada yang aneh pada fenomen Golput pada Pilpres kali ini. Sebuah keanehan yang lebih mirip kekoyolan politik.
Ada pihak-pihak yang sudah dari awal menyebut diri Golput tapi pada kenyataanya tindakan, ucapan, dan tulisan-tulisannya terutama yang berseliweran di jejaring sosial,justru menunjukan kebencian dan ketidaksukaan pada pasangan Capres dan Cawapres tertentu.
Walhasil, Golput semacam ini secara sadar mengarahkan orang lain untuk memilih Capres dan Cawapres yang secara "diam-diam" didukung Golput-golputan ini.
Golput abal-abal secara sadar mendiskredikatan satu pasangan Capres Cawapres dan pada saat bersamaan memuja pasangan Capres Cawapres lain.
Golput gadungan ini tak sedikit jumlahnya. Golput sejenis ini adalah contoh terbaik dari parasit politik yang mengancam kedewasaan demokrasi. Bagaimana tidak. Jika Pasangan Capres dan Cawapres yang "diam-diam" ia dukung menang ia akan ikut larut dalam sorak sorai kemenangan sebaliknya jika Capres dan Cawapres yang secara rahasia ia dukung ternyata kalah ia akan so cool meski ada sedikit kekecewaan, lantaran toh dirinya adalah Golput.
Di sini Golput terciderai makna luhurnya menjadi sekadar hipokrisi dan kepengecutan.
Salam 2 jari