Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Minder Tersebab Celoteh Anak Kemarin Sore (Baca: Anak Milenial)

22 Juni 2020   08:38 Diperbarui: 22 Juni 2020   09:39 371 5
Saya mendadak merasa minder, penyebabnya karena 'anak-anak kemarin sore'. Meski secara generation theory termasuk kelompok yang sama, jujur merasa 'terintimidasi' oleh anak-anak yang sering disebut generasi milenial ini.

Bermula saat diundang mengikuti pertemuan virtual via ZOOM dengan anak-anak dari tingkatan SD, SMP, SMA dan anak kuliahan bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Minggu (21/6/2020).

Anak-anak ini berasal dari berbagai lembaga pendidikan dan komunitas di Indonesia. Meski hari Minggu, ada yang semangat ngikuti diskusi pake baju sekolah, bahkan ada yang memakai baju khas masyarakat adat yang unik dan cantik.

Karena tema acaranya ngobrol santai generasi muda dengan Menteri LHK, sayapun awalnya ya santai-santai saja. Menyimak layar sambil nyeruput teh hijau.

Acara ngobrol santai diawali dengan keyakinan Menteri Siti Nurbaya bahwa generasi muda yang produktif, smart, inspiratif, inovatif dan gigih adalah aset penting bagi Negara.

Kemudian Menteri mulai ambil posisi sebagai pendengar, pencatat, sekaligus penyimak. Bersamanya ikut Sekjen KLHK, Kepala BLI KLHK, serta para pendamping virtual yang terdiri dari para Dirjen, Kepala P2SDM, Direktur dan Kepala Biro.

Semua pejabat negara diminta menjadi pendengar celoteh 'anak-anak kemarin sore'. Ibarat kata, anak-anak yang punya panggung, kami yang tua-tua cuma disuruh jadi penonton. Moderatornya Tenaga Ahli Menteri (TAM) LHK, Pak Eka dan Bu Nining.

Celoteh pertama dimulai dari murid SD  Global Mandiri Cibubur yang pernah mengikuti kegiatan 'Sehari Menjadi Menteri LHK', diantaranya I Putu Narendra, Keandra, Denia, Andi, Juliet, Faiz, Zaira, dan Shane.

Lalu ada Daffa, Daffi, dan Kai Matari dari SD Mentari Intercultural School. Diikuti dari perwakilan murid SD, SMP dan SMA Lembaga Pendidikan Nasional Satu Pondok Gede, diantaranya Adzra, Salmahaura, Maharani, Salwa, Bulan, Zacky, Azka, Rafid, dan Salma.

Sampai sejauh ini, jujur saya sudah mulai merasa 'panas dingin'. Mereka yang imut-imut ini sudah amit-amit bicara soal langkah-langkah nyata penyelamatan lingkungan, energi dan emisi. Bukan lagi bicara mainan teletubies atau hello kity.

Semakin minder saat para panelis pertemuan internasional perubahan iklim (COP UNFCCC) angkat bicara. Ada Kevin, Nesha, Swietenia, Assruro, Rafa, Alfa, Laetania, Adinda, dan Ramadhan. Usia mereka ada yang masih di bawah kepala dua. Sangat belia.

Nama-nama ini pernah hadir sebagai panelis Paviliun Indonesia pada COP 21 UNFCCC di Paris (2015), COP 22 di Marrakesh (2016), COP 24 di Katowice (2018) dan COP 25 di Madrid (2019).

Mendengar celotehan mereka tentang ikhtiar yang sudah dilakukan baik di darat, laut, dan udara, di dunia nyata maupun dunia maya, membuat saya geleng-geleng kepala.

Di usia sangat belia, mereka sudah berbuat nyata tanpa banyak bicara. Mereka sudah memberi pada negara tanpa menunggu diminta. Mereka sudah berinovasi saat tante, oom, kakak atau abang mereka mungkin masih asyik menyusun rencana ''Eh besok kita demonstrasi tema apa ya?! besok mau tik tok-an apa lagi ya? pekan ini Drakor session berapa ya?''

Anak-anak ini tidak hanya berisik menyikapi persoalan lingkungan tapi memberi solusi. Tidak mengejar tenar nama, namun berani berbuat semampu tangan dan langkah kecil kaki mereka. Nyata, bukan retorika.

Contohnya, ada yang mendedikasikan diri menyelam berkali-kali hanya buat ngumpulin sampah di laut. Namanya Swietenia Puspa Lestari. Anak Indonesia asli. Kelahiran 1994. Saya udah mau tamat SD, dia baru lahir.

Kecintaannya pada keanekaragaman hayati laut membawanya sebagai panelis di Paviliun Indonesia, COP 23 UNFCCC, Bonn, Jerman, November 2017.

Namanya juga tercatat sebagai BBC's 100 Most Inspiring and Influential Women 2019, dan Forbes' 30 under 30 Asia's Social Entrepreneurs 2020.

Ia juga menjadi Co-founder dan Executive Director Divers Clean Action. Serta Invitee Obama Foundation Leaders Asia-Pacific Forum, Malaysia, Desember 2019. Makin minder berlipat-lipat saya!

Itu baru satu, masih banyak anak-anak milenial lainnya yang berceloteh santuy pada Menteri LHK tentang komunitas cinta lingkungan, aksi nyata merawat bumi, menerapkan perilaku zero waste, memilah sampah plastik, dan aksi mengurangi emisi karbon dimulai dari hal-hal kecil di sekitar mereka.

Bahkan informasi dari Kuark Internasional, ada seorang anak dari Bima, NTB, yang melakukan penelitian dan menciptakan aplikasi jejak karbon.

Gimana batin gak meronta-ronta. Dulu saat seusia mereka, tahap pemikiran saya masih seputar Indomie mau dimasak goreng apa direbus? telor mau didadar apa diceplok? Lha mereka di usia masih unyu-unyu begitu sudah mikir soal dampak perubahan iklim bagi Tanah Air-nya. Sudah berbuat nyata jauh melampaui masanya. Busyet dah...!Tetap Alhamdulillah.

Bonus demografi Indonesia bagai pedang bermata dua. Menyimak kelugasan generasi milenial yang berwawasan lingkungan, cerdas, kritis, produktif, dan inovatif, membuat saya optimis bahwa bonus demografi yang juga bermata musibah bisa berubah menjadi berkah. SDM yang tangguh bisa menjadi benteng kokoh menjaga Republik Indonesia, dengan segala lebih kurangnya.

Mengutip dari sumber Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia (2018), istilah milenial pertama kali dicetuskan oleh William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Mereka menciptakan istilah ini tahun 1987.

Jika didasarkan pada Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Generasi milenial juga disebut sebagai generasi Y. Istilah ini mulai dikenal dan dipakai pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993.

Dalam buku terbitan Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak (2018), konsep acuan generasi milenial adalah Penduduk Indonesia yang lahir antara tahun 1980-2000.

Sebelum generasi milenial ada Generasi X yang menurut pendapat para peneliti lahir pada rentang tahun 1960-1980. Berikutnya adalah generasi Baby Boom, yaitu generasi yang lahir pada rentang tahun 1946-1960. Generasi ini terlahir pada masa perang dunia kedua telah berakhir sehingga perlu penataan ulang kehidupan. Disebut Generasi Baby Boom karena di era tersebut kelahiran bayi sangat tinggi.

Terakhir generasi tertua adalah generasi veteran yang lahir kurang dari tahun 1946. Penyebut istilah generasi ini bermacam-macam oleh para peneliti, seperti silent generation, traditionalist, generasi veteran, dan matures.

Generasi setelah generasi milenial disebut Generasi Z yang lahir rentang tahun 2001 sampai dengan 2010. Generasi Z ini merupakan peralihan dari Generasi Y atau generasi milenial pada saat teknologi sedang berkembang pesat. Pola pikir Generasi Z cenderung serba instan.

Terakhir adalah Generasi Alpha yang lahir pada 2010 hingga sekarang. Generasi ini adalah lanjutan dari generasi Z yang sudah terlahir pada saat teknologi semakin berkembang pesat. Mereka sudah mengenal dan berpengalaman dengan gadget, smartphone dan kecanggihan teknologi lainnya ketika usia mereka yang masih dini.

Tahun 2020 disebut sebagai tahun dimulainya bonus demografi, dimana generasi milenial berada pada rentang usia 20 tahun hingga 40 tahun. Usia tersebut adalah usia produktif yang akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Saya cukup surpraise sekaligus mengapresiasi inisiatif Menteri Siti Nurbaya yang berasal dari generasi jauh di atas generasi milenial, merangkul anak-anak ini melalui program-program kerja kementerian. Jarang-jarang ada orang tua mau 'menjadi pendengar yang baik dan bijak' untuk anak-anak muda.

Inisiasi mau merangkul, ngobrol santuy, dan mau mendengar ala Siti Nurbaya ini menurut saya perlu menjadi tradisi, terutama di lembaga pemerintah. Karena sangat penting memutus kesenjangan atau bahkan ketimpangan pola pikir dan cara bertindak antar generasi.

Dengan memposisikan 'para pejabat negara menjadi pendengar celoteh anak kemarin sore', Menteri Siti Nurbaya sedang membagikan nilai edukasi sekaligus regenerasi inspirasi setelah banyak corrective action (langkah koreksi) dilakukan, khususnya di sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada niat tulus mendorong keterlibatan semua generasi untuk mengawal berbagai langkah koreksi itu sama-sama. 'Generasi kemarin sore' yang diberi kepercayaan dan ruang karya yang luas, akan memancing lahirnya kreatifitas, sikap kritis, dan inovasi yang bisa membuka kesempatan/jendela peluang (window of opportunity) bagi kemajuan bangsa.

Ada nilai-nilai keluhuran, spirit tanpa batas, dan kepolosan dari generasi belia ini, yang mungkin sudah sulit kita temukan pada generasi di atasnya.

Simak saja pesan menyentuh berikut ini dari Octavia Rungkat Tuani, perwakilan anak muda komunitas adat Dayak Iban rumah panjang Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, komunitas adat peraih penghargaan Equator Prize UNDP (salah satu badan di bawah PBB) dan Kalpataru 2019. Pesannya:

Hutan adalah Bapak kami karena menyediakan segalanya. Hutan ibarat Supermarket bagi kami.

Tanah adalah Ibu kami, karena telah melahirkan tumbuhan-tumbuhan dan pepohonan yang ada di sekitar kami.

Air adalah darah kami. Ibarat darah di dalam tubuh manusia, apabila tidak mengalir maka kita akan mati. Demikian pula dengan Hutan tanpa aliran air akan mati.

Budaya cinta hutan dan alam harus menjadi bagian dari hidup kami. Kami akan tetap meneruskan cara hidup orang tua kami. Terutama agar budaya tersebut tidak hanya berhenti di generasi kami saja, tetapi terus dilanjutkan ke generasi yang akan datang. Agar generasi-generasi setelah kami tetap memiliki semangat yang sama untuk menjaga dan memelihara hutan.

Kami harus bisa mengejar pendidikan tanpa harus meninggalkan budaya Iban dan menjaga hutan kami. Karena kalau bukan kami (yang menjaga), siapa lagi?

Hal menyentuh lainnya disampaikan ananda Alfa Ahoren. Partisipan COP24 UNFCCC dari Papua ini berpesan:

"Hutan itu kitong punya Mama, ada Mama ada kehidupan. Hutan itu sumber mata air, kalau hutan rusak akan menjadi sumber air mata."

SUNGGUH BUKAN PESAN KALENG-KALENG dari anak kemarin sore.

Anak-anak ini mengingatkan saya pada kalimat Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.Soekarno, yang mengatakan ''Beri padaku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia''.

Indonesia ternyata punya banyak pemuda-pemudi yang siap mengguncang dunia. Lebih dari 10.

So...buat kamu. Iya kamu yang sudah mulai menua. Udah ngapain aja untuk bumi dan Indonesia? atau jangan-jangan masih mikir masak telor mau didadar atau diceplok?

Salam
________

*Tenaga Ahli Menteri LHK, Dosen FIA Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun