Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Sang Profesional : Sadar Diri dan Berkompetensi

25 Maret 2013   02:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:16 380 0

Apapun pilihan kata atau redaksional kalimat seseorang saat menjawab pertanyaan tentang alasan kenapa dia bekerja, pada umumnya bermakna serupa yakni ujung-ujungnya duit alias UUD. Boleh saja seseorang mengungkapkan jawaban bahwa dia butuh eksistensi dan memiliki pekerjaan adalah ujud aktualisasi diri. Mungkin banyak yang setuju bahwa alasan itu menjadi milik segelintir orang saja, yaitu orang-orang yang berasal dari keluarga konglomerat. Tetapi alasan ini akan terdengar satir jika yang menjawab adalah seseorang yang berlatar belakang kalangan melarat. Adalah janggal jika dia bekerja bukan untuk memperoleh penghasilan demi sesuap nasi, atau kalau bisa demi segenggam berlian.

Dan demi anak bisa mengenyam pendidikan, orang tua tak segan-segan menguras kantong, memeras keringat, menebas lara dan derita, semata-mata supaya nasib generasinya lebih baik. Ukurannya adalah memiliki pekerjaan mapan dan gaji yang bersisa untuk simpanan hari depan. Harta benda yang terpaksa ditukar dengan segepok uang untuk dibayarkan atas biaya pendidikan tak dipandang sebagai kerugian karena bagi beberapa orang, anak adalah investasi. Mereka menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap hasil pendidikan anak-anaknya, yaitu berhasil mencapai gelar dan profesi terbaik serta penghasilan yang layak. Harga yang harus dibayar untuk mewujudkan ekspektasi orang tua menjadi sangat tinggi. Anak-anak menempuh pendidikan dengan motivasi yang sering terkesan menyentuh hati yaitu menyenangkan hati orang tua, membalas budi dan berbakti kepada orang tua. Mereka berusaha setidak-tidaknya bisa mengembalikan modal pendidikan yang sudah dikeluarkan orang tuanya.

Sependek yang saya amati, produk lulusan perguruan tinggi menjadi agak mengkhawatirkan ketika orientasinya adalah uang alias money oriented. Jiwanya dialiri paham hedonisme, dimana materi dan harta adalah sesuatu yang utama. Ambisi mengejar materi sungguh mempengaruhi sepak terjang para sarjana masa kini. Ini sangat berelevansi dengan cost pendidikan yang mahal. Slogan pendidikan gratis hanya sebatas di level pendidikan dasar (itupun tak mudah dipraktekkan). Untuk fase perguruan tinggi harap mencari solusi sendiri. Gelar dan ijazah dengan stempel perguruan tinggi adalah prioritas saat ada lowongan rekruitmen tenaga kerja golongan karyawan pimpinan. Ijazah adalah indikator mudah untuk menyaring siapa-siapa yang berpotensi dan kompetensinya diakui secara resmi. Mungkin saja seseorang memiliki potensi yang handal tetapi tanpa ijazah dia tak dianggap berkompetensi. Ijazah menjadi sangat krusial untuk meraih profesi dan pekerjaan mentereng. Dan demi mendapatkan ijazah seseorang harus sekolah. Setinggi-tingginya kalau bisa sehingga bargaining power-nya pun meningkat. Semakin banyak dan tinggi level ijazahnya, makin luas lahan kerja terbentang di depan mata bahkan bukan pekerjaan yang dicari melainkan pekerjaanlah yang menghampiri. Dan inilah yang diidam-idamkan banyak orang.

Setelah masuk dunia kerja, tak jarang terjadi culture shock syndrome alias kejutan budaya di zona karir. Bukan hanya pekerja baru yang mengalami kejutan ini, pemilik perusahaan atau pemimpin institusi pun mengalami hal yang sama. Si pekerja merasa kaget dengan iklim kerja yang tak sesuai bayangannya, khususnya tak sesuai harapannya. Terkadang job desk yang dia emban tak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Si tukang insinyur harus rela menjadi accounting officer di sebuah bank, atau seorang dokter menjadi executive staff manager dalam sebuah perusahaan farmasi. Tak semua orang mampu menerima, beda kepala beda pula paradigma dalam memandang esensi suatu pekerjaan. Ada yang bertahan dan menciptakan visi misi yang baru, tetapi tak sedikit yang angkat kaki karena tereliminasi dari teori evolusi atau seleksi alam di belantara profesi

Si pemilik perusahaan atau pimpinan institusi juga memiliki kendala mengantisipasi kejutan atas berbagai model lulusan sarjana yang menjadi pekerjanya. Permasalahan sumber daya manusia (SDM) yang belum siap pakai sering dijumpai. Boro-boro bicara profesionalisme, kemampuan calon pekerja kadang tak terwakili oleh sebutan gelar yang tertera dalam ijazahnya. Meski umumnya bisa diantisipasi, namun ini tetap menjadi keluhan berarti bagi pemilik perusahaan.

Paradigma UUD atau visi untuk meraih kerja layak dan gaji yang besar terkadang menjadi jebakan bagi orang dalam membekali diri pada masa-masa pendidikan. Untuk itu orang berlomba sekolah setinggi langit supaya nantinya kalau punya kerja bisa menghasilkan banyak duit. Hal ini membuat orang melupakan aspek-aspek karakteristik pekerja yang didambakan oleh institusi atau perusahaan yakni profesionalisme. Orang sibuk mengejar pengetahuan kognitif yang digadang-gadang sebagai parameter kesuksesan dalam menamatkan pendidikan. Ini disebabkan karena model evaluasi akhir dari hasil pendidikan sebagian besar adalah parameter kognitif meski parameter skill juga diujikan, untuk jurusan-jurusan tertentu seperti medis.

Seringnya kita melupakan aspek lain yang sebenarnya turut memberi kontribusi besar dalam mencetak lulusan dan calon pekerja yang handal dan profesional. Mendidik calon profesional bukan sekedar memberikan bekal skill dan kognitif saja, tetapi juga aspek-aspek lain yang bersinggungan dengan hubungan antarmanusia. Dalam artian pembentukan attitude atau perilaku yang baik, penajaman karakter sebagai pribadi yang loyal, juga prinsip-prinsip kepemimpinan. Ini wajib hukumnya karena seorang profesional seterampil dan sepintar apapun dia, kredibilitasnya akan hancur ketika sepak terjang dan perilakunya tak dapat dipertanggung jawabkan, alias membahayakan keselamatan orang lain, merugikan publik, dan mencemarkan nama baik dirinya sendiri maupun institusi.

Profesionalisme sangat erat kaitannya dengan kolaborasi unsur-unsur knowledge, skill, dan attitude. Content ini dibingkai dalam suatu frame yang bernama competency.

  1. Knowledge

Bekal pengetahuan dan tingkat kognitif yang tinggi mutlak diperlukan saat seseorang dihadapkan dalam evaluasi pendidikan. Ini akan mempengaruhi kualitasnya sebagai lulusan yang baik dan potensial dalam dunia kerja apapun bidang yang digelutinya. Pengetahuan dalam konteks profesionalisme mestinya tak hanya dicari dalam bangku sekolah saja. Setelah tamat sekolah dan menjadi postgraduate mestinya pengetahuan senantiasa diupdate. Oleh karenanya continous learning atau longlife education mestinya dilakukan oleh para professional di bidang masing-masing. Tak ada salahnya, bahkan sangat baik apabila merasa butuh mengikuti seminar, pelatihan atau workshop. Kepekaan terhadap continous learning ini bukan saja wajib bagi para professional tetapi pemilik institusi pun mestinya peka dalam memetakan training bagi para pekerjanya. Lepas dari idealism tentang pengembangan kognitif, pengetahuan dan kepandaian yang hanya dikerangkeng dalam ruang-ruang otak saja tanpa diaplikasikan adalah suatu kepercumaan.

  1. Skill

Keterampilan sangat dibutuhkan dalam mengaplikasikan pengetahuan dalam dunia kerja. Banyaknya jam terbang yang sudah ditempuh seseorang mempengaruhi kepiawaiannya dalam menyelesaikan pekerjaan. Banyak orang pandai tetapi tidak terampil. Orang yang terampil pada dasarnya memiliki fondasi pengetahuan yang tepat dan latihan yang berkesinambungan. Akan tetapi mengasah keterampilan tanpa memberikan dasar kognitif sama saja menciptakan robot-robot yang bernyawa.

  1. Attitude

Unsur krusial yang sering diabaikan dalam pendidikan formal adalah menumbuhkan perilaku dan akhlak yang mulia. Ini bukan saja tugas moral para pendidik, melainkan setiap orang yang bersinggungan dengan pendidikan, dimulai dari orang tua. Dalam pendidikan dasar hal ini sudah ada dalam kurikulum pendidikan. Sayangnya dalam pendidikan tinggi, hal ini sering diabaikan menjadi komponen yang dievaluasi dalam akhir masa pendidikan. Tak jarang para lulusan yang pintar-pintar itu menerapkan kepintarannya untuk memanipulasi perilaku dalam dunia kerja dan sukses membodohi sejawat ataupun atasannya. Banyak para professional yang pintar dan terampil berakhir dengan kehancuran hanya karena permasalahan attitude atau perilaku yang bermula dari friksi antarindividu yang tak terselesaikan. Paradigma money oriented kadang membuat unsur attitude menjadi terpinggirkan.

Unsur-unsur inilah yang menjadi isi dari suatu bingkai kompetensi yang menjadi ciri profesionalisme. Kompetensi yang bersinergi dengan kesadaran diri akan potensi menghasilkan profesionalisme yang unggul. Tahu apa yang kita mau, dan sadar bahwa kita mampu adalah suatu modal utama untuk menjadi sukses dalam menggeluti profesi. Conscious and competent. Adalah menyedihkan jika kita tak tahu bahwa kita tak mampu, ini akan menjadi pekerjaan yang sok tahu dengan hasil yang sia-sia. Patut disesalkan pula bahwa kita tak tahu bahwa kita mampu, ini akan melewatkan banyak kesempatan yang sudah ada di depan mata. Akan tetapi pertimbangan yang hati-hati sebelum melangkah saat kita tahu bahwa kita tak mampu adalah suatu pemikiran realistis supaya tidak terjerembab ke dalam idealisme yang terlalu bombastis. Yang paling membahagiakan adalah saat kita sadar bahwa kita memiliki kemampuan dalam suatu bidang pekerjaan, selangkah lagi kita akan menjejakkan kaki ke zona kesuksesan. Sadar tak terbatas sekedar tahu tentang potensi diri melainkan juga terbuka terhadap koreksi saat kita membuat kekeliruan serta bersedia memperbaikinya.

Pendidikan yang mempertimbangkan unsur-unsur knowledge, skill dan attitude memproduksi lulusan yang berkompetensi dimana dalam dunia kerja ia akan menjadi pekerja yang profesional dan sadar diri akan potensi yang dimilikinya. Keselarasan pendidikan dan pekerjaan tak hanya dipengaruhi oleh para pendidik (guru dan orang tua), sistem pendidikan atau lahan pekerjaan. Calon pekerja atau lulusan justru memiliki andil besar menciptakan kesinergian itu. Individu yang sadar diri dan berkompetensi lah yang akan survive dengan pekerjaan yang digelutinya baik yang menjadi minatnya atau bukan. Be conscious and competent!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun