Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Bencana Akibat Ikhlas

16 April 2010   15:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45 332 0

Ikhlas. Satu kata yang sangat sering kita dengar dan juga hampir selalu kita ucapkan. Tapi, apakah memang semudah itu untuk bisa ikhlas? Secara teoritis Rasulullah Muhammad mengajarkan tentang ikhlas: “Apabila tangan kirimu tidak tahu apa yang dikerjakan tangan kananmu demikian pula sebaliknya”. AjaranBeliau yang lain: “Apabila perbuatan, hati dan perkataanmu sama”. Tentunya ajaran tersebut sudah dipraktekkan dengan baik oleh sang Maha Guru, karena memang beliau memiliki akhlaq yang sudah tidak tertandingi oleh siapapun. Namun bagaimanakah dengan kita? Saya kebetulan saat ini sedang meneliti tentang hal itu. Benih tidak ikhlas: lawan ikhlas tentunya “tidak ikhlas”. Benih itu sebenarnya dapat kita lihat secara kasat mata melalui perilaku. Orang yang menyimpan benih tidak ikhlas biasanya ditandakan dengan adanya tendensi (walaupun sekecil apapun) pada dirinya. Bila kita memberi seseorang suatu kebaikan dan kemudian dalam hati kita terbersit keinginan untuk dibalas dengan kebaikan yang lebih banyak atau setidaknya sama, maka saat itulah benih tidak ikhlas telah tertanam kepada diri kita. Selama saya di luar negeri pernah ditolong oleh seorang kenalan yang lebih dulu datang ke negara tersebut. Dia memberi saya informasi tentang kondisi, cuaca yang ekstrim yang harus saya alami, meminjami selimut listrik untuk menghangatkan tubuh, pemanas ruangan, penanak nasi, sepeda, dan bahkan menginap di apartemennya (walaupun saya juga disediakan apartemen). Lebih dari itu, seringkali saya makan bersama di apartemennya. Singkatnya kebaikannya saya rasakan berlebihan. Sebenarnya sejak hari ke-dua, dalam hati saya sudah timbul pertanyaan dan firasat (belakangan firasat itu benar terjadi) bahwa kenapa kebaikannya begitu besar kepada saya, dan apa yang dia harapkan dari saya. Pertanyaan dan firasat ini bukan tanpa dasar. Saya mengacu pada ajaran Muhammad SAW: ”Sebaik-baiknya perkara adalah yang sedang-sedang saja”. Artinya secara praktis adalah, apabila kita melakukan sesuatu perbuatan, maka yang terbaik yang kita lakukan adalah sesuatu perbuatan yang sesuai dengan kemampuan kita. Bukan yang melebihi kemampuan kita. Kebaikan yang kita berikan melebihi kemampuan kita akan memunculkan benih tidak ikhlas pada diri kita. Hal tersebut selama ini sudah saya ajarkan dan saya praktekkan kepada keluarga saya. Kebetulan di rumah saya memiliki beberapa anak asuh yang saya biayai kebutuhan pendidikan dan kebutuhan sehari-harinya. Suatu ketika isteri saya mendapatkan uang dari proyek penelitian saya di kampus. Seperti biasanya, dia merencanakan beberapa kegiatan termasuk memberikan hadiah kepada anak asuh. Dia berencana memberikan hadiah berupa uang saku tambahan kepada mereka. Saya lihat angka rupiah yang tercatat di buku rencana belanja. Wow... sangat besar!. Dengan dasar ajaran Muhammad SAW, saya sampaikan kepada dia hal berikut: lebih baik nominal yang akan diberikan dikurangi dan diberikan dalam wujud yang lain suatu saat apabila mendadak dibutuhkan, karena dengan cara demikian maka akan menjadikan hati kita tidak berat untuk memberi. Selain itu, berarti pula kita mendidik anak-anak untuk tidak mudah menghamburkan uang dan pandai mengelolanya untuk kebutuhan yang penting.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun