Salah satunya adalah tantangan yang kadang kala mempersalahkan Presiden Jokowi andaikata terjadi persoalan di lingkungan sosial. Biasanya, tantangan politik itu hadir dari suara-suara kaum oposisi.
Sebenarnya, situasi ini terbilang normal untuk konteks pemerintahan demokratis. Malah menjadi tidak normal, saat kaum oposisi selalu diam melihat ketimpangan politik dan tidak kritis menyikapi pelbagai keputusan dan kebijakan politik.
Makana, menjadi seorang pemimpin, apalagi pemimpin sebuah negara demokratis, sangat sulit melepaskan diri dari tantangan politik. Tantangan politik itu berupa ketidaksetujuan pihak oposisi pada kebijakan-kebijakan yang diambil dalam dunia politik.
Sejatinya, sejauh ketidaksetujuan itu dibangun atas dasar argumen dan data yang jelas, hal itu tidak menjadi persoalan. Bahkan seorang pemimpin bisa saja mempertimbangkan itu sebagai langkah untuk mengevaluasi kebijakannya sebelum hal itu terealisasi.
Persoalannya, ketika ketidaksetujuan itu tidak dibarengi dengan argumen yang jelas dan data yang akurat. Hanya asal bunyi untuk sekadar menarik perhatian publik.
Terlebih lagi, jika ketidaksetujuan itu dialamatkan kepada seorang presiden. Pasti banyak orang yang melihat ketidaksetujuan itu, terlepas isi dari poin-poin yang digarisbawahi di balik ketidaksetujuan tersebut.
Akibat situasi pandemi di saat ini menjadi sasaran tembak banyak pihak. Tidak hanya persoalan kesehatan yang menjadi sorotan.
Situasi ekonomi juga menjadi sorotan. Situasi ekonomi melekat dengan kehidupan banyak orang. Makanya, ada yang menilai jika akibat dari pandemi merupakan kegagalan dari seorang pemimpin.
Krisis pandemi tidak hanya terjadi di Indonesia. Ini adalah persoalan global. Tidak hanya menyentuh negara berkembang, tetapi juga menggoncang negara-negara maju.
Banyak pemimpin negara yang berjuang untuk keluar dari situasi krisis ini. Banyak juga pemimpin yang berupaya mengontrol situasi negara di tengah akibat pandemi korona.
Tidak adil jika melihat dampak krisis ini dari salah satu perspektif semata. Misalnya, hanya terjadi di Indonesia. Apalagi menjadikan situasi krisis karena pandemi korona untuk menggeser presiden dari kursinya. Bisa saja hal itu terjadi andaikata seorang presiden tidak bekerja sama sekali atau berlaku cuek dalam menangani pandemi korona.
Begitu pula situasi politik di Indonesia. Sah-sah saja mengeritik Presiden Jokowi. Bahkan hal itu sangat dibutuhkan agar seorang pemimpin tidak berjalan seturut kehendak sendiri dan kelompoknya. Maka dari itu, sangat dibutuhkan pihak oposisi yang peka dan kritis dengan setiap kebijakan yang dibuat oleh seorang presiden.
Kritik itu mesti membangun. Bisa saja, kritik itu sendiri tidak sekadar menolak keputusan politik, tetapi bahkan itu bisa membangun dan menambah ide dari seorang presiden. Jadinya, kritik itu memberikan kontribusi dan tidak sekadar menolak apa yang telah disampaikan.
Mencermati situasi di tanah air, hemat saya, selalu ada peluang untuk mengritik Presiden Jokowi. Asalkan kritik itu terbangun oleh ide yang rasional dan data yang akurat. Bukan sekadar kritik yang bertolak dari sentimen pribadi, terlebih lagi kritik karena kekalahan dan luka politik tertentu.
Sebaliknya, menggeser Presiden Jokowi dari bangku nomor satu terlihat sulit untuk saat ini. Tidak ada alasan kuat untuk menggeser mantan walikota Solo ini. Sejauh ini Presiden Jokowi berupaya kuat untuk mengatasi situasi krisis pandemi korona.
Kalau ada pihak-pihak yang menjadikan keadaan ekonomi di masa pandemi sebagai dalil untuk mengusik kursi presiden, saya kira hal itu alasan yang keliru. Pasalnya, Indonesia tidak sendiri yang terpuruk secara ekonomi di tengah pandemi korona. Bahkan negara-negara besar harus berhadapan dengan situasi krisis.
Maka dari itu, mengritik Presiden Jokowi terlihat pilihan politik yang tepat. Asalkan, kritik itu membangun dan memberikan poin-poin positif.
Sementara itu, niat untuk mengusik beliau dari kursinya terlihat masih sangat sulit. Terlebih lagi, mengusik kursinya dengan menggunakan alasan krisis ekonomi di tengah pandemi korona. Pendeknya, mengritik Presiden Jokowi selalu terbuka andaikata kritik itu terbangun atas argumen yang rasional dan data yang akurat.