Menjadi viral selalu bergantung pada konten yang kita tawarkan. Saat sebuah konten menjawabi kebutuhan dan hasrat konsumen, orang yang terlibat dalam konten tersebut akan menjadi terkenal. Hasil produksinya pun menjadi viral dan bahkan hal itu bisa dinantikan banyak orang.
Namun, tidak jarang terjadi kalau sebuah konten menjadi viral bukan karena kualitas kontennya. Tetapi karena pengabaian kualitas yang disajikan dalam konten itu. Menjadi viral bukan karena itu mempunyai manfaat dan menawarkan kualitas tertentu. Tetapi itu terjadi karena merendahkan orang lain atau merugikan kepentingan bersama.
Contohnya, aksi seorang vlogger di salah satu provinsi di Filipina. Dia melakukan vlog di luar rumah selama masa karantina. Dalam vlognya itu, dia menyatakan kebosanannya tinggal di rumah selama masa karantina.
Ironisnya, dalam vlognya itu, dia memperlihatkan dirinya yang tidak mengenakan masker dan kerumunan massa yang sementara berenang di sungai. Vlognya itu diposting di medsos, tetapi itu mengabaikan dampaknya. Dampaknya merugikan kepentingan bersama. Yang dikedepankan hanya hasrat menjadi viral.
Karya vlognya itu memang viral di medsos. Viral bukan karena kualitasnya, tetapi pelanggaran yang diperlihatkan. Dia malah didatangi oleh pihak otoritas dan mesti menyampaikan permohonan maaf secara publik karena melanggar aturan karantina.
Atau juga, aksi YouTuber di Bandung. Melansir berita dari Kompas.com (4/5/2020), Youtuber ini melakukan "prank," aksi berlebihan terhadap sejumlah kaum transgender. Dalam aksinya itu, YouTuber ini memberikan bingkisan serupa bansos. Namun, bingkisan itu bukan berisi laiknya bantuan kebutuhan pokok, tetapi bingkisan berisi sampah dan batu.
Aksi prank yang tidak bermartabat. Ingin viral, tetapi aksi itu mengabaikan kualitas dan sisi kemanusiaan. Di tengah krisis pandemi saat ini, seharusnya semua kita menunjukkan sisi kemanusiaan kita kepada sesama. Penderitaan dan kesulitan hidup orang lain tidak boleh dijadikan bahan untuk lelucon dan hiburan.
Saya sangat yakin aksi prank yang dilakukan itu merupakan upaya untuk menjadi viral. Menjadi terkenal lewat konten di internet atau lewat media sosial.
Mungkin terlalu berhasrat untuk menjadi viral, tetapi kualitas dan manfaat dari aksi tersebut diabaikan. Aksi itu malahan merendahkan orang lain. Pantas saja publik bereaksi.
Publik bereaksi bukan karena niat untuk menjadi viral, tetapi karena kualitas yang ditawarkan. Niat untuk menjadi viral adalah hak setiap orang.
Memposting karya apa saja di medsos dan internet adalah hak kita. Tetapi hak itu mesti diimbangi dengan isi dan pesan apa yang disampaikan. Pesannya tidak merugikan, tetapi seyogiannya berbobot dan sarat dengan kualitas tertentu bagi orang lain.
Seharusnya, apa pun postingan kita di media sosial selalu mengedepankan kualitas tertentu. Hemat saya, pertanyaan paling mendasar sebelum memuat postingan tertentu adalah apa manfaat postingan itu bagi sesama? Apakah bermanfaat ataukah itu hanya menyebabkan kerugian?
Postingan kita bermanfaat kalau kita menawarkan kualitas tertentu. Kualitas sebuah postingan bisa berupa nilai-nilai kebaikan, tenggang rasa dan empati kepada sesama.
Aspek manfaat dari postingan di media sosial mesti menjadi tujuan pertama dan utama. Menjadi viral bisa menjadi akibat lanjut dari postingan tersebut. Kualitas mesti dikedepankan. Paling tidak, kita berpikir tentang kualitas apa yang kita tawarkan kepada penikmat postingan kita.
Memang kenyataannya, orang lebih peduli menjadi viral. Aspek kualitas dari postingan itu kadang diabaikan. Yang dipentingkan adalah sisi hiburan dan lelucon, manfaat dan kualitas dari postingan itu dikesampingkan.
Hemat saya, hal ini terjadi karena faktor kualitas dunia hiburan kita atau bagaimana kita membangun lelucon dalam relasi sosial. Lelucon yang cenderung hambar dan tidak berbobot. Lelucon yang dibangun dengan merendahkan orang lain.
Misalnya, tidak sedikit dari orang cenderung memanfaatkan ciri fisik seseorang sebagai bahan lelucon. Padahal hal itu sudah merendahkan orang tersebut. Pasalnya, ciri fisik merupakan keunikan setiap orang. Itu bukanlah bahan untuk dijadikan lelucon. Namun, masih ada yang memanfaatkan ciri fisik itu sebagai bahan tertawaan.
Atau juga, membangun lelucon dengan menyakiti hati orang lain. Kita tertawa senang, tetapi di lain pihak kita sebenarnya melukai hati orang tersebut.
Contohnya, aksi prank ala YouTuber di Bandung. Mereka tertawa senang atas aksi tersebut. Tetapi di lain sisi, aksi itu malah melukai perasaan korban dan bahkan orang-orang yang menonton aksi tersebut.
Media sosial memberikan tempat bagi kita untuk berekspresi. Di balik situasi ini, kita pun diingatkan mengenai model dan konten dari ekspresi diri kita itu.
Ekspresi diri itu mesti menghadirkan nilai manfaat bagi siapa saja yang melihat postingan kita. Dengan ini, kita menjadikan media sosial sebagai tempat untuk menyebarkan nilai kebaikan dan medium untuk belajar bagi yang lain.