Pertimbangan dari usulan anggota DPR ini adalah ganja dinilai sebagai salah satu bahan untuk kebutuhan medis dan farmasi di beberapa negara.
Anggota DPR dari PKS ini mungkin menilai kalau Indonesia bisa memanfaatkan situasi ini sebagai peluang ekonomi. Dalam mana, Indonesia bisa menjadi salah negara yang mensuplai kebutuhan negara-negara yang juga melegalkan penggunaan ganja.
Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan penggunaan ganja. Legalisasi ganja di Thailand terjadi karena pertimbangan dari faktor medis, kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan ( detik.com 09/10/19).
Boleh jadi atas dasar ini, Rafli Kande menilai ganja sebagai komoditas eskpor. Namun tidak menutup kemungkinan, usulan ini juga membuka peluang untuk melegalkan penggunaan ganja di dalam negeri. Tidak mungkin ekspor berjalan sepihak tanpa legalitas penggunaannya di negara pengekspor.
Dengan kata lain, rakyat pun tidak hanya memelihara tanaman ganja, tetapi mereka juga bisa memakainya sejauh mengikuti aturan pemerintah.
Namun seolah melakukan pembenaran atas idenya itu, Rafli Kande menyatakan kalau secara hukum agama, tanaman ganja bisa diterima.
Lebih lanjut, dia menekankan kalau tidak ada hukum agama yang mengatur pelarangan adanya tanaman ganja (suara.com 31/1/2020).
Pertanyaannya, mengapa Rafli Kande menghubungkan legalisasi ganja dengan hukum agama?
Toh, legalisasi ganja dan hukum agama merupakan dua ranah yang berbeda. Apalagi negara Indonesia bukanlah negara yang berasaskan hukum agama.
Legalisasi ganja akan bersentuhan dengan dunia hukum sipil/negara dan dunia kesehatan. Hukum sipil yang mengikat pelarangan peredaran ganja mesti diperbaharui kalau mau legalisasi ganja mendapat tempat.
Tentunya, perubahan undang-undang ini akan mendapat tantangan. Tantangan itu bisa berupa dari institusi pemerintah maupun organisasi dari kalangan rakyat.
Selain itu, perubahan undang-undang ini juga bergantung pada studi tentang manfaat ganja itu sendiri. Studi itu mengevaluasi kelayakan penggunaan ganja di Indonesia.
Hemat saya, dari faktor kelayakan, Indonesia perlu melakukan studi yang teliti dan komprehensif.
Kalau salah kaprah dengan legalisasi penggunaan ganja, rakyat bisa terjebak pada penyalahgunaan ganja. Alih-alih untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan, orang malah memakainya untuk kesenangan diri.
Pada titik inilah, dunia farmasi dan kesehatan perlu meneliti penggunaan ganja lebih jauh.
Memang beberapa negara di dunia sudah menggunakan ganja sebagai salah satu bahan untuk dunia medis dan kesehatan. Meski demikian, negara kita tidak segampangnya membandingkannya dengan negara-negara yang sudah terlebih dahulu melegalkannya.
Toh, mereka melegalkannya karena sudah siap karena sudah dievaluasi dengan studi dan penelitian tertentu. Meski ganja juga dinilai legal, negara masih berhak untuk mengatur bagaimana penggunaannya dan jenis apa yang mesti dipakai.
Kalau memang secara medis dan kesehatan sudah teruji kualitasnya dan manfaatnya, negara membutuhkan studi yang komprehensif pada level pengguna.
Studi itu tidak hanya melibatkan ranah kesehatan dan medis, tetapi faktor sosial dan budaya masyarakat. Betapa tidak, negara-negara yang melegalkan ganja pun bukan sekadar mengeluarkan keputusan legalitas penggunaan ganja.
Seperti misal, di negara Kanada yang melegalkan ganja sejak tahun 2001. Dalam salah satu aturan yang diterapkan pemerintah Kanada adalah kalau seseorang membeli ganja, dia mesti membelinya dengan sistem online di toko Ontario Cannabis. Toko sendiri ini diatur oleh pemerintah sendiri.
Selain itu, di beberapa wilah di Kanada, pemerintah memperbolehkan masyarakat untuk menggunakan ganja, tetapi hal itu hanya terjadi kediaman pribadi dan bukannya di tempat umum (qz.com 18/10/18).
Mencermati regulasi dari negara yang sudah melegalkan ganja, kita mungkin sadar kalau hal ini membutuhkan studi, evaluasi dan waktu yang panjang.
Makanya, masyarakat mesti dipersiapkan dengan pendidikan yang memadai. Kalau tidak, masyarakat salah menerjemahkan legalisasi ganja dan terjebak pada penyalahgunaan yang salah. Jadi secara umum, proses legalisasi ganja dalam konteks untuk kebutuhan medis dan kesehatan perlu waktu.
Selain itu, negara-negara yang melegalkan ganja juga tidak pernah menghubungkan itu dengan hukum agama.
Legalisasi ganja dengan menghubungkan dengan hukum agama, saya kira hal itu terlalu berlebihan. Apalagi kalau hal itu lebih disangkutpautkan dengan satu agama tertentu.
Negara-negara seperti Kanada dan Thailand melegalkan ganja karena mereka menemukan manfaatnya dari sudut medis dan kesehatan.
Pada titik inilah, kalau pemerintah mau bertekad melegalkan ganja di tanah air, mereka mesti membutikannya secara medis dan kepentingan kesehatan.
Kualifikasi medis, kesehatan dan ilmu pengetahuan menjadi faktor-faktor yang bisa mengabsahkan penggunaan ganja. Tetapi kalau secara medis, kesehatan dan ilmu pengetahuan, negara gagal untuk membuktikannya, pada saat itu pula ganja tidak bisa dilegalkan.
Hemat saya, legalisasi ganja bergantung pada evaluasi manfaat dari ganja dari sisi medis, kesehatan dan ilmu pengetahuan.
Hukum agama tertentu tidak mempunyai tempat untuk membenarkan penggunaan ganja karena dasar pembenarannya tidaklah terlalu kuat untuk kontesk Indonesia yang multi agama.