Dasar ini mesti selalu diingat dan dikenang agar bisa menjadi kekuatan bagi hidup suami-istri. Kekuatan itu bisa menjadi bekal saat berhadapan dengan tantangan dalam perjalanan hidup berkeluarga.
Perayaan itu bisa juga menjadi kesempatan untuk membaharui janji nikah. Saya kira setiap pasangan mesti mengingat dan merayakan hari nikah mereka. Di balik itu, mereka bisa membaharui komitmen yang dibuat beberapa tahun yang telah lewat.
Saya ingat sebuah pasangan yang merayakan 17 tahun usia pernikahan mereka. Menurut pasangan ini, salah satu upaya memperbaharui pernikahan mereka yakni lewat memberikan waktu khusus untuk berdua tanpa kehadiran anak-anak mereka.
Acap kali mereka menghabiskan waktu berdua sekadar untuk mengingat memori yang telah mereka jalankan bersama. Efeknya, mereka menjadi pasangan yang berbahagia selama 17 tahun perjalanan pernikahan mereka.
Di balik setiap perayaan mengenang usia pernikahan seperti 25 atau 50 tahun, ada salah satu kesan yang terlahir.
Kesannya adalah kalau mereka bisa mencapai dan merayakan usia pernikahan seperti itu, pastinya pasangan lain juga bisa melakukannya. Toh, setiap orang menikah dengan membawa kelebihan dan kelemahan mereka sebagai manusia.
Saya kira tidak ada di dunia ini yang memutuskan untuk menikah karena kesempurnaan di dalam diri mereka. Pendeknya, kalau mereka bisa, kita juga pasti bisa.
Namun kesan saya ini menjadi kabur saat menyaksikan realitas yang terjadi pada beberapa hidup pernikahan. Tidak sedikit pernikahan yang putus di tengah jalan. Bahkan ada yang berakhir sebelum memasuki usia lima tahun.
Kenyataan ini bisa saja mempengaruhi pola pikir sebagian besar orang tentang makna pernikahan. Untuk apa menikah di salah satu institusi, toh pada akhirnya berpisah.
Atau juga, menikah di institusi tertentu guna mendapat pengakuan sosial dan budaya, tetapi kemudian mencari waktu dan alasan untuk berpisah.
Ada pelbagai alasan terjadinya perceraian dalam relasi suami-istri. Realitas perceraian itu pun memberikan tantangan pada makna dari pernikahan itu sendiri. Makna pernikahan seharusnya nampak pada persatuan antara suami-istri. Persatuan ini seyogianya berjalan seumur hidup.
Namun di tengah realitas perceraian, makna pernikahan itu bisa menjadi kabur. Persatuan antara suami-istri yang sekiranya berlangsung lama dan bahkan seumur hidup bisa saja hilang dari ruang pemahaman sebagian banyak orang.
Jadinya, pernikahan bisa dinilai sebagai perayaan sesaat atau kebutuhan untuk kepentingan tertentu. Sementara komitmen jangka panjang yang mesti dihidupi tidak dipedulikan lagi.
Saya tidak mempersoalkan alasan di balik akhir dari sebuah pernikahan. Tetapi saya hanya ingin menekankan kalau hidup pernikahan seumur hidup adalah realitas yang tidak mustahil. Menikah sekali untuk seumur hidup bisa terjadi!
Pada kenyataannya, menikah untuk sekali seumur hidup bukan sesuatu yang mustahil. Ada banyak pasangan yang hidup bersama untuk seumur hidup tanpa terpengaruh pada aneka tantangan dan tawaran yang datang ke dalam hidup mereka.
Mungkin kita perlu belajar dari mereka yang setia untuk hidup menikah seumur hidup itu. Pastinya mereka mempunyai formula yang tepat untuk menghidupi pernikahan mereka itu.
Karena itu, kalau mereka bisa menghidupi pernikahan mereka seumur hidup, hal itu pun bisa menyadarkan kita tentang makna pernikahan.
Mereka juga pastinya mempunyai tantangan tersendiri dalam menghidupi pernikahan mereka. Mungkin yang membedakan adalah manajemen dalam mengolah masalah dalam hidup pernikahan mereka.
Mereka bisa saja mempunyai manajemen pengolahan masalah yang tepat sasar. Di sinilah yang perlu dipelajari dan ditimbah dari siapa saja yang telah menghidupi pernikahan mereka seumur hidup.
Sekali lagi, menikah sekali seumur hidup bukanlah hal yang mustahil. Banyak pasangan yang sudah menunjukkan hal itu.
Sekarang ini, setiap pasangan ditantang untuk mengikuti jejak dari mereka yang telah melakukannya itu. Hemat saya, hal itu akan memberi makna dan nilai tambahan bagi sebuah hidup pernikahan.