Sehubungan dengan netralitas Kepala Desa telah diatur di dalam regulasi yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di dalam ketentuan Undang-Undang Desa, Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik, ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah, menyalahgunakan kewenangan, mempengaruhi masyarakat untuk memilih salah satu pasangan calon, serta mengintimidasi masyarakat jika tidak memilih salah satu pasangan calon yang diunggulkan. Apabila Kepala Desa melanggar ketentuan tersebut, maka dijatuhi sanksi administratif berupa teguran lisan dan atau teguran tertulis. Kemudian, apabila sanksi administratif tidak dilaksanakan maka akan dilakukan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian permanen.
Pada Pasal 282 Undang-Undang Pemilu, bahwa kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye. Merujuk pada pasal tersebut, apabila kepala desa tidak mengindahkan ketentuan tersebut. Maka, pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Pasal 490 "Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)".
Apakah boleh Kepala Desa menghindar dari sanksi hukum dengan alasan tidak mengetahui regulasi yang berlaku? Tentu jawabannya TIDAK, karena hukum bersifat memaksa. Artinya, harus dipatuhi, dilaksanakan, dan diterapkan, serta memiliki paksaan yang mutlak. Setiap peraturan hukum yang sudah diundangkan maka semua orang dianggap mengetahui sehingga hukum dapat ditegakkan dan dapat melindungi kepentingan dalam pergaulan kehidupan masyarakat.