Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

[MPK] Tersesat!

15 Juni 2011   09:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 176 4
[caption id="attachment_114372" align="aligncenter" width="400" caption="sumber: google"][/caption]

“Mas Rudi... jadi besok berangkatnya...?”, seseorang dibelakangku menepuk punggungku. Ternyata dia adalah Seri rekan sekantorku yang selalu teman satu tim denganku. Yah, kami adalah Dokter muda spesialis pediatri. Lima tahun bekerja di Rumah Sakit “ibu dan anak” tidak membuat panggilan Dokter muda untukku berubah. Kami selalu dipanggil Dokter muda oleh beberapa Dokter Senior.

“Iya, saya berangkatnya jam 6 pagi. Mudah-mudahan semua lancar, doain yah...”, kataku sambil membereskan sisa-sisa barangku. Kutatap ruanganku, pasti aku akan merindukannya. Penempatan kerjaku yang baru tentu akan menjadi tantangan yang baru, karna masa kerja selama dua tahun disana pasti akan terasa berbeda. Kerja di pusat kota benar-benar membuatku sangat sibuk, besok aku akan bekerja di Desa kecil. Desa Muti namanya, aku tidak pernah dengar.

“Padahal mas rudi bisa nolak loh kalau di pindah tugaskan. Tapi yah sudahlah, mudah-mudahan betah disana selama dua tahun yah. Good Luck”, Seri menyemangatiku dan kemudian berlalu pergi melanjutkan tugas-nya. Aku membawa barang-barangku dan menutup pintu ruang kerjaku.

+++

“Muti-Muti... yang mau ke Desa Muti, bus-nya sebelah sini”, suara seorang kondektur Terminal membangunkanku. Ah, sudah saatnya ganti bus lagi. Ini bus ketiga yang harus aku lewati untuk menuju Desa Muti. Benar-benar desa yang sangat Jauh dan terpencil. Posisi desa itu sendiri tidak tercatat dalam peta. Dan menurut rekan sesama dokter yang pernah kerja disana, belum pernah ada kunjungan dari pemerintah daerah kesana karna lokasinya yang sangat jauh dan banyak rintangan.

“Mas, ini bus yang langsung ke Desa Muti-kan...??”, tanyaku untuk memastikan. Busnya sungguh reyot, sungguh ajaib bila bus ini masih bisa berfungsi membawa penumpang yang berdesak-desakan.

“Oh iya, mas. Ini bus terakhir yang kesana. Nanti sisanya mas naik perahu”. Segera kuraih tasku dan masuk kedalam bus. Tidak ada kursi yang sisa, berarti aku harus berdiri. Kupandangi para penumpang, beda sekali barang bawaan mereka dengan orang-orang dikota. Para wanitanya memakai bedak putih yang mirip tepung dengan warna lipstik yang sangat merah, terlihat sekali kalau semua itu barang murahan dan sepertinya efek fashion tidak sampai ketempat ini. Seorang pria tua menarik perhatianku, sebuah kotak dikeluarkannya lalu mengeluarkan secarik kertas dan menata tembakau diatas lalu melipatnya. Air liur dijadikan alat perekatnya lalu kemudian pak tua itu merokok dengan nikmatnya.

“Muti-muti-muti...” suara kondektur lagi-lagi menyadarkanku dan keasikanku mengamati dan mempelajari orang-orang disini. Aku segera turun dari bus ketika bus reyot ini berhenti. Kuperbaiki tali ransel yang melorot dibahuku. Kepulan debu bus benar-benar membuatku ingin sekali mandi, aku harus segera menemukan perahu agar aku secepatnya sampai. Kutatap sekeliling, seorang pejalan kaki melintas didepanku.

“As, waalaikum mas. Saya mau tanya nih, kira-kira perahu untuk melintas keseberang dimana yah...??”, aku mencoba sesopan mungkin bertanya karna sebagian besar penduduk disini masih menggunakan bahasa daerah dan belum terbiasa dengan bahasa Indonesia. Dia menatapku lalu menggerakkan tangannya seperti menyuruhku untuk mengikutinya. Sepertinya pria ini bisu karna dia tidak bicara sedikitpun. Ternyata pria ini membantuku dengan mengantarkan aku langsung ke pemberhentian perahu berikutnya. Aku membungkuk dan mengucapkan terimakasih padanya. Lalu segera naik, lima belas menit adalah waktu jarak tempuhnya begitu kata temanku. Sekelilingku penuh dengan pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan air. Tidak ada musik. Tidak ada para turis ataupun wisatawan lokal. Hanya ada aku, perahu dan sungai. Sangat tenang dan sunyi sekali.

“Sudah sampai, mas”, suara si pembawa perahu memberitahuku. Kuedarkan pandanganku, tidak ada siapa-siapa. Sangat sunyi sekali dan aura misteri terasa sekali dari tempat ini.

“Mas... sudah sampai”,

“Oh iya, maaf...”, aku buru-buru keluar dan memberikan beberapa rupiah untuk bayarannya. Kutatap kepergian perahu itu. dan melanjutkan perjalanan. Pertama-tama aku harus menemukan “Puskesmas Budi Asih”, lalu segera mandi. Perjalanan selama dua hari membuat badanku lengket-lengket.

+++

Sudah seharian aku berjalan dan belum menemukan satupun rumah penduduk. Kemungkinan besar aku nyasar, namun seingatku temanku pernah berkata kalau akan menemukan rumah penduduk yang pertama dengan menempuh perjalanan 700 meter dengan berjalan kaki. Tapi kenapa aku belum menemukan rumah disini, bahkan satupun penduduk tidak ada yang lewat. Kemana mereka semua, apakah hari ini ada perayaan...? kutatap jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 17.44 wib. Sebentar lagi akan gelap. Rasa lapar dan haus membuat kepalaku sedikit pusing, aku harus menemukan rumah warga.

“Buuummm. Buuummm. Praak. Praak. Buuumm. Buumm”.

Dari jauh terdengar suara pukulan sejenis gendang. “Alhamdulillah”, betapa senangnya hatiku. Akhirnya kudengar juga sebuah suara. Dengan langkah cepat kucari sumber suara itu, ternyata tidak sulit menemukannya karna hari sudah mulai gelap dan didepan tampak sedikit cahaya di ujung sana. Semakin aku dekat ternyata semakin menjelaskan pandanganku. Aku akhirnya sampai ke Desa Muti.

Kurang dari 100 meter, aku baru sadar bila cahaya yang aku lihat ternyata hanyalah api unggun yang besar. Sepertinya desa itu tidak memiliki TV, Listrik, MCK, dan lain-lain. rumahnya-pun hanya terbuat dari papan-papan panggung. Menurut informasi, Desa Muti sudah masuk listrik, tapi kenapa disini sangat gelap dan hanya ada cahaya dari api unggun.

“As. Waalaikum...”, sapaku dengan sopan. Kurang lebih ada duapuluh orang yang ada di sekitar api unggun. Musik berhenti, dan semua mata memandangku. Ada rasa takut menghampiriku, karna mereka semua tidak menggunakan baju yang sama denganku. Mereka hanya menggunakan baju compang-camping dan sudah sangat kotor. Wajah mereka sebagian besar kotor. Dimana ini... sepertinya aku terdampar didesa sekumpulan orang gila.

Perlahan-lahan aku mundur, dan mencoba untuk berbalik kembali ke arah aku datang. Salah satu dari mereka berjalan mendekatiku sambil mengarahkan salah satu pisau di tangan kanannya.

“Maaf, silahkan lanjutkan aktivitas-nya. Maaf, saya hanya mau mencari Desa Muti”. Ucapku dengan nada sedikit gemetar. Sepertinya mereka tidak mengerti dengan apa yang aku ucapkan, otakku berkata aku harus segera pergi dari tempat ini.

Seorang dari mereka berteriak dan tiba-tiba semuanya berdiri dan memandangku dengan buas. Ada apa dengan mereka, aku berlari sekuat tenaga dengan ketakutan saat mereka mulai mengejarku. Dimana ini. Dimana ini. Aku tidak tahu kemana aku berlari, hari sudah gelap dan aku tidak mampu melihat dalam kegelapan. Ada apa dengan mereka...? kenapa mereka mengejarku...?

+++

Setengah jam sudah aku berada di perkampungan asing itu. Aku menjadi tahanan mereka setelah berhasil menangkapku. Pikiranku kalut, kengerian menyelimuti jiwaku. “apa yang akan mereka lakukan pada diriku nanti, apakah aku akan mati di sini?” Pikirku semakin tak karuan.Beberapa wanita berusaha menyentuh pakaian yang ku kenakan, ada pula yang berusaha menyentuh kulit tanganku. Aku menarik nafas panjang. Tangan yang kotor dan keriput itu mulai menyentuh pipiku. Ku pejamkan mata menahan rasa takut yang memuncak. Aku hanya bisa berdoa dan pasrah. “Oh Tuhan apa yang terjadi padaku, tolonglah hambamu ini Tuhanku”, ucapku gemetar. Terasa beberapa jemari menyentuh rambut dan kulit wajahku.“Tolong ! jangan kalian sentuh aku! Aku tidak berbuat salah. Tolong lepaskan aku!” Tanpa sadar aku berteriak meminta pengampunan mereka. Tak kuasa aku menahan ketakutan sampai akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

*

Entah beberapa jam aku pingsan. Saat sadar, aku berada didalam sebuah rumah berlantaikan tanah dan beratap ijuk.Seorang perempuan tua berada di sampingku, Ia tersenyum melihatku. Tatapan matanya sejuk, tidak membuatku takut. Perlahan-lahan aku mulai mengajaknya berkomunikasi dengan menggerakan tanganku. Berkali-kali aku meminta perhatian dia, namun selalu saja gagal. Bahasa isyaratku ternyata tidak ditanggapinya, ia hanya tersenyum saja. Aku menjadi risau terhadap nasibku.

Dalam keputusasaanku, sayup-sayup ku dengar beberapa orang berbicara dalam bahasa setempat yang sudah kukenal. Beberapa kali mereka menyebutkan namaku. Terkadang mereka menggunakan bahasa lain disusul dengan percakapan dua orang dalam bahasa Indonesia. Hatiku mulai terasa tenang. Mungkin saja mereka datang untuk menyelamatkan aku. Tak sabar lagi aku menunggu, rasanya ingin berteriak untuk menarik perhatian mereka.

“Selamat malam pak dokter!” Suara itu muncul dari arah pintu bersamaan dengan kehadiran 3 orang laki-laki yang berpakaian rapih berbeda dengan penduduk tadi. “Maaf, anda siapa ya ?” Tanyaku.

“Kami petugas desa Muti yang diperintahkan menjemput bapak di Puskesmas Budi Asih. Maafkan kami karena kami terlambat datang dan menemui bapak di sana.Sudah 12 jam kami mencari-cari bapak, dan akhirnya kami mendapat petunjuk dari penduduk sekitar bahwa bapak menuju perkampungan ini”, salah seorang dari mereka memberikan penjelasan.

“Tidak apa-apa. Saya justeru berterima kasih karena anda semua telah menyempatkan diri menjemput saya di sini. Apakah kita harus berangkat sekarang ? Tanyaku sambil memeriksa beberapa perlengkapan yang ku bawa tadi.

“Maaf pak! kita terpaksa harus bermalam di sini. Besok baru kita lanjutkan perjalanan ke desa Muti. Ini ada sedikit persediaan makanan yang kami bawakan. Silahkan bapak mencicipinya kemudian beristirahat kembali”, kata seorang muda yang belum aku kenal sebelumnya.

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas kebaikan bapak-bapak,” kataku berterima kasih.

Sambilmenyantap ubi rebus dan ikan mujair bakar yang mereka bawa, aku menanyakan tentang keberadaan perkampungan asing ini. Ketiga orang itu kemudian menjelaskan panjang lebar. Dalam penjelasan mereka diketahui bahwa perkampungan ini mengalami gizi buruk yang cukup memprihatinkan. Setiap bulan pemerintah kabupaten mengirimkan petugas medis untuk memeriksa mereka. Karena banyak menelan korban beberapa tahun belakangan ini, tak heran jarang ditemui anak-anak dibawah usia 5 tahun di sini. Para ibu mudapun diminta untuk tidak mengandung sebelum penyuluhan gizi dapat meningkatkan kualitas kesehatan mereka.

Mendengar penjelasan ke 3 orang tersebut, aku menjadi tertarik untuk meneliti perkampungan ini. Mungkinsaja aku bisa bertahan di sini untuk beberapa hari ke depan sebelum menuju desa Muti. “Bapak-bapak,apakah kita bisa bertahan di sini selama dua hari kedepan ? Tanyaku.

“Bisa saja pak! Namun apakah kami boleh tahu, untuk apa bapak menunda perjalanan ke desa Muti?

“Saya ingin mengambil beberapa sample darah beberapa ibu muda di sini, dan mungkin juga beberapa anak usia 7 sampai 12 tahun. Mudah-mudahan hasil penelitian saya nanti dapat menjadi sumbangan berarti bagi tim medis yang berkujung ke sini”, jelasku.

“Baik kalau begitu. Mungkin salah seorang dari kami akan mendahului ke desa Muti untuk mengabarkan rencana ini. Kami khawatir pemuka desa Muti menjadi khawatir nanti”

+++

Selama dua hari aku mengadakan penelitian di perkampungan itu. Beberapa sample darah sudah kusimpan dalam peti pendingin khusus.Kemudian aku meminta salah seorang dari utusan desa Muti untuk membawanya ke Puskesmas Budi Asih untuk diteruskan ke rumah sakit terdekat. Hasilnya pemeriksaan darah nantinya akan dikirimkan kepadaku sebagai bahan penelitian lebih lanjut.

Selama di perkampungan itu, perasaan takut sirna sudah. Penduduk perkampung ternyata ramah dan baik hati. Waktu aku dikejar mereka pada malam itu sebenarnya bukan dengan tujuan buruk, namun mereka mecengahku agar terhindar dari binatang buas yang berkeliaran di belantara luas. Tak tahu apa yang terjadi apabila aku berhasil lolos dari kejaran mereka. Mungkin saja aku sudah mati saat ini. Rasa syukur ini akan aku abdikan kepada mereka. Selama bertugas di desa Muti nanti, aku akan berusaha mengatur jadwalkuagar supaya setiap minggu dapat berkunjung di sini. Semoga saja semua usahaku dapat membuahkan hasil.

+++

Apabila aku renungkan kembali kisah singkat perjalanan ke desa Muti itu. Aku merasa bersyukur sekali. Rencana Allah memang selalu baikuntuk umatNya. Aku mendapat pengalaman berharga dalam perjalanan itu. Ketakutan bukan akhir dari segala-galanya. Justeru didalam ketakutan manusia, Allah selalu membantu dan memberikan yang terbaik. Andai saja malam itu aku tidak berada di perkampungan itu. Mungkin saat ini aku telah mati dimakan binatang buas. Allah juga memberikan kesempatan untuku agar dapat membantu mereka yang sangat membutuhkan keahlihanku. Semua ini sudah menjadi SuratanNya.

Terima kasih ya Allah ! Engkau telah memberikan satu lagi pelajaran berharga untuku.

*** T A M A T ***

Kolaborasi Nomer 115:  Dorma Jadi Haulian Situmorang Tovanno Valentino

NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun