Menarik untuk mengamati perilaku politik Partai Golkar yang seolah selalu memburu kekuasaan dan tidak siap kalah. Dahulupun ketika proses Pileg dan Pilpres masih berlangsung, ada satu petinggi partai yang saya lupa namanya menyatakan, bahwa Partai Golkar siap beralih koalisi apabila kalah dalam Pilpres. Ucapan itu mengindikasikan bahwa kekuasaan adalah satu-satunya tujuan partai ini untuk berpolitik. Mungkin memang tidak aneh, karena ini sesuai dengan adagium yang banyak beredar, bahwa partai politik harus mengejar kekuasaan, kalau tidak jadi yayasan saja. Memang benar ada ungkapan tersebut, tetapi tentunya mengejar kekuasaan saja tidak cukup, diperlukan etika dan norma yang harus diperhatikan.
Dalam proses Pilpres 2009 misalnya, Partai Golkar mengusung calon tersendiri yaitu JK - Wiranto, yang akhirnya kalah dengan prosentase pemilih cukup telak, yaitu di bawah 15%. Sebagai partai yang seolah tidak pernah berkeringat dari awal, tiba-tiba partai ini menjadi bagian dari pemerintahan SBY, dengan masuknya beberapa nama politisi partai Golkar, bahkan hingga ketua umumnya, Aburizal Bakrie menduduki jabatan Menteri Koordinator. Proses masuknya partai ini ke Pemerintahan SBY jilid 2 yang lalu tidak terlepas dari deal-deal politik yang tentunya diperhitungkan dengan cermat oleh SBY yang dikenal sangat teliti dalam bernegosiasi. Kita tidak tahu, apakah kepentingan rakyat menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan mitra untuk mengisi jabatan pemerintahan.
Apabila mencermati proses terbentuknya partai ini, memang tidak mengherankan mengapa partai ini seolah selalu haus akan kekuasaan. partai Golkar merupakan partai pemerintah atau the ruling party, bukan partai yang terpilih untuk memerintah berdasarkan hasil pemilu. Jadi partai ini sebenarnya dibentuk oleh pemerintah untuk menopang kekuasaan. Dengan demikian, partai ini tidak pernah terbiasa untuk menjadi partai di luar pemerintah. Hal ini karena satu-satunya ideologi yang dikenalaya adalah ideologi pembangunan yang merupakan ideologi partai pemerintah. Kita tidak akan menemukan ideologi yang menjadi ruh partai ini secara nyata. Makanya, partai ini juga rawan untuk pecah, karena yang mempersatukannya adalah semata kepentingan untuk berkuasa. Apa yang terjadi saat ini, mungkin merupakan salah satu bukti bagaimana partai ini menjadi partai yang begitu oportunis dan mengejar kekuasaan belaka. Tidak ada anggota yang secara nyata membela partainya yang sedang diacak-acak dari luar, bahkan sepertinya mereka sedang menunggu episode dimana salah satu akan tersingkir dan mereka akan ikut berkuasa bersama majikan yang baru. Begitulah taraf berpolitik mereka.