Matahari yang masih bersembunyi di balik awan belum menampakkan sinarnya. Semilir angin sepoi-sepoi menembus pori-pori kulit melengkapi keindahan panorama yang memanjakan mata. Kala itu, saya bersama rekan-rekan satu angkatan sekolah saya tengah melakukan sebuah lawatan singkat ke Karawang dan sekitarnya dalam rangka studi ekskursi tahunan. Di tepian sungai Citarum yang menjadi darah dari irigasi pertanian di Karawang – salah satu daerah lumbung beras nasional – bus berhenti sejenak untuk membiarkan kami menyantap sarapan.
Tatkala berdiri hanya beberapa tapak dari tepian sungai dan membiarkan mata saya memandang ke arah arus sungai berwarna kecoklatan, rasanya tidak mungkin untuk melupakan pusaran sejarah yang pernah disaksikan aliran air yang sama – penduduk kerajaan Tarumanegara membangun kehidupannya peluh demi peluh dengan memanfaatan Citarum sebagai sumber air; Bung Karno dan Bung Hatta berdiskusi sengit dengan tokoh-tokoh golongan muda ihwal Kemerdekaan republik di Rengasdengklok; para pemuda dengan patriotisme membara membangun pos-pos penjagaan sebagai basis pertahanan menghadapi serbuan legiun sekutu di tepian Citarum.
Tak lama, pemikiran saya mengelana kepada nilai strategis dari eksistensi Citarum dalam konteks kekinian. Mengalirkan air untuk perikanan dan irigasi lebih kurang 300.000 hektar sawah di 8 kabupaten/kota, memasok tenaga listrik Pulau Jawa dan Bali melalui tiga waduk utama (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur), danmenyuplai bahan baku air untuk memenuhi kebutuhan minum bagi hampir 25 juta warga DKI Jakarta, Jawa Barat dan Bali adalah sepercik kebutuhan hidup hampir setengah penduduk Republik yang dipenuhi oleh sungai multifungsi ini.
Pemikiran-pemikiran tersebut dengan cepat lenyap tatkala pemandu kami melanjutkan dengan memaparkan kerusakan Citarum yang tidak ada presedennya dalam sejarah. Eskalasi frekuensi banjir di sepanjang aliran sungai mulai dari daerah hulu(Situ Cisanti) hingga hilir(Pantai Muara Merdeka) dalam beberapa tahun terakhirterus meronai pemberitaan media. Air di ketiga waduk yang dipasok dari Citarumpun tak layak untuk air baku minum (berkategori buruk), budidaya perikanan, ataupun peternakan. Juga, udang-udang yang mati di hilir sungai Citarum setiap 3 bulan sekali kian menggarisbawahi parahnya tingkat kerusakan Citarum. Bahkan, dalam salah satu laporannya yang dilansir pada tahun 2008, Asian Development Bank melabeli Citarum sebagai sungai terkotor di dunia.
*****
Akar Masalah
Artikel ini tidaklah disusun untuk semata menambah tumpukan karya tulis yang mengkaji kerusakan Citarum, atau menggugat kelalaian pemerintah dalam menyelamatkan Citarum. Lebih dari itu, karya ini disusun sebagai jawaban atas imperatif yang kian menguat untuk merumuskan solusi implementatif guna menyelamatkan Citarum dari segala kerusakannya.
Hampir 2400 tahun silam, Sun Tzu dalam karya monumentalnya, Seni Berperang, menuliskan, “Siapa yang memiliki pengetahuan mendalam tentang diri sendiri dan diri musuhnya, akhirnya akan memenangkan semua pertempuran. Siapa yang mengenal diri sendiri tetapi tidak mengenal diri musuhnya, hanya mempunyai peluang sama besar untuk menang”.Sehingga, “kenali musuh Anda dan diri Anda, dan kemenangan Anda tidak tergoyahkan.” Dengan demikian, tempat terbaik untuk memulai artikel yang bertujuan untuk memerangi problematika yang membelit Citarum adalah mengidentifikasi pelbagai problematika itu sendiri.
Berdasarkan kajian saya, pencemaran limbah logam berat dan sedimentasi Citarum berhulu pada konvergensi positif dari setidaknya 4 akar masalah yang dikategorisasikan ke dalam limbah peternakan, limbah pertanian dan berkurangnya daerah tangkapan air, limbah pabrik/industri, dan limbah rumbah tangga.
Masalah pertama, limbah peternakan, sebagian besar berawal dari kebiasaan para peternak sapi membuang kotoran sapi tanpa pengolahan lebih lanjut ke Citarum. Dalam artikel yag dimuat di Kompas, 25 April 2011 bertajuk Citarum Tercemar dari Hulu disebutkan bahwa bahkan hanya 700 meter dari Situ Cisanti, lokasi dimana Citarum berhulu, tindakan yang tidak mengindahkan kaidah ekologis ini sudah marak dilakukan.
Selain itu, sejak dekade 1980-an, tindakan mengalih fungsikan kawasan hutan konservasi daerah penangkap air menjadi daerah pertanian semusim oleh penduduk di sepanjang Citarum mulai terjadi secara sporadis. Kalkulasi ekonomis akan potensi penghasilan dari penanaman sayur seperti wortel, kol, kentang, dan daun bawang mendasari aksi ini. Pada urutannya, hujan mengakibatkan gerusan pada tanah pertanian yang mengalami penurunan tingkat infiltrasi dan resistensi sehingga bermuara pada menigkatnya sedimentasi di dasar sungai.Pendangkalan ini, tak pelak, kian meningkatkan frekuensi banjir pada daerah-daerah yang dilalui Citarum.
Masalah ketiga dan keempat, barangkali merupakan masalah klasik dari pencemaran sungai, adalah maraknya pembuangan limbah pabrik/industri serta limbah rumah tangga. Industri tekstil adalah salah satu industri unggulan yang di beberapa daerah seperti di Kecamatan Majalaya, turut berkontribusi pada pencemaran sungai. Sementara itu, sampah rumah tangga sebagian besar berasal dari kota-kota besar seperti Bandung. Tidak mengherankan karena DAS(Daerah Aliran Sungai) Citarumseluas 6,614km2dipadati oleh sekitar 15,3 juta penduduk.
Terobosan
Sampai hari ini, penanganan yang dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum barulah berhenti pada solusi parsial seperti pengerukan sungai dan pemeliharaan tanggul di beberapa titik, terutama di Cekungan Bandung.Rancang bangun(setting) kebijakan yang kohesif untuk membenahi Citarum tidak pernah disusun oleh para pengambil keputusan. Dibenturkan dengan kompleksitas serta skala dari problem-problem Citarum, adalah sebuah keniscayaan bahwa sebuah terobosan berupa solusi yang komprehensif dan imparsial mutlak dibutuhkan untuk merevitalisasi Sungai Citarum.
Bagaiamanakah format dari solusi tersebut? Saya tidak ingin berpura-pura memiliki seluruh jawabannya dalam artikel ini. Sebuah pembahasan terperinci tentu membutuhkan setidaknya satu jilid buku tebal. Pun demikian mengadopsi seutuhnya solusi dari salah satu sungai yang pernah mengalami nasib serupa terlampau menyimplifikasikan persoalan mengingat setiap sungaimemiliki karakteristik dan dinamika problematikanya tersendiri.
Dalam konteksi obsesi untuk merevitalisasi Citarum, solusi yang saya tawarkan meliputi penyusunan sebuah rencana aksi yang dalam durasi terukur dapat mengeliminasi – atau setidaknya meminimalisir - seluruh akar masalah sebagaimana dipaparkan diatas dan pembentukan sebuah satuan tugas (task force) untuk mendesain, mengawal implementasi, serta memonitor keberhasilan dari recana aksi tersebut. Kecuali kita bersedia untuk menyaksikan kontinuitas kerusakan Citarum, saya memandang solusi ini sudah seyogianya diadopsi ke dalam langkah kebijakan. Tambahan lagi, solusi yang dipaparkan dalam artikel ini adalah sebuah buku terbuka. Saran-saran konstruktif untuk melengkapi, mengkoreksi, atau mengadaptasikan upaya-upaya yang ada dalam artikel ini amatlah esensial.
Kerangka Waktu
Dalam melaksanakan solusi komprehensif ini dibutuhkan kerangka waktu(time frame) yang jelas dalam implementasi dari setiap upaya. Secara keseluruhan, revitalisasi Citarum ini dapat dituntaskan dalam kerangka waktu lima sampai enam tahun dengan kedua prasyarat mutlak sebagai berikut.
Pertama, kepemimpinan yang mampu mengawal revitalisasi ini. Figur kepemimpinan yang mampu merancang visi, agenda sampai ke detil-detil operasional serta memiliki kepemimpinan yang kuat dan tegas harus memimpin tugas besar ini. Di samping itu, ia harus memiliki rekam jejak(track record) sebagai individu yang mampu berpikir di luar kotak dan mengeksekusi di dalam kotak(think out of the box, execute inside the box). Dengan kepemimpinan ini pula diharapkan setiap pihak-pihak yang terlibat (stakeholder) dalam proses inklusif ini – birokrasi Kementrian Lingkungan Hidup, praktisi dan pengamat lingkungan, industriawan, masyarakat setempat – dapat berkomitmen dan berikhtiar untuk menuntaskan transformasi ini. Hanya orang-orang dengan tipologi kepemimpinan inilah yang kapabel untuk memimpin tugas besar revitalisasi Citarum.
Kedua, implementasi secara jelas dengan hasil yang dipertanggungjawabkan kepada publik. Hambatan-hambatan utama yang menjadi inhibitor dari kebijakan-kebijakan nasional di bidang lingkungan selama ini adalah implementasi yang hampir selalu tidak berjalan bergandengan tangan dengan retorika dan wacana. Rencana-rencana yang dirancang bagaikan berada dalam sebuah enklave, terisolir dari dunia riil.
Salah satu mekanisme konkret adalah dengan menyebarluaskan agenda-agenda yang telah disusun disebarluaskan kepada publik untuk menciptakan kontrol dan penyeimbang(check and balance) organik. Setiap tahun, perkembangan dari rencana aksi tersebut perlu dilaporkan secara transparan dan akuntabel. Kegagalan untuk mencapai target yang telah ditetapkan dengan demikian dapat mendelegitimasi peran pihak-pihak yang terlibat.
Rencana Aksi
Terdapat lima pilar dari rencana aksi ini yang kelimanya berorientasi untuk memotong keempat akar masalah yang telah diuraikan sebelumnya.
Pertama, alih-alih menjadikan Citarum sebagai lokasi penampungan akhir limbah peternakan, khususnya limbah kotoran sapi, alangkah bijaknya apabila limbah tersebut melalui proses pengolahan untuk menghasilkan produk-produk yang bernilai tambah. Seekor sapi betina, dalam satu hari, diperkirakan menghasilkan 8-10 kilogram feses. Proses bioteknologi sederhana untuk memfermentasikan kotoran sapi menjadi pupuk organik gas metana adalah solusi umum yang efektif dan telah jamak dilakukan. Upaya ini, secara keseluruhan, diprediksikan memakan waktu 3 sampai 3.5 tahun.
Perangkat lunak utama yang harus disediakan untuk menunjang keberhasilan langkah ini adalah pendirian koperasi petani di daerah kantong-kantong peternak sapi. Koperasi peternak dapat menjadi episentrum dari langkah ini dengan menampung hasil pengolahan kotoran serta memasarkannya kepada konsumen. Selain itu, asistensi dari para pakar dari kalangan peneiliti ataupun akademisi bagi para peternak secara berkesinambunganpunkrusial.
Kombinasi yang solid dari langkah persuasif dan represif adalah kunci emas keberhasilan tahap ini. Pendekatan edukasional sebagai langkah persuasif perlu menjadi prioritas utama. Figur-figur yang berpengaruh di daerah tersebut adalah ujung tombak dari upaya ini. Melalui pelbagai lokakarya atau sekolah lapangan, dengan bahasa yang komunikatif, mereka perlu memasarkan kepada peternak bahwa dengan terlibat dalam pengolahan limbah ternak alih-alih membuangnya ke sungai, mereka tidak hanya terlibat dalam upaya merevitalisasi Citarum namun juga bahwa ini adalah upaya yang lukratif dan memiliki trigger effect yang besar dalam mendongkrak taraf hidup mereka.
Apabila setelah kerangka waktu 2 tahun setelah sosialisasi dan penyediaan perangkat lunak masih terdapat resistensi untuk terlibat dalam upaya ini, langkah represif terpaksa harus diambil. Pengenaan denda, kurungan atau penjara, untuk menciptakan efek jera bukanlah sesuatu yang tabu selama dilakukan dalam koridor dan rambu-rambu hukum.
Kedua, menghentikan alih fungsi lahan dari kawasan hutan konservasi daerah penangkap air menjadi daerah pertanian semusim. Seorang tokoh masyarakat yang patut menjadi panutan, Agus Derajat, telah mempelopori upaya persuasif mengalihkan perkebunan masyarakat dari kebun sayur ke kebun kopi. Alasan utama dari keengganan seluruh komponen untuk beralih adalah keuntungan ekonomis dari berkebun sayur yang berlipat ganda.
Dengan demikian, pekerjaan rumah terbesar adalah melibatkan para ahli pertanian dari dunia peneliti ataupun perguraun tinggi untuk mengidentifikasi komoditas tanaman yang tidak mencederai kelestarian lingkungan dan secara pararel memiliki nilai jual yang tinggi serta ceruk pasar yang luas. Riset-riset yang dilakukan ini diarahkan untuk menelurkan rekomendasi spesies tanaman dalam kerangka waktu 1.5 tahun. Selanjutnya, apabila masyarakat dapat menanam tanaman dengan imbal hasil yang sama, atau bahkan lebih, tinggi daripada tanaman sayur tersebut, saya percaya bahwa upaya ini tidak akan menemui inhibitor berarti.
Apabila dalam waktu 1.5 tahun tersebut riset-riset yang dilakukan belum dapat menemukan jenis tanaman yang tepat, petani sayur yang menebang kawasan hutan konservasi tersebut dapat dicarikan lahan untuk menanam sayur atau pekerjaan lain. Syarat utamanya, langkah ini tak dapat dilakukan dengan kekerasan dan harus dikawal oleh lembaga indepen untuk memastikan kepentingan dan rasa akan keadilan(sense of justice) setiap pihak terpenuhi. Juga, quid pro quo berupa kompensasi finansial harus diberikan. Setidaknya, kompensasi ini dapat memenuhi penghasilan yang berpotensi hilang selama 1 tahun. Figur yang dekat dengan masyarakatlah yang harus mengkomunikasikan urgensi dari langkah ini kepada para petani sayur sehingga dukungan sepenuh hati dari setiap pihak dapat dikantongi.
Opsi kedua ini jelas jauh lebih berat dari opsi pertama. Akan tetapi, apabil dalam waktu 1.5 tahun setelah riset menemui jalan buntu masih terdapat tindakan yang merusak kelestarian sungai masih terjadi, negara dapat menertibkan alih fungsi lahan ini secara tegas, tidak hanya sebatas menghimbau. Menyitir kata-kata mantan Wapres Jusuf Kalla, tugas pemerintah adalah memerintah, tidak hanya menghimbau, apalagi diperintah.
Ketiga, penertiban industri yang membuang limbah industri ke Citarum. Langkah tegas meliputi pencabutan izin usaha harus diterapkan pada industri-industri yang enggan melakukan pengujian kelayakan limbah dan pengolahan limbah. Limbah industri lebih sulit terurai ketimbang limbah rumah tangga, serta lebih membahayakan sehingga dibutuhkan aksi yang cepat untuk menghentikan perusakan oleh industri ini.
Menurut hemat saya, kurun waktu yang cukup singkat, 6 bulan sampai 1 tahun, dibutuhkan sampai tahap ini paripurna. Upaya ini sebenarnya adalah salah satu upaya yang termudah karena sistem yang tersedia untuk pengawasan terhadap industri dapat dikatakan cukup mapan. Hampir seluruh industri adalah perusahaan terdaftar dan langkah tegas dapat diambil dengan mudah bagi pelanggar ketentuan. Inhibitor utama dari upaya ini adalah “main mata” atau “kongkalikong” antara petugas pengawas dan pelaku industri. Logika sederhana mengatakan bahwa satu-satunya solusi adalah pejabat di tingkat tertinggi harus mengintensifkan sidak-sidak untuk memastikan ketertiban pelaku industri di sepanjang Citarum serta langkah tegas bagi pejabat yang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Tahap inilah yang paling menguji kepemimpinan dari individu yang memimpin rencana aksi ini. Integritas serta kesediaan untuk membenahi kekotoran sistemik dalam sebuah sistem memang bukanlah tugas yang mudah.
Keempat, yang merupakan upaya tersulit adalah adalah penanganan limbah rumah tangga dari anak-anak sungai pada khususnya. Kepingan padatnya pemukiman penduduk di sepanjang DAS Citarum seakan bertemu dengan kepingan habitus membuang sampah rumah tangga langsung ke sungai.
Untuk memulainya, mewajibkan setiap rumah untuk menyediakan saluran pembuangan sampah rumah tangga ke tempatnya adalah sebuah conditione sine que nen, sebuah kebutuhan mutlak. Selain itu, merubah habitus akan membuang sampah mensyaratkan penyediaan tempat-tempat sampah yang hiegenis dan memenuhi standar kebersihan internasional dalam jarak setidaknya setiap 100 meter pada jalan-jalan.
Jelas, langkah ini dapat dikatakan memiliki kompleksitas yang paling tinggi mengingat sulitnya melakukan pengawasan terhadap jutaan rumah tangga di sepanjang sungai. Karena itu, kerangka waktu yang lebih panjang, mencapai 5-6 tahun dibutuhkan sampai langkah ini tuntas.
Kelima, secara simultan dengan keempat upaya preventif tersebut, pengerukan sungai dalam skala masif tetap dibutuhkan. Sedimentasi di dasar Citarum telah mencapai level yang membahayakan, sehingga berimplikasi pada pendangkalan yang menghasilkan banjir secara teru menerus. Secara periodik, pengerukan sungai ini perlu dilakukan secara cepat mengingat imaji negatif yang telah diciptakan dari tumpukan sampah ini kepada dunia internasional.
Satuan Tugas
Satuan tugas yang dimaksud dalam artikel ini adalah tim yang melibatkan anggota dari tiga unsur utama. Ketiga unsur tersebut adalah masyarkat madani (seperti Lembaga Swadaya Masyarakat), pemerintah (melalui Kementrian Lingkungan Hidup serta pemerintah daerah Jawa Barat), serta kalangan peneliti dan ataupun akademisi. Ketiga tugas besar yang dipanggul satuan tugas ini - mendesain, mengawal implementasi, dan memonitor keberhasilan rencana aksi yang telah diuraikan di atas - hanya dapat diselesaikan oleh orang-orang dengan kreativitas, energi, determinasi, dan persistensi yang tinggi, disamping kapasitas serta ekspertise dalam bidang lingkungan hidup.
Pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hiduplah sudah seharusnya merangkul indvidu-individu yang layak menjadi bagian dari satuan tugas ini, tentu saja dengan menerima masukan-masukan dari para pemangku kepentingan. Kepada Kementrian Lingkungan Hiduppulalah satuan tugas harus mempertanggungjawabana tugasnya.
Di samping itu, sebuah indikator yang terukur tentang keberhasilan satuan tugas ini diperlukan. Beberapa indikator vital yang dapat digunakan adalah kadar zat kimia Zn(seng), Fe(besi), NH3-N, NO2-N(nitrogen),H2S(hidrogen sulfida), Mn(mangan),BOD(biochemical oxygen demand), COD(chemical oxygen demand), dan oksigen terlarut. Di daerah waduk, mutu air baku minum dapat pula menjadi indikator lainnya.
Dengan bentangan sungai Citarum yang amat panjang – mencapai sekitar 300 kilometer -, manajemen pengelolaan dapat dipermudah dengan membagi Citarum menjadi wilayah-wilayah yang masing-masing membentang sepanjang 8-10 kilometer. Setiap wilayah tersebut harus memiliki satu akar masalah yang sama. Di daerah industri, sebagai contoh, upaya menertibkan industri adalah tantangan utamanya sementara di daerah hulu, upaya merangkul para peternak sapi menjadi tugas terbesar. Pada setiap wilayah, seorang koordinator wilayah yang paling memiliki kapasitas untuk menangani persoalan setiap wilayah harus dipilih. Dalam mengemban tugasnya, seorang koordinator wilaya perlu bertindak secara progresif, mengeksplorasi solusi-solusi kreatif bagi setiap persoalan yang dihadapinya dan tidak semata bergantung kepada atasan.
Target jangka pendek (1 tahun), menengah (2-3 tahun), dan panjang (5-6 tahun) harus ditetapkan sejak awal bagi setiap wilayah. Seorang koordinator wilayah menandatangani pakta komitmen untuk memenuhi target tersebut sejak pengangkatannya.Demi mendorong para koordinator wilayah beserta jajarannya agar dapat menjalankan tugasnya secara progresif, perlu dibentuk sistem kompensasi berbasis indikator-indikator tersebut.
Insentif tersebut dapat diberikan dalam bentuk insentif finansial berupa imbalan maupun insentif psikologis. Insentif psikologis ini dapat melibatkan penyosialisasian keberhasilan koordinator wilayah serta jajarannya dengan menciptakan media yang memungkinkan masyarakat mengakses serta mengetahui koordinator wilayah yang berhasil ataupun yang gagal. Sebagai contoh, sebuah portal (website) yang di dalamnya memuat penilaian dengan indikator yang terukur sebagai tolok ukur utamanya dapat menciptakan kebanggaan tersendiri bagi mereka yang menampikan capaian maksimal.
Kompensasi ini akan mengubah kalkulus dari tugas yang diemban mengingat kompensasi akan memastikan bahwa kesuksesan mereka akan terkait langsung dengan kesuksesan revitalisasi sungai di setiap wilayah. Begitu pula kegagalan dari revitalisasi ekuivalen dengan kegagalannya pula.
Epilog
Untuk mengakhiri artikel ini, saya menstabilo merah dua aturan utama kesuksesan revitalisasi ini. Aturan pertama, konkretisasi. Aturan kedua, jangan lupa aturan nomor satu. Niscaya, menyaksikanCitarum terbebas dari status sebagai narapidana dari penjara limbah logam berat dan sedimentasi, bukanlah utopia yang eksis dalam novel-novel Hans Christian Andersen belaka.
Pada akhirnya, apabila kita berhasil untuk merevitalisasi Citarum, proyek ini dapat menjadi pilot project bagi sungai-sungai serupa yang tercemar di seantero tanah air. Dan, di hari esok, setiap kali anak-cucu kita membuka catatan sejarah mereka akan mengingat kita sebagai generasi yang mengambil pilihan yang sulit di saat pilihan yang mudah tersedia. Ya, kita bisa!
Nicholas Reyner
Siswa SMAK 1 BPK PENABUR Jakarta