Semua berawal dari rasa takut berlebih atas masa depan. Karena penghambaan pada rasa traumatik begitu mendalam. Dicecar oleh segenap manusia, akibat terhunus oleh tajamnya pedang perkumpulan magis yang tak terlihat.
Segenap jiwa berkata pada raga, “hai raga mengapa engkau tidak berdiri tegak, engkau punya vertebra yang menyokongmu kuat”ujar sang belahan jiwa.
“Tak mengapa, ada bagian dari bagian ragaku membungkuk, hingga pundak ini tak bisa lagi tegak” sahut raga dengan malas.
Jiwa mengepul seperti asap rokok di ruangan sempit. Berputar-putar dalam pusara kebingungan. Mencoba membaur dengan raga yang duduk lunglai, tertunduk menghadap lantai. Raga pucat pasi, menggigil seperti kedinginan, gemetar seakan habis mengalami penindasan.
“Mengapa kau bergetar hebat” Tanya jiwa kembali. Dengan terbata-bata raga menjawab, “aku merasa takut akan seonggok daging disana” sembari menunjuk secelah cahaya berukuran lingkaran sebesar bola tenis.
“Bukan hanya seonggok berdiri sendiri, mereka banyak, magis, tak tampak oleh khalayak luar”. Matanya membelalak, “bahkan bagian ragaku disana tak mampu mencari dari mana mereka berasal!!”.
Jiwa mendadak menjadi gumpalan asap, berbentuk seperti kepompong dan merangkul raga. “Sudahlah, kau sedang ketakutan akan dimensi kemarin, kau takut dimensi kemarin akan mempengaruhimu pada jalan depan”.
Sambil menyeka air mata, suara raga sendu, “Ya benar, aku mulai ketakutan. Memendam rasa gelisah akan apa yang telah terjadi pada dimensi kemarin”
“Tahukah, semua takut pada seonggok daging yang disebut manusia. Karena ada sebab muasababnya, pertama guncangan otak yang bermain pada pikiran, menyebabkan ketakutan traumatik yang tak perlahan disembuhkan. Kau akan menghindar dari manusia saat mulai bertemu atau berpapasan, tak lagi mau berkumpul dengan mereka. Seakan mereka mengancammu, karena luka dalam tak terperi menghujam dada. Tak mampu mendasari logika yang haus akan alasan. Kedua rasa rendah dirimu, kau merasa tak mampu mendapatkan apa yang bisa manusia dapatkan, hingga kau mulai menyingkir dari peradaban rutinitas yang dibuat manusia.”
Jiwa mencoba menepuk bahu raga, tapi tepukan itu buyar saat menghantam. Karena jiwa hanya sekumpulan asap putih. “Tak mengapa wahai raga, itu takdirmu, maka jalanilah”
“Tidak semua mampu menjadi dirimu, tahukah, ada makna dibalik setiap tirai kehidupan”
Wajah raga yang tertunduk mulai perlahan tegak dan menatap celah cahaya dengan binar mata yang memantulkan cahaya. [mengesankan]