Berdiri di sepertiga jalan, membawa tongkat yang diikat pada sebuah kain (biasanya merah putih), senter merah kelap kelip... dan tidak lupa kaleng Kong Guan bekas sambil mengibas kibaskan tongkat kecil mereka ke arah yang harus dituju. Seribu rupiah, "suwuuun mas...ati-ati neng ndalan" ucapnya dengan sangat iklas, lima ratus " suwun..!!." pendek tanpa ekspresi. Jika lewat aja tanpa melempar recehan ke kaleng mereka maka, "woooeeee..." umpatan yang terlontar.
Dari percakapan mereka yang secara tidak sengaja saya mendengar (karena ngantuk berat, maka saya perlu berhenti sejenak di sebuah warung kopi), hari ini mereka mengumpulkan 30 rb rupiah, lumayan 10 ribuan masing-masing.Dilihat dari usianya, mestinya mereka masih SD atau apesnya SMP.
Mari kita bayangkan 5 atau 6 tahun kedepan setelah Tol alternatif yang baru telah beroperasi, dan akan semakin jarang mobil atau motor yang melewati persimpangan desa mereka. Mudah2an mereka sedang mengaji kemudian belajar kalkulus dirumah, atau sedang menulis surat cinta karena naksir gadis sekelasnya. Mudah2an mereka tidak sedang termenung diujung jalan desa sambil mengumpat kepada Jasa Marga yang terlalu cepat membangun jalan tol baru sehingga penghasilan recehan mereka menurun drastis belakangan.
Dan jika 20 atau 25 tahun lagi mereka menjadi guru ngaji, sarjana matematika, atau penulis berbakat (khusus surat-surat cinta), bukannya sedang berdiri diujung pintu tol sambil membawa kaleng Kong Guan bekas, atau meloncat dari bis ke bis membawa gitar usang dan ketipung pipa paralon, maka selamatlah generasi itu. Generasi yang tercipta karena tiba-tiba lumpur menyembur di desa tetangga. Generasi yang hadir karena setiap orang dari kita spontan melempar recehan ke kaleng Kong Guan yang mereka sodorkan sehingga membuat mereka menganggap bahwa hidup begitu mudah, dan tanpa sadar kehilangan keinginan untuk berkompetisi.