Oh ya, saya lupa memberi tahu alasan sampai saya begitu tertarik dengan kasus ini. Jawabannya simpel saja dan mungkin sama dengan kebanyakan orang. Alasannya karena dana sebesar Rp 6.7 triliun yang digunakan untuk membailout Bank Century. Jumlah yang sangat besar (sekitar 0.13% dari GDP kita tahun lalu).Tapi saya sendiri tidak terlalu yakin seberapa banyak kah Rp 6.7 triliun itu karena belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang sebanyak itu. Apalagi menggunakannya. Tapi mari kita coba hitung sama-sama. Kalau uang itu kita pecah dalam uang satu ribuan dan kita susun berdasarkan sisi panjangnya, maka total panjang yang dihasilkan adalah sekitar 944.700 km. Panjang ini sama dengan 87 kali panjang lingkaran planet bumi atau lebih dari 2 kali jarak antara bumi dengan bulan. Dengan asumsi ada 3 juta guru di Indonesia, setiap guru bisa menerima Rp 2.2 juta apabila uang itu dibagikan secara rata. Bila untuk mambangun sebuah SD diperlukan Rp 2 milyar, kita bisa membangun 3350 sekolah-sekolah dasar baru. Uang sebesar ini juga bisa dipakai untuk menyekolahkan lebih dari 7500 orang mahasiswa S3 Indonesia ke Jepang. Apabila uang ini kita pakai untuk membeli secangkir kopi starbuck dengan harga Rp30 ribu setiap hari, coba hitung berapa tahun yang dibutuhkan untuk menghabiskannya.
Apakah keputusan pemerintah untuk membailout BC telah menyelamatkan rakyat Indonesia dari keterpurukan ekonomi ?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling kita harapkan jawabannya. Terutama pansus DPR. Pertanyaan yang sama adalah apakah akan terjadi dampak sistemik apabila pemerintah tidak membailout BC. Saya yakin tidak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan sempurna. Tidak terkecuali Boediono dan Sri Mulyani. Mengapa, karena tidak ada cara untuk membuktikannya. Setiap ekonom mungkin bisa mencoba memberikan jawaban. Tapi semua jawaban itu tidak bisa dibuktikan secara empiris.
Lalu, kalau terjadinya dampak sistemik tidak bisa dibuktikan, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa keputusan bailout telah menyelamatkan rakyat Indonesia. Jawabannya sedikit sulit. Ini tergantung dari besarnya kemungkinan terjadinya dampak itu dan besarnya kerugian yang akan ditanggung apabila dampak itu benar-benar terjadi. Mari kita mencoba memikirkan jawabannya. Asumsikan pemerintah hanya bisa memilih satu dari dua keputusan, membailout BC atau tidak. Kita tuliskan keputusan untuk membailout dengan D1 dan keputusan untuk tidak membailout dengan D2. Ekspektasi atau rata-rata kerugian dari kedua keputusan ini bisa kita tulis dengan E(D1) dan E(D2). Apabila dana untuk membailout adalah X dan kerugian akibat dampak sistemik adalah Y, dan kemungkinan terjadinya dampak sistemik adalah β, maka kita bisa mendapatkan ekspektasi kerugian dari kedua keputusan di atas sebagai berikut.
E(D1) = (1 - β)X.....................(1)
E(D2) = βY...........................(2)
Kita sudah tahu bahwa X=Rp 6.7 triliun. Tapi kita tidak tahu berapa kerugian dari dampak sistemik Y. Saya kira para pakar di Depkeu dan BI sendiri pun hanya bisa membuat estimasi yang tingkat kesalahannya mungkin besar. Untuk memudahkan masalah, kita asumsikan Y=Rp 100 triliun seperti yang pernah keluar dari mulut Sri Mulyani pada sidang Pansus. Syarat keputusan bailout untuk bisa dijustifikasi adalah ekspektasi kerugian ketika membailout harus lebih kecil daripada ketika tidak ada bailout, atau E(D1) < E(D2). Syarat ini equivalent dengan
β > X/(X+Y).........................(3)
Kita substitusi nilai X dan Y ke dalam pertidaksamaan di atas dan kita dapatkan
β > 0.063...........................(4)
Artinya, apabila kemungkinan terjadinya dampak sistemik lebih dari 6.3%, maka kita bisa menjustifikasi keputusan bailout. Dengan kata lain, kita bisa yakin 93.7% (100%-6.3%) bahwa keputusan Sri Mulyani dkk adalah keputusan yang tepat (asalkan terjadinya dampak sistemik adalah random). Dari hasil ini sepertinya kita harus mendukung keputusan bailout. Benarkah demikian?, sayang jawabannya tidak semudah itu. Kita belum tahu besarnya kemungkinan dampak sistemik β. Apabila nilai β < 0.063, atau kemungkinan dampak sistemik tidak lebih dari 6.3 % kita harus mengatakan keputusan pemerintah adalah keliru.
Saya yakin para pejabat di KSSK sudah menguras otaknya untuk mengukur nilai si β ini. Untuk mencari tahu nilai β, kita perlu tahu faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Sebagai orang awam, saya kurang tahu faktor-faktor apa saja itu. Mungkin kondisi IHSG, nilai valuta asing, jumlah Bank yang bermasalah, dan lain-lain. Atau mungkin rata-rata panjang rambut wanita selama 3 bulan terakhir atau jumlah kupu-kupu yang terbang di hutan Amazon ?*. Yang pasti data-data yang dianggap relevan dari BI digunakan oleh anggota KSSK untuk membuat estimasi ini. Seberapa baguskah akurasi dari estimasi yang dibuat oleh KSSK? ini yang ingin seluruh rakyat Indonesia ketahui. Sayang anggota pansus tidak berkompeten untuk mengorek jawaban ini.
Secara pribadi saya ingin tahu apakah informasi kondisi psikologis di pasar riil (bukan hanya di pasar uang) dijadikan bahan pertimbangan oleh KSSK. Misalnya indeks difusi (DI). DI adalah indikator tentang persepsi psikologis pelaku bisnis berkaitan dengan kondisi ekonomi di masa depan. DI didapatkan dengan menghitung persentasi pelaku bisnis yang menganggap keadaan akan membaik dikurangi dengan persentasi yang menggangap akan memburuk. Jika nilainya minus, kemungkinan terjadinya dampak sistemik β bisa membesar. Yang saya tahu Bank of Japan mengumpulkan data DI secara berkala, tapi saya kurang yakin apakah BI melakukan hal yang sama. Satu lagi adalah persepsi masyarakat Indonesia secara umum. Kalau sebagian besar masyarakat beranggapan "BC mau bangkrut kek, emang gue pikirin", kemungkinan terjadinya dampak sistemik akan berkurang. Dengan kata lain, kemungkinan keputusan bailout adalah keliru menjadi besar.
Apakah dana untuk bailout memang membutuhkan Rp 6.7 triliun?
Saya sendiri tidak tahu karena bukan pakar perbankan dan tidak tahu kondisi asset BC pada saat itu. Tapi mungkin kita bisa memikirkan apakah jumlah itu layak (dari sudut pandang orang awam). Kita kembali lagi ke persamaan (1) dan (2). Kali ini kita asumsikan kemungkinan terjadinya dampak sistemik β = 0,1, dan kerugian akibat dampak sistemik Y = Rp 100 triliun, Y= Rp 50 triliun, dan Y = Rp 10 triliun. Supaya syarat untuk menjustifikasi keputusan bailout terpenuhi (E(D1) < E(D2) ), dana maksimal bailout yang boleh dikeluarkan adalah
X < Rp 11.1 triliun jika Y = Rp 100 triliun.
X < Rp 5.6 triliun jika Y = Rp 50 triliun.
X < Rp 1.1 triliun jika Y = Rp 10 triliun.
Jika kerugian dari dampak sistemik adalah 100 triliun, dana bailout yang sebesar Rp 6.7 triliun masih dibawah angka maksimal sehingga bisa kita bisa anggap layak. Jika kerugian dampak sistemik adalah Rp 50 triliun, dana bailout melebihi angka maksimal dan harus dikatakan tidak layak. Jika kita menghitung berapa jumlah kerugian dampak sistemik yang diperlukan supaya dana bailout Rp 6.7 triliun dikatakan layak, kita dapatkan Y > Rp 60.3 triliun.
Apa yang ingin saya tunjukan disini adalah wajar tidaknya angka Rp 6.7 triliun tergantung pada besarnya kerugian dampak sistemik Y (dan kemungkinan terjadinya dampak itu tentunya). Tapi sekali lagi, tidak ada seorang pun yang tahu berapa besarkah kerugian yang akan kita alami dari dampak sistemik. Sri Mulyani mengatakan bisa ratusan triliun. Sebagai seorang WNI (meski tidak membayar pajak), saya ingin tahu pertimbangan apa yang dipakai untuk membuat estimasi ini. Dan sekali lagi, sayangnya tidak ada seorang pun dari anggota Pansus yang bisa mengorek informasi ini.
Apa yang sudah dan akan dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan performance BC?
Pertanyaan ini tidak kalah pentingnya dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya tapi luput dari perhatian kita selama ini. Salah satu alasan bailout adalah apabila BC diselamatkan dan performancenya bisa ditingkatkan maka nilai Bank ini akan melebihi Rp 6.7 triliun. Tapi realisasinya tidaklah semudah mengatakannya. Untuk membangun kembali Bank itu tidak cukup dengan menyuntikan dana atau sekedar merubah namanya. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang ketika kepercayaan terhadap pasar uang menurun dan persaingan yang semakin ketat. Butuh kerja keras di segala bidang, bukan saja dalam hal pengelolaan asset tapi juga perbaikan pelayanan kepada nasabah, management yang bersih, pengembangan produk baru, dan lain-lain. Pertanyaan seperti inilah yang seharusnya mendapatkan porsi waktu yang cukup lama dalam sidang Pansus. Lebih jauh lagi, upaya-upaya pencegahan apa saja yang dilakukan pemerintah dan BI supaya kejadian yang sama tidak terulang. Hal ini perlu dijelaskan kepada publik.
Apakah Pansus kasus BC memang diperlukan?
Saya sendiri beranggapan bahwa pembentukan pansus adalah perlu. Sudah menjadi hak rakyat sebagai pembayar pajak untuk meminta penjelasan atau pertanggungjawaban pemerintah atas penggunaan uang negara. Apalagi uang yang dipakai kali ini tidaklah kecil. Bisa-bisa negara kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan 7500 Doktor baru lulusan LN secara percuma.
Tapi dalam pelaksanaannya, sepertinya anggota Pansus lupa bahwa sistem pemerintahan kita adalah presindentil yang menyatakan bahwa menteri bertanggujawab terhadap presiden. Yang bertanggung jawab atas setiap keputusan anggota kabinet adalah presiden. Jadi yang seharusnya diperiksa bukanlah Sri Mulyani dan beberapa orang lain melainkan Presiden SBY. Pemanggilan Boediono sebagai Gubernur BI waktu itu sudah tepat karena BI adalah lembaga independent. Akankah Presiden SBY dipanggil oleh anggota Pansus yang di dalamnya ada beberapa orang Partai Demokrat?. Silahkan anda jawab sendiri.
Hasil apakah yang bisa kita harapkan dari Pansus?
Saya termasuk yang pesimis terhadap jawaban atas pertanyaan ini. Saya tidak yakin Pansus bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi rakyat Indonesia. Bukan tidak mungkin malah merugikan kita kalau misalnya biaya untuk mengadakan sidang-sidang itu memakan biaya yang mahal. Alasannya jelas kalau kita perhatikan pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan. Banyak yang tidak relevan, kalau tidak kita katakan tak bermutu. Sulit untuk dikatakan kalau pertanyaan-pertanyaan mereka bisa menarik jawaban atas apa yang ingin diketahui masyarakat. Sebagai contoh, ada pertanyaan apakah Boediono menangis dalam suatu rapat, apakah Sri Mulyani pernah mengatakan kata "Robert" dalam suatu rapat, apakah tanda tangan Marsilam dalam daftar hadir adalah asli. Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak berguna.
Seorang teman saya memberi komentar dalam status saya di FB bahwa ada kemungkinan akhir dari sidang pansus ini adalah tawar menawar politik. Parpol-parpol yang mengirimkan anggotanya di Pansus akan berusaha meminta lebih banyak jatah kursi di pemerintahan dengan temuan mereka dalam sidang sebagai senjata. Di lain pihak pemerintah (baca PD) juga dalam posisi kuat karena bisa mereshuffle kabinet kapan saja. Tentu saja hal ini sangat tidak kita harapkan. Terlalu menjijikan kalau ini sampai terjadi.
*Catatan:(1) Kondisi ekonomi bisa dilihat dari panjangnya rambut wanita. Kalau secara rata-rata panjangnya bertambah, ini artinya banyak wanita yang mengurangi pengeluarannya untuk memotong rambut karena khawatir kondisi ekonomi akan semakin memburuk. (2) Setiap kepakan sayap kupu-kupu di hutan amazon bisa menyebabkan tornado yang bisa merusak perekonomian Amerika. (boleh percaya boleh enggak ;D )