Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial Pilihan

Perencana Keuangan di Tengah Ketidakpastian

7 Oktober 2022   19:19 Diperbarui: 7 Oktober 2022   19:26 330 4
BAGAIMANA MERENCANAKAN KEUANGAN ketika kondisi ekonomi global sedang krisis? Ini menjadi pertanyaan yang mendesak. Bagaimana merencanakan Pendidikan Anak? Bagaimana merencanakan Pensiun?

Kemarin, 6 Okt 2022, saya menjadi salah seorang narasumber dalam acara World Financial Planning Day 2022. Terus terang, kali ini saya agak tertekan karena masih memikirkan implikasi dari keruntuhan Credit Suisse dan Deutshce Bank, lalu UBS. Bank Sentral Swiss sudah turun tangan. Credit Suisse dilaporkan mengalami kerugian lebih dari USD 100 Milyar sepanjang tahun 2022.

Lalu ada pernyataan dari Bank of England, yaitu bank sentral Inggris, bahwa banyak lembaga pensiun nyaris mengalami keruntuhan. Dana kelolaan mereka runtuh, habis. Bagaimana nasib orang-orang tua di Inggris yang berharap hidup dari dana pensiun? Banyak perencana keuangan di negara Eropa yang kini tidak berani muncul, sebab nasehatnya yang dahulu terdengar bijak, kini terbukti gagal.

Kondisi di Inggris, juga di beberapa negara bagian Amerika Serikat -- seperti di California, di mana pemerintah California memutuskan memberi Bantuan Langsung Tunai $1000 kepada warga. Memberi stimulus tunai di tengah inflasi, itu hanya membuat inflasi makin tinggi -- semua gagal diantisipasi oleh perencana keuangan, Independent Financial Advisor, juga pemegang tanda CFP. Tidak ada yang menyangka akan terjadi seperti ini.

Bagaimana dengan di Indonesia? IHSG agak turun, namun tidak dalam. Yield masih stabil, tidak melonjak. Inflasi masih di kisaran 6%. Tetapi, apakah akan bertahan?

Sebagai perencana keuangan, kita mengambil kesimpulan dari apa yang terjadi pada aset-aset yang dapat diperoleh, entah aset fisik atau aset surat berharga alias efek.

Menilai pembelian saham, misalnya. Jika kita melihat saham per emiten, biasanya sepintas kita melihat laporan keuangan emiten, lalu lebih banyak melihat pergerakan harga sahamnya. Kita memakai analisa teknikal untuk menentukan  kapan masuk membeli, kapan keluar menjual. Tiga hal harus ditentukan: di mana harga untuk menaruh buy order, di mana harga memasang stop loss, serta di mana harga menaruh take profit. Analisa yang dipakai adalah analisa teknikal.

Ketika dana lebih besar, kita melihat sektoral dari saham, di Indonesia terbagi menjadi 11 sektor. Bukan hanya emiten, tapi kita juga harus melihat seperti apa kebijakan Pemerintah dalam membangun, di sektor mana ada pertumbuhan terbesar, kesempatan besar. Kita bisa melihat dan membandingkan indeks harga saham per sektor.

Di tingkat negara, kita melihat nilai indeks saham gabungan, kalau di Indonesia IHSG. Mungkin kita juga melihat indeks dari kumpulan tertentu, misalnya LQ45 dan Kompas100 untukk berinvestasi jangka panjang secara aman. Namun di tingkat ini, kita juga melihat alternatif lain investasi, seperti obligasi korporasi, atau obligasi negara. Atau kita mau berinvestasi di komoditi, termasuk emas? Kita memakai analisa fundamental dari makro ekonomi negara.

Analisa-analisa ini mengasumsikan bahwa semua berjalan secara normal, di mana semua melakukan pilihan serupa. Ada situasi di mana pasar bergairah dan berani mengambil risiko (disebut bullish), maka porsi pembelian investasi yang diambil lebih banyak saham. Tapi juga bisa terjadi sebaliknya pasar takut risiko (disebut bearish),  maka porsi pembelian investasi yang diambil lebih banyak obligasi.

Orang mempunyai dana terbatas, jadi kalau ingin membeli saham, mereka menjual obligasinya. Kalau ingin membeli obligasi, maka mereka menjual sahamnya. Tentunya, tidak mungkin seluruhnya adalah saham atau obligasi, karena orang juga harus menyimpan uang untuk bertransaksi, di simpan di berbagai bentuk pasar uang termasuk tabungan deposito di bank.

Merasa sangat awam dalam menilai saham dan obligasi dan pasar uang? Tidak usah pusing, serahkan saja dana ke dalam Reksa Dana Campuran, di mana perusahaan Manajemen Aset akan mengelola membeli saham dan obligasi dan pasar uang mengikuti kondisi. Di sini ada Manajer Investasi yang membuat pilihan dan hasil investasi yang sangat berbeda-beda.

Merasa diri lebih agresif dan berani ambil risiko, namun pusing dalam memilih saham? Tidak usah bingung, serahkan saja dana ke dalam Reksa Dana Saham. Manajer Investasi akan membeli saham menurut klasifikasi tertentu, yang dinyatakan di dalam Prospektus yang mereka keluarkan.

Merasa diri mencari keamanan, ingin investasi yang lebih tenang stabil dan tidak banyak risiko? Mudah saja, serahkan saja dana ke dalam Reksa Dana Pendapatan Tetap. Manajer Investasi akan membeli obligasi menurut klasifikasinya, sekali lagi pelajarilah Prospektus dari Reksa Dana.

Atau pusing menaruh dana di bank mana yang bagus memberikan bunga deposito? Serahkan saja dana ke Reksa Dana Pasar Uang. Manajer Investasi akan menaruh dana di deposito dan instrumen pasar uang yang memberikan pengembalian terbaik.

Ini semua adalah pilihan efek alias surat berharga di pasar modal. Tentunya masih ada pilihan berinvestasi di properti, atau investasi di benda antik. Itu pilihan yang bisa diambil. Semua investasi dilakukan dengan satu tujuan: memelihara nilai riil dari harta yang diperoleh, sebab nilai uang tunai yang kita pegang merosot dari waktu ke waktu, tererosi oleh inflasi.

Nilai dari investasi membesar karena tiga hal. Yang pertama, memang nilai investasi meningkat, karena lebih banyak yang ingin membeli dibandingkan yang menjual. Kalau terjadi sebaliknya, lebih banyak yang menjual daripada membeli, maka harga akan menurun.

Yang kedua, nilai investasi meningkat karena aset tersebut menghasilkan uang, entah berupa dividen saham, atau berupa kupon obligasi. Atau kalau berinvestasi di properti yang dibuat jadi tempat kost, ada uang sewa kost yang diterima. Dalam hal ini, diasumsikan seluruh uang yang diterima terus diinvestasikan kembali.

Yang ketiga, nilai investasi meningkat karena investor menambahkan dananya. Ada beberapa cara seperti Dollar Cost Averaging di mana investor membuat jadwal teratur setiap bulan pada tanggal yang sama menambah dana ke dalam investasinya. Ini adalah cara yang sering disebut orang tua kita: ayo menabung, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.

Proses berinvestasi pada hakekatnya menaruh dana ke dalam "vest" -- itu lho, baju yang dipakai oleh pemburu, yang punya banyak kantung. Kadang ditaruh di kantung kiri, kadang di kantung kanan, atau mungkin pindah-pindah kantung kiri dan kanan. Orang yang berinvestasi menunda konsumsinya pada hari ini, dengan tujuan agar kelak di kemudian hari, di masa depan yang jauh, dapat mengkonsumsi jauh lebih besar, dapat membayar apa yang harus dibayar pada saatnya kelak.

Kebanyakan orang tidak memulai investasi dengan nilai yang besar, melainkan mengumpulkan nilai investasi dengan menambahkan secara teratur (atau tidak teratur). Yang disarankan adalah lebih dahulu berinvestasi dari pendapatan sebelum melakukan konsumsi lain. Tujuannya, nanti untuk bayar uang masuk anak ke Perguruan Tinggi. Tujuan lain, nanti untuk biaya hidup setelah pensiun. Begitulah rencana keuangan dibuat.

Apakah rencana keuangan pasti berjalan sesuai rencana? Tentu tidak. Bisa terjadi musibah mendadak pada diri kita, misalnya mengalami sakit berat, harus dioperasi dan tagihannya besar. Tidak ada yang merencanakan untuk sakit, apalagi meninggal dunia. Tetapi di atas bumi ini, ada saja terjadi demikian. Maka, ada lembaga keuangan yang disebut ASURANSI untuk menghindari konsekuensi finansial yang muncul dalam suatu musibah.

Jadi asuransi BUKAN investasi, bukan tabungan. Sebenarnya, membayar premi asuransi adalah suatu pengeluaran biaya, yang tidak akan kembali, untuk memperoleh jaminan bahwa pada saat terjadi musibah penanggung akan memberikan Pertanggungan sesuai yang diperjanjikan dalam polis.

Kalau sudah memahami hal-hal ini, kita kembali melihat bahwa semuanya, sekali lagi, diasumsikan berjalan secara normal: bahwa ekonomi itu roda berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Ada waktunya orang bergairah, ada waktunya orang cemas. Apa yang turun, nanti akan naik lagi walau tidak tahu kapan. Ada masa terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi, ada masa terjadi resesi di mana ekonomi menyusut.

Bagaimana jika terjadi kondisi DEPRESI? Dunia sudah pernah mengalami, terakhir tahun 1929.

Dalam depresi, ekonomi menghilang. Saham bukan saja turun, tetapi lenyap sebab emiten bangkrut. Obligasi bukan saja jatuh nilainya, tetapi jadi hutang yang tidak dibayar alias default. Perbankan mempunyai instrumen untuk melindungi hutang dari kebangkrutan, instrumen yang disebut CDS (Credit Default Swap), tetapi ketika terlalu banyak CDS diklaim -- maka bank penerbitnya yang bisa bangkrut.

Asumsi seperti obligasi adalah instrumen investasi yang aman dapat menjadi gagal, nilainya jatuh (ditandai dengan yield yang meningkat naik tajam, orang bersedia menjual obligasinya sangat murah). Ketika dana pensiun disimpan kebanyakan dalam obligasi dan nilainya jatuh, maka lembaga pensiun tersebut bisa bangkrut.

Perusahaan Asuransi juga bermasalah: ketika cadangan premi disimpan kebanyakan dalam obligasi dan nilai obligasinya jatuh, maka perusahaan asuransi itu bisa gagal memberikan pertanggungan yang dijanjikan, entah secara nominal, bisa juga secara jangka waktu yang semakin pendek.

Bagaimana dengan saham? Ada berbagai macam kelas saham, di mana saham berkapitalisasi besar tidak selalu kuat. Ada saham yang kapitalisasi tidak besar malah bertahan sebagai saham defensif. Mengapa begitu?

Karena saham berkapitalisasi besar umumnya dari emiten yang mempunyai proyeksi jangka panjang pertumbuhan besar juga, seringkali dalam bidang teknologi. Emiten atau perusahaan yang bergerak di bidang hal yang rutin seperti distribusi beras dan kebutuhan pokok, tidak mempunyai proyeksi pertumbuhan besar. Beras adalah barang komoditas yang harganya sudah diatur dan tidak dapat untung besar.

Ketika krisis terjadi, masyarakat tidak membeli produk teknologi sehingga muncul kerugian emiten, dan harga sahamnya juga jatuh ke jurang. Tapi dalam situasi krisis, orang tetap butuh makan, butuh distribusi bahan pokok, dan harga saham perusahaan distribusi itu relatif bertahan.

Begitu juga dengan obligasi. Ketika korporasi yang bergerak di bidang teknologi mengeluarkan obligasi, mungkin krisis menyebabkan kerugian sehingga perusahaan tidak berhasil membayar obligasinya. Berbeda dengan perusahaan yang bergerak di bidang makanan, krisis tidak serta merta menurunkan penjualan makanannya -- masyarakat tetap butuh makan. Masih ada keuntungan sehingga pembayaran kupon obligasinya tetap berjalan teratur.

Kita belajar sesuatu dari tahun 2008, ketika ekonomi global diguncang oleh sebuah instrumen yang disebut Subprime Mortgage -- ini instrumen yang dikeluarkan oleh perbankan di Amerika Serikat. Ketika Subprime Mortgage gagal, pertanyaan terbesar adalah di mana bank yang terkena racun Subprime, dan mana bank yang bebas dari Subprime?

Salah satu bank adalah Washington Mutual, bank yang punya 2300 cabang di 15 negara bagian Amerika Serikat, punya nilai tabungan $188 Miliar, punya nilai aset $307 Miliar. Dan bangkrut, kena racun Subprime Mortgage senilai $16 Miliar hingga akhirnya diakuisi oleh JPMorgan Chase, semua cabang WaMu berganti nama jadi Chase.

Dan tentunya kita juga tidak lupa pada Lehman Brothers, jatuh karena keracunan Subprime Mortgage. Ini tahun 2008.

Bagaimana dengan tahun 2022?

Racun di tahun 2022 adalah mata uang US Dollar, yang menjadi racun karena pengendalinya, yaitu The Fed, terus menaikkan suku bunga demi melawan inflasi yang muncul di Amerika Serikat. Nilai US Dollar terus naik atas semua mata uang negara lain. Karena perdagangan dunia dilakukan dalam mata uang US Dollar, maka semua yang diperdagangkan menjadi mahal, inflasi melanda dunia.

Perdagangan dunia seperti direm kuat-kuat, demikian dilaporan oleh WTO.

Bayangkan kalau suatu perusahaan atau negara mempunyai hutang dalam mata uang US Dollar, dibayar dari pendapatan dalam mata uang lokal. Hutang yang dihitung dalam mata uang lokal menjadi membesar, dan terus membesar, karena The Fed mau terus menaikkan suku bunganya. Tentunya negara bersangkutan berusaha mengimbangi kenaikan suku bunga, bank sentral menaikkan juga suku bunga mata uang lokal, yang berarti bunga hutang dalam negeri meningkat, likuiditas menurun.

Bagaimana dengan surat hutang atau obligasi yang sudah dikeluarkan? Yield dari obligasi harus mengimbangi kenaikan suku bunga, maka nilai obligasi jatuh turun. Kalau korporasi yang menerbitkan obligasi terjebak dalam suku bunga tinggi dan hutang dalam US Dollar, maka korporasi itu bisa bangkrut dan obligasinya gagal bayar.

Tentunya korporasi tidak begitu saja bangkrut. Dalam keadaan sukar, ada hal-hal yang bisa dilakukan antara lain pengurangan karyawan. Terjadilah banyak PHK di mana-mana. Cabang-cabang yang tidak menghasilkan terus ditutup, supaya asetnya bisa terus dijual dengan harga yang masih agak tinggi. Terjadi peningkatan jumlah pengangguran.

Karena korporasi tutup, karena pabrik berhenti bekerja, maka permintaan akan komoditas dan bahan baku juga menurun tajam. Permintaan komoditas menurun, maka harga komoditas seperti besi baja, tembaga, karet, kopi, coklat, kedelai, jagung -- semuanya turun. Kebutuhan energi juga turun, maka harga minyak bumi juga turun.

Situasi depresi berbeda dari resesi. Dalam resesi, entitas usaha masih ada hanya mengurangi output barang dan jasanya karena pasar menurun. Dalam depresi, entitas usaha tertekan dan menghilang, sehingga output secara permanen lenyap. Perusahaan lenyap, lapangan pekerjaan lenyap, dana pensiun lenyap, uang di tabungan lenyap. Habis.

Yang bertahan adalah usaha yang berkaitan dengan kebutuhan hidup secara langsung: orang tetap makan, tetap minum, tetap butuh kesehatan, tetap butuh telekomunikasi, tetap butuh energi. Tidak ada lagi barang mewah keren mahal yang dilirik untuk dibeli. Tidak ada lagi smartphone dengan teknologi kamera super canggih yang dipesan, karena orang tidak bisa membayar cicilan bulanannya (biasanya dijual dengan cara dicicil).

Lihat belum lama ini ada berita, perusahaan di Korea Selatan tidak lagi memproduksi chip terbaru teknologi tinggi. Mungkin produk flagship akan menghilang tahun depan.

Lihat siapa yang keracunan karena menelan US Dollar, di sana ada masalah. Oops, semua memakai US Dollar. Semua bermasalah. Dulu 2008 dunia meramaikan gelembung Subprime Mortgage. Kini yang diributkan adalah gelembung segala sesuatu, sebab segala sesuatu bersentuhan dengan US Dollar.

Akibatnya: semua penilaian akan pasar efek: saham, obligasi, pasar uang, juga pada aset tetap seperti properti -- semua terancam perubahan sangat besar jika dunia mengalami depresi global, yang bisa terjadi tahun 2023.

Apakah SEMUA HANCUR? TIDAK, syukurlah bahwa Indonesia tidak sedalam itu terkait US Dollar. Tetapi usaha-usaha di Kota Besar seperti DKI Jakarta lebih banyak bersentuhan, maka mungkin akan mengalami dampak yang terasa lebih keras, dibandingkan Kota Bandung, misalnya. Pengusaha yang jualan Cireng dan Combro, yang seluruh bahan bakunya -- singkong, oncom -- produk lokal, tetap berproduksi, berjualan, memperoleh untung.

Perusahaan berteknologi tinggi di Jakarta yang beli alat dari luar negeri dalam US Dollar dan membayar cicilan, padahal inflasi terjadi juga di Indonesia, sedikit banyak akan lebih pusing tujuh keliling. Pasar saham yang banyak dipengaruhi oleh pembeli asing, mungkin melihat penurunan tajam kapitalisasi, karena orang-orang asing itu menarik dana mereka.

BERINVESTASILAH PADA USAHA DALAM NEGERI, menjadi acuan pertama saran saya dalam menghadapi resesi global atau depresi tahun depan. Usaha dalam negeri yang baik, yang dijalankan dengan teknologi tinggi (hei, orang Indonesia juga mampu kok), pasti masih mampu bekerja dengan baik walaupun US Dollar menggila.

PAKAILAH PRODUKSI DALAM NEGERI, untuk memelihara kelangsungan ekonomi domestik, dan kalau saya tidak keliru, ini yang membuat kita bertahan walau tsunami ekonomi hebat melanda dunia. Kita mempunyai 2 kelebihan: pertama Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang banyak, dan kedua Indonesia mempunyai KEBERAGAMAN penduduk dari Barat ke Timur.

Indonesia bisa menjadi seperti dunia sendiri, di mana dari Barat jual ke Timur, dari Timur jual ke Barat. Dan kita memenuhi segala kebutuhan kita sendiri, karena saat ini sudah ada jaringan komunikasi, ada infrastruktur, ada tol laut. Ada banyak lapangan terbang yang baru (semoga harga avtur turun banyak).

BANGUNLAH ASET PRODUKTIF DI SEKITAR DIRI KITA, sehingga kita mampu menjadi produktif untuk jangka menengah - jangka panjang. Dibutuhkan lebih banyak pengusaha UMKM, karena status karyawan menjadi lebih sukar untuk naik bagi korporasi yang besar. Tetapi unit usaha yang kecil justru dapat bertahan dan berkembang lebih baik. SETIAP ORANG BISA JADI PENGUSAHA, dengan perijinan dan permodalan yang dipermudah dan dibantu oleh pemerintah.

KALAU TIDAK MAMPU SENDIRI, JADILAH ANGGOTA KOPERASI, yang beroperasi di bidang yang cocok dengan diri kita, sehingga bersama-sama anggota yang lain dapat membangun koperasi bertumbuh dan produktif. Tidak harus bekerja sendiri, kalau bisa bekerja bersama-sama. Tentunya di sini dibutuhkan kejujuran dan ketulusan.

Bagaimana merencanakan Pendidikan Anak? Bagaimana merencanakan Pensiun?

Sayang sekali, kini tidak lagi bisa dilakukan penentuan di awal. Kita semua harus melihat bagaimana situasi berkembang, mana yang keracunan dan runtuh, mana yang bertahan. Belum tentu menaruh di obligasi adalah pilihan tepat untuk jangka panjang. Mungkin menaruh di saham lebih baik, jika kita melakukan penelitian lebih dalam.

Reksa Dana mempunyai keunggulan ada Manajer Investasi, sayangnya kebanyakan Reksa Dana tidak mengungkapkan dengan jelas siapa Manajer Investasinya. Jangan bayangkan semua Manajer Investasi akan bekerja dengan cara yang sama dan hasil yang sama. Sebaliknya, tiap MI mempunyai pikirannya sendiri, ada yang cemerlang, juga ada yang gagal total dalam memenajemen.

Kita bisa melihat bagaimana kinerja Manajer Investasi dengan mempelajari sejarah kinerja mereka. Apakah kita akan menaruh dana kita di tangan sembarang Manajer Investasi? Tentu tidak. Kita ingin agar dana kita dikelola oleh MI yang gayanya sesuai dengan gaya kita sendiri.

Yang konservatif ingin dananya dikelola MI yang konservatif. Yang agresif ingin dananya dikelola oleh MI yang agresif. Ini menjadi pengetahuan yang harus dimiliki oleh Perencana Keuangan, yang mencocokan antara profil Klien dengan profil Manajer Investasi. Orang awam mungkin sukar untuk menilai, tapi sebenarnya ada rasio seperti RRR yang dikeluarkan perusahaan manajemen aset dan bisa dibaca oleh Perencana Keuangan yang ahli.

Tidak ada lagi auto pilot. Tidak ada lagi robot trading yang bisa dipakai. Dalam keadaan gawat, hanya manusia yang ahli, yang mengerti mengemudikan kapal keuangan melintasi badai. Dan mungkin sekali ada goncangan, ada turbulensi menakutkan -- tapi di tangan ahli, keadaan bisa diselamatkan.

Sayangnya, seperti kita lihat di Inggris, terjadi situasi di mana kendali dipegang orang yang tidak ahli, dan akibatnya kita lihat Inggris lebih dahulu runtuh. Saya percaya pemerintahan Presiden Jokowi, ada Ibu Sri Mulyani yang ahli memegang kendali ekonomi, sehingga tidak akan terjadi seperti di Inggris.

Untuk keuangan keluarga kita, juga dibutuhkan kendali dan kewaspadaan -- ini tanggungan semua orang. Atau kalau tidak mengerti, carilah perencana keuangan bersertifikat untuk memperoleh bantuannya. Pastikan saja dia memang benar sepenuhnya bisa membaca situasi dan mengerti pilihan apa yang lebih baik untuk diambil.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun