Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Pola Pendidikan Berintegrasi

1 Oktober 2012   20:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24 199 0
Isu perubahan kurikulum sedang menjadi pembicaraan panas. Sayangnya, informasi yang didapat oleh masyarakat kurang faktual. Media massa baru menampilkan potongan-potongan informasi. Saya, sebagai awam, termasuk yang sedang menunggu keterangan lengkap dari pihak terkait.

Kejadian ini bukan yang pertama kali terjadi. Belum lama berselang sejak perubahan dua kurikulum terakhir. KBK yang baru seumur jagung diganti dengan KTSP. Waktu itu banyak sekali diskusi dan wacana-wacana solutif, baik dari pihak yang pro, kontra, maupun netral menanggapi perubahan ini.

Yang menjadi masalah, menurut saya, saat ini pelaksanaan KTSP belum maksimal. Konsepnya belum dipahami oleh sebagian besar elemen pendidikan. Terlebih realisasinya di lapangan, ibarat panggang jauh dari api.

Ketaktuntasan penerapan KTSP belum mendapatkan solusi, publik mendapat kejutan lain. Pada Februari 2013 mendatang akan dilakukan uji coba kurikulum baru. Berita terakhir yang saya akses menyatakan bahwa dalam kurikulum baru ini akan ada pemangkasan mata pelajaran. Pelajaran IPA dan IPS akan dihapus dan diganti dengan pendidikan karakter. Bagi saya, konsep ini sangat lucu.

Bukankah pada dasarnya pendidikan adalah pembentukan karakter?

Lalu solusi apa yang saya tawarkan? Seperti yang tertera di judul catatan: pola pendidikan berintegrasi. Kata berintegrasi, dalam KBBI, memiliki makna berpadu; bergabung supaya menjadi satu kesatuan yang utuh.

Seperti apa? Langsung saja saya beri contoh penerapannya.
Tunjuk satu titik di peta Indonesia. Misalnya telunjuk mungil mereka mendarat di tanah Jawa. Dari sana, guru memulai kegiatan pembelajaran yang penting dan dibutuhkan siswa. Misalnya sebagai penerapan pelajaran seni: siswa diajak mencari lagu anak-anak khas daerah. Dari lagu tersebut siswa diminta menyanyikan secara individu maupun kelompok. Siswa diajak menemukan arti dan merumuskan makna lagu tersebut, untuk kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Setelah itu mereka diminta menggambar peta pulau Jawa. Dari peta tersebut siswa diajak mengenali gunung-gunung dan vegetasi aslinya. Dan seterusnya.

Dari contoh yang saya tulis, berawal dari satu titik dapat merangkum banyak mata pelajaran. Materi disampaikan secara utuh dan sesuai dengan kebutuhan pengetahuan siswa. Dari awal, siswa dirangsang ikut aktif ambil bagian dalam pelajaran. Siswa juga diberi kesempatan mengembangkan pengetahuan dan kreativitasnya saat merespon topik pilihan.

Mungkin ide seperti ini sudah bukan hal yang baru. Bahkan sedikit banyak sudah tersirat dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya. Pada dasarnya setiap kurikulum dirancang untuk hasil yang baik bagi segenap generasi muda bangsa. Sayang, belum ada komitmen dari pelaku-pelaku pendidikan dalam melaksanakannya.

Apa pun kurikulum yang diberlakukan, butuh tujuan yang jelas, kesepakatan semua pihak, dan rambu-rambu yang tepat. Lirik pola pendidikan barat, tujuan mereka jelas: pada pendidikan dasar yang ditekankan adalah aspek logos, pathos, dan (semoga benar, lupa soalnya) eros. Semua pelaku paham dan menaati 'jalan' (baca: kurikulum) untuk mencapai tujuan tersebut.

Semoga niat baik pemerintah kali ini benar-benar terwujud dan dapat terlaksana. Bukan sekedar proyek yang gampang berubah saat terjadi perubahan tampuk kepemimpinan. Bukan sekedar ajang gagah-gagahan kaum elite dan terpelajar.

Karena, anak-anak bukan kelinci percobaan. Bukan boneka mainan. Bukan objek proyekan. Bukan pula kuda pacuan...

Salam. :D

by Lyla nur Ratri

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun