Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humor

Catatan Kecil Pementasan Blokeng oleh Teater Pelangi Malang

2 Maret 2012   07:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38 333 0
Pertunjukan dimulai. Lampu-lampu panggung mulai menyala. semakin tampak bahwa gedung ini dipadati oleh penonton. Dan sebagian besar larut dalam alur yang dimainkan oleh para aktor-aktris Teater Pelangi. Yang tidak larut adalah beberapa orang yang sibuk menjawab sms pacar atau membuat laporan pandangan mata melalui twitter. Saya termasuk yang terhanyut, sekalipun beberapa kali mencoba berjarak agar ada yang bisa saya pelajari dari pertunjukan ini.Oya, menonton teater bagi saya, selain mencari hiburan dan pengalaman adalah mencuri-curi ilmu. Karena saya yakin bahwa setiap kelompok teater, apapun bentuknya, pasti memiliki jurus-jurus ampuh yang unik sebagai hasil dari proses masing-masing. Maka menonton teater tak ubahnya membaca buku. Membaca teks-teks yang dibangun dari laku pemain, dialog, set, kostum, tata rias, tata cahaya, musik dan sebagainya. Blokeng yang berangkat dari cerpen karya Ahmad Tohari dan digarap oleh tim penyutradaraan Candra dkk, merupakan kali pertama saya menonton pementasan Teater Pelangi. Dan kesan pertama ini begitu menggoda. Betapa tidak, pertunjukan ini berjalan mengalir. Lakon yang bercerita tentang Blokeng, perempuan gila dengan bau yang luar biasa tiba-tiba hamil tanpa diketahui siapa yang menghamili. Sekalipun ada beberapa bagian yang mengendor dan terasa berlama-lama, Tapi secara umum pertunjukan berjalan memikat. Para pemain cukup lancar menjalankan perannya. Mungkin yang perlu diberi catatan khusus adalah pemeran Iyem (saya tidak tahu namanya, ah lagi-lagi saya kurang bergaul). Sangat lancar dan menyatu dengan seting pedesaan yang dibangun. Pemain yang mungkin sangat bisa diharapkan untuk mewarnai dinamika teater di Malang. Saya tidak sedang menyanjung, saya sedang berharap. Pementasan yang dikemas dalam realisme simbolis ini mengalir tanpa memekik-mekik. Pola penyutradaraan cukup simpel tapi mampu menjalankan cerita dengan baik. Barangkali yang harus diperhatikan dalam penyutradaan pementasan ini adalah mengeksplorasi ruang-ruang yang sudah diciptakan. Begitu banyak ruang, begitu luas area permainan, tapi peristiwa terpusat di tengah panggung. Membuat perkampungan padat yang diciptakan dari set terasa lengang, sementara cerita berjalan begitu riuh. Para pemain seolah terkunci di warung dan pos hansip yang ditata berhadap-hadapan. Seandainya warung dan pos itu ditata sedikit berjauhan, mungkin bisa berpengaruh pada variasi bloking pemain. Demikian juga halnya dengan bingkai-bingkai pintu ditata untuk menghadirkan kesan perkampungan padat. Hampir semua pintu mengarah ke warung dan pos hansip. Yang justru mempersempit area permainan. Pintu-pintu itu hadir menjadi semacam pagar antara penonton dan pertunjukan. Tentu saja ini mengganggu.Mungkin diperlukan eksplorasi yang lebih bijak agar perkampungan padat itu tetap bisa hadir, tetapi penonton tidak terganggu dengan bingkai-bingkai itu. Selain juga tata cahaya yang belum terlalu pas untuk sebuah bentuk realisme simbolis. Tapi semua kekurangan itu berhasil ditutupi oleh para pemain yang cukup lincah melemparkan kelucuan-kelucuan segar yang menghibur. Menyaksikan pertunjukan Teater Pelangi tadi malam adalah menyaksikan harapan indah perihal kehidupan teater di Malang. Ketika teater tak lagi sibuk dengan eksklusifitas diri. Ketika teater menyadari bahwa sebuah pertunjukan bukan melulu pekerjaan panggung, tetapi juga berbagai hal yang terkait di belakangnya. Termasuk bagaimana mendatangkan penonton. Dengan demikian keberlangsungan kehidupan teater di Malang bukan hanya tanggung jawab para pelaku teater, tetapi juga masyarakat. Bagaimanapun teater adalah milik masyarakat. Keberanian membongkar eksklusifitas ini tentu layak dihormati. Harus kita akui bersama keterlambatan perkembangan teater di kota ini dikarenakan perilaku pelaku teater sendiri yang sibuk dengan berkutat dengan diri sendiri. Sibuk mencari-cari dalih yang tidak membumi yang semakin membuat jarak dengan masyarakat. Akibatnya penontonnya ya itu-itu saja. Lucunya, ketika tidak ditonton orang, malah sibuk memaki-maki penonton yang katanya tidak apresiatif lah, tidak mengerti seni, hidupnya terlalu kering dan sebagainya. Untuk membongkar kebekuan jarak penonton dan teater tentu dibutuhkan kerja keras. Tidak perlu teriak-teriak cari perhatian. Apalagi memaki-maki disembarang tempat. Jika masyarakatnya tidak mengerti teater maka tugas pelaku-pelaku teater untuk mendidik penonton agar mengerti dan mau datang ke gedung pertunjukan. Teater Pelangi membuktikan itu. Kerja kerasnya berbuah harapan manis. Prestasi ini patut dihormati. Terakhir, teater bukan segalanya. Ia adalah bagian dari sosial yang juga harus bekerja keras agar keberadaannya juga bermanfaat bagi masyarakatnya.Yang pasti, teater bukan mahluk manja yang pandai sulapan. Penonton tidak datang serta-merta. Harus dibina. Dengan santun dan tanpa caci maki.  Karena penonton adalah satu kesatuan dengan pertunjukan. Tanpa penonton, kata "pertunjukan" menjadi batal. Ah, kita semua masih harus banyak belajar.  Semangat! doni kus indarto gembala di ruang karakter

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun