Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Ingin Koranmu Dibaca? Tag-lah Namaku di Sana!

5 Januari 2016   20:27 Diperbarui: 9 April 2016   09:56 406 15
Tulisan ini tidak hendak menjadi moderasi Kompasiana-war antara Pak Pepih dan Pak Hilman Fajrian.

Pertama, karena sejauh ini, menurut saya, artikel tanggapan atas tulisan Pak Hilman dari Pak Pepih masih sekedar brainstorming(sumbang saran) tentang bagaimana mencerdaskan pembaca dengan infomasi dan opinioniasi yang membawa lebih banyak manfaat daripada mudarat.

Pemetik manfaat ini berlapis:
rakyat Indonesia pada umumnya,
para pembaca berita dari berbagai macam platform media dari Kompas Gramedia Group,
lebih khusus lagi pembaca harian cetak Kompas,
 dan lebih khusus lagi para Kompasianer.

Kedua, hemat saya, setiap Kompasianer adalah setara dalam hal memberikan pendapat dan informasi yang berimbang lewat tulisan-tulisan mereka. Karenanya, sejauh tulisan itu dirangkai dalam bingkai penalaran yang sehat, maka tentu ada nutrisi di setiap untai kata-katanya. Begitu dalam tulisan bernas Pak Hilman, begitu pula pada Pak Pepih.

Ketiga, berhubung para Kompasianer juga tidak luput dari godaan untuk berpendapat secara ad authoritatem, penulis Kompasianer biasanya akan saling mengukur posisi kepiawaian rekan Kompasianer lain dengan melihat statistik dari tulisan mereka satu sama lain. Padahal, bisa saja, seorang Kompasianer yang kelihatan pasif dalam menulis tapi aktif membaca adalah juri sesungguhnya dari setiap perdebatan dan saling balas artikel. Sebab, bukankah orang yang lebih bijaksana ialah mereka yang lebih banyak mendengar daripada berbicara?

Ahaha, tentu saja saya bukan termasuk dalam golongan ini.

Hanya me-remind saja kepada para rekan yang menikmati balas artikel perihal senjakala media cetak ini: Bahwa bisa saja pembaca pasif ini-lah yang punya modal untuk mengupah para penulis volunter di Kompasiana ini, diam-diam melihat bakat opiniator paling hebat di antara para kuli kuota ini (antitesis dari kuli tinta) lalu menggaet sebuah perusahaan VC yang tertarik berinvestasi di bisnis media massa, dan boom .... jadilah seorang blogger yang untuk menulis artikel pun harus menumpang jaringan wi-fi di sebuah minimarket demi menuntaskan sebuah tulisan di blog Kompasiana-nya menjadi seorang pemimpin redaksi. Who knows, hanya dia dan tuhan-nya yang tahu.

Kembali ke papan catur, eh, kembali ke tulisan pak Pepih yang setengah bernada pleidoi ini, pun jika senjakala media cetak sudah di depan mata, seperti yang Pak Pepih katakan, Bapak sudah punya sekoci kecil bernama Kompasiana ini.

Maka, ketika saatnya tiba, beratnya tumpukan kertas membuatnya ditinggalkan oleh para pelayar di lautan pertarungan media massa dengan jutaan petarung yang siap kapan saja membajak satu sama lain. Timbunan koran terutama bagian iklan yang hampir tak pernah dibaca akan menjadi pilihan pertama yang dibuang ke laut ketika biaya cetak koran hanya memberatkan cost di setiap laporan tahunan keuangan media yang melahirkannya.

Maka, senada dengan Pak Hilman, senjakala itu sudah mendekat.
"Behold, ye, the end of the printed newspapers is at hand", kira-kira begitu seruan profetisnya, mengikuti gaya kotbah para pemimpin umat di negeri ini.

Tapi, jika Pak Pepih dan rekan-rekan tidak ingin cepat-cepat mengadakan farewell party dengan Harian Cetak Kompas, dan masih menikmati suasana deadline dan sibuk menghubungi pihak percetakan hingga lembur ditemani kopi dan indomie (mungkin sekarang sudah Starbucks dan Pizza Marzano, saya kurang tahu), saya hanya punya saran:

Tag-lah namaku disana, maka akan kubeli koranmu hari ini juga!

Maaf jika saran ini terlalu blak-blakan. Tapi, seperti yang Pak Hilman utarakan, kami generasi Y ini punya kalkulasi luar biasa soal apa yang kami dapat dan apa yang kami keluarkan. Dengan modal sekian rupiah saja yang dikonversi menjadi beberapa byte kuota, saya bisa merasakan kesenangan ketika postingan FB saya dilike orang. Saya berjingkrak ketika cuitan saya tentang resolusi mengakhiri kejombloan di tahun 2016 ternyata berhasil menambah follower Twitter saya. Belum lagi, kalau foto saya yang lagi mengantuk menunggu antrian bus Trans Jakarta mendapat banyak like di Instagram. Atau ketika tulisan copas saya dari sebuah akun wordpress yang digali dari Archive.Org ternyata malah mendapat banyak nilai di Kompasiana.

Semua itu menyenangkan, pak.

"Tapi, khan hanya menyenangkan saja. Tidak ada pengetahuan baru yang didapat"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun