Budaya patriarki memang sudah mengakar di masyarakat kita. Apalagi ditambah pemahaman agama terutama Islam yang salah. Pemahaman yang kemudian menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat dalam rumah tangga. Bahkan menjurus ke 'budak' dalam rumah tangga.
Ketika anak nakal, melakukan tindakan yang melanggar norma dan hukum, ibu biasanya yang akan disalahkan. Namun ketika anak berprestasi, ayah mendapat harumnya. Padahal sejak awal, bahkan sebelum menjadi janin, anak merupakan hasil kerjasama ayah-ibu.
Dengan demikian, seorang ayah memiliki kewajiban yang sama dalam mendidik anak. Tumbuh-kembang anak menjadi tugas bersama seorang ayah dan ibu. Tdak boleh ada gap di sana, jangan karena seorang ayah lelah bekerja di kantor lalu anak menjadi urusan seorang ibu semata.
Mengantar dan menjemput anak di sekolah misalnya, bila ada waktu luang, seorang ayah jangan ragu dan malu untuk melakukannya. Bicara dengan anak, dari hati ke hati juga dapat dilakukan ayah. Bukan ibu semata.
Materi memang penting namun bukan segala-galanya. Anak butuh perhatian seorang ayah, perhatian yang kerap jarang didapati karena kesibukan mencari uang. Anak butuh perspektif seorang ayah ketika ia mendapatkan persoalan.
Apa yang terjadi pada Dandy sebenarnya bukan hal baru. Anak yang dilahirkan di keluarga serba cukup materi, terkadang kurang dalam perhatian terutama dari ayah. Bahkan beberapa anak pejabat sering terlibat kasus narkoba, dan kriminalitas lainnya.
Interaksi anak dan ayah hanya terjadi sebentar. Akibatnya, tumbuh-kembang anak tidak diketahui ayah. Jangan salahkan anak apabila ia dididik oleh zaman. Lalu apa yang harus dilakukan kedua orang tua agar tumbuh-kembang anak sesuai dengan yang diinginkan?
Pastinya kedua orang tua harus sepakat bahwa anak adalah milik bersama. Karenanya merawat dan mendidik anak harus dilakukan bersama. Kedua orang tua harus berbagi peran dan fungsi dalam proses tersebut.
Kedua orang tua harus menyerap aspirasi anak. Mengetahui keinginan anak dan kemudian mengarahkan dengan benar. Dialog produktif hendaknya dilakukan secara regular demi menjaga harmonisasi. Bagaimanapun juga, seorang anak akan memasuki era merasa paling benar. Pada saat itulah peran kedua orang tua dibutuhkan lebih.
Pada saat itu, orang tua harus mengajarkan bagaimana membuat keputusan yang baik dan benar. Di antara banyaknya opsi keputusan, seorang anak terkadang bingung memutuskan dengan baik dan benar. Ajak anak melihat resiko-resiko sebuah keputusan. Beri gambaran bila anak memutuskan sesuatu yang salah.
Dengan tingkar berpikir yang belum mapan, anak butuh pendamping. Apalagi sekolah-sekolah kita tidak mengajarkan tekhnik berpikir yang baik dan benar. Sekolah-sekolah kita dalam praktiknya masih berfokus pada sisi kognitif belaka.
Sisi kognitif yang diajarkan hanya hafalan yang wajib dikuasai guna menghadapi tes dan ujian di atas kertas atau komputer. Sehingga wajar anak tidak mampu melewati tes dan ujian kehidupan.
Sisi afektif dan psikomotorik anak sering terlupakan. Kedua sisi ini tidak tumbuh-kembang sebagaimana kognitif. Kecerdasan emosional dan spritual tidak dibangun dengan baik. Sehingga anak jarang sekali berpikir resiko ketika mengeksekusi apa yang dipikirkan.
Guna menumbuh-kembangkan afektif seorang anak, orang tua punya peran penting. Mendidik nilai kemanusiaan dalam bentuk pemikiran (afektif) dan implementasi dalam bentuk amal baik (psikomotorik) penting dilakukan. Mereka (anak) akan terbiasa melakukan hal yang positif, menumbuhkan empati, sehingga menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat bagi masa depan.
Pendidikan di rumah pada dasarnya awal mula seorang anak mengenal dunia. Jika di rumah anak merasakan dan melihat kedamaian, cinta, kasih sayang, dan hal-hal positif lainnya maka ia akan beranggapan begitulah dunia. Karenanya teladan anak (orang tua) harus mampu menciptakan lingkungan positif bagi tumbuh-kembang anak.
Kita sepakat bahwa anak adalah pemilik masa depan bangsa. Menyiapkan masa depan bangsa harus dimulai dengan menyiapkan anak dengan baik. Kerjasama antara ibu-ayah adalah kunci, karena anak milik bersama.