Dalam tulisan singkat ini, mari kita bincang sedikit terkait hal itu. Harus diakui pendidikan kita belum benar-benar mencerdaskan. Misalkan data yang diterbitkan World Population, peringkat pendidikan berada pada posisi 54 dari 78 negara.
Pendidikan kita masih kalah dari Singapura, bahkan dari negara tetangga, Malaysia. Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), penduduk Indonesia berjumlah 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Dari data itu didapati kenyataan bahwa hanya 6,41% penduduk Indonesia mengeyam perguruan tinggi.
Dua data sederhana itu memberi gambaran, secara kuantitas dan kualitas pendidikan kita masih butuh perhatian. Bukan hanya oleh pemerintah, kita yang sadar akan situasi itu dapat melakukan tujuan negara ini, mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Kami English Alumni Association (EAA) dalam dua bulan ini misalnya, kami menyiapkan para lulusan dari berbagai jurusan di Aceh untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Kita siapkan mereka untuk lulus beasiswa yang diberikan berbagai lembaga dan pemerintah. Dalam hal ini fokus meningkatkan kemampuan berbahasa inggris dan tekhnis lainnya.
Misalnya bagaimana lulus dalam wawancara, menulis esai, dan kegiatan yang menunjang mereka lulus. Beberapa beasiswa, misalnya AAS (Australian Award Scholarship), sangat mengharapkan calon penerima telah berbuat atau melakukan aktivitas yang berkenaan dengan masyarakat.
Peluang seseorang lulus beasiswa AAS akan semakin besar apabila yang sedang dilakukan relevan dengan jurusan yang akan diambil. Karenanya, kami membantu calon penerima beasiswa sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Dengan menghadirkan para pembicara yang sudah terverifikasi pula. Kegiatan itu gratis.
Pastinya, kami ingin anak muda Aceh lebih berkualitas ke depannya. Kami ingin mereka lulus beasiswa dan melanjutkan studi dengan harapan kembali ke Aceh membawa segudang ilmu bermanfaat.
Program coaching ini menurut hemat kami, adalah bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski pesertanya minim dan fasilitas seadanya, namun kita berharap dapat membantu mereka. Kegiatan coaching juga tidak mendapatkan sponsor dari manapun, kalau pengajar kita hanya berikan minum air putih.
Bagi kami, menyiapkan pemimpin berkualitas adalah kebutuhan negeri. Karenanya, bukan hanya pelatihan bahasa inggris, terkadang kita lakukan seminar dan diskusi yang terkait dengan isu kekinian. Terutama isu kesempatan yang sama bagi perempuan sekolah tinggi dan bekerja di sektor profesional.
Itulah mengapa peserta kegiatan didominasi kaum perempuan. Ada peserta yang terkadang membawa anaknya, demi lulus beasiswa. Semangat belajar yang membuat kami semangat untuk membantu mereka.
Mencerdaskan kehidupan bangsa memang bukan perkara mudah. Selain itu, butuh konsistensi dan komitmen. Belum lagi rintangan yang kerap hadir tak terduga, namun kita percaya, rintangan adalah bagian uji kecerdasan.
Pendidikan yang menomorsatukan kognitif harus diubah perlahan. Afektif dan psikomotorik harus diprioritaskan juga. Mengingat era 5.0 dimana AI mulai mengambil peran manusia, maka kemampuan afektif dan psikomotorik adalah solusi agar manusia dan AI dapat bermitra.
Tantangan ke depan harus dianggap sebagai peluang, bukan malah menakutkan. Kehadiran AI seolah momok menakutkan, kita terprovokasi hingga kadang menjurus depresi. Pendidikan tetap harus menjadi solusi bukan sebaliknya.
Bermitra dengan AI artinya harus mengenal AI dengan baik. Sama halnya ketika kita bermitra dengan manusia. Bukankah kita harus mengenalnya. Karenanya, ketika AI adalah robot cerdas, maka manusia pun dituntut cerdas.
Apa yang kami lakukan selama 2 bulan ini adalah upaya pencerdasan manusia. Membekali para sarjana dengan skill yang dibutuhkan untuk diterima dalam program pemerintah Australia. Selain itu, kita arahkan untuk cerdas memilih jurusan yang tepat. Bukan asal lulus saja.
Cerdas selanjutnya, mengamati peluang selepas selesai kuliah. Ini artinya tidak menambah beban setelah selesai kuliah. Entah itu beban negara maupun beban hidup menyandang gelar master. Ilmu yang didapat harus dapat mereka bukan malah jadi beban.
Karenanya, bukan hanya kognitif, kita juga melatih afektif dan psikomotorik mereka. Kita gelar kegiatan sosial, seperti donor darah, mengajar kaum disabilitas, lomba menulis esai, dan kegiatan lainnya yang sedang kita rencana. Menurut kami, kecerdasan bukan hanya kognitif akan tetapi afektif dan psikomotorik juga kecerdasan yang harus dikembangkan.