Dalam debat keempat kemarin yang mengambil tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan serta interaksi internasional sudah banjir analisis. Mulai dari hal sepele hingga yang sangat serius. Dalam tulisan singkat ini, saya mencoba membaca keinginan kedua capres.
Secara umum, Prabowo maupun Jokowi ingin Indonesia menjadi negara hebat berdasarkan Pancasila. Setidaknya pernyataan keduanya begitu, mereka sepakat Pancasila sebagai ideologi negara. Namun publik berhak bertanya, Pancasila versi siapa yang mereka inginkan? Catatan sejarah mengatakan Soekarno dan Soeharto berbeda dalam memahami Pancasila.
Bila Soekarno membebaskan semua ideologi hidup maka tidak dengan Soeharto. Bahkan di masa Soeharto Pancasila menjadi asas tunggal semua organisasi. Salah satu yang merasakan kebijakan itu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Organisasi kemahasiswaan tertua dan tertua tersebut akhirnya terpolarisasi menjadi dua kubu.
Soekarno lebih memberi kebebasan soal itu. Wajar bila PKI bahkan menjadi partai politik yang besar. Sayang, PKI akhirnya harus bubar dengan didahului peristiwa berdarah. Peristiwa yang sampai kini menjadi polemik bahkan laris manis di tahun politik. Kedua pemahaman yang kemudian diterapkan mantan Presiden Indonesia tersebut memiliki plus minus.
Lalu menjadi penting bagi kita mengetahui pemahaman capres akan ideologi negara. Tentu implementasi pemahaman mereka lebih penting saat menjadi Presiden. Pembubaran HTI di masa pemerintahan Jokowi setidaknya memberi gambaran pemahaman Jokowi akan Pancasila. Jokowi nyaris sama dengan Soeharto dalam merespon perbedaan.
Dalam debat keempat keduanya sepakat Pancasila sudah final, tapi sudah finalkah tamsil dan tafsiran Pancasila? Belum, bahkan Soekarno sang 'bidan' Pancasila masih galau dalam penerapannya. Mereka tak jelas memaparkan bagaimana Pancasilais sejati. Teriakan saya Pancasilais, atau saya sangat Pancasila juga tidak mengatasi persoalan bangsa.
Era Jokowi ideologi Pancasila seperti ketakutan pada ideologi lain. Sebut saja ketika masih ada pelarangan diskusi-diskusi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Padahal, dalam forum ilmiahlah sebuah ideologi diuji. Kita harus berani mengajukan ideologi Pancasila diantara ideologi-ideologi lain dengan dialektika bukan pelarangan.
Kedua capres mendapat fitnah khilafah dan PKI bukanlah tanpa sebab. Keduanya tidak mampu menyederhanakan apa itu Pancasila. Wajar bila propaganda yang berakhir fitnah begitu laris manis di tahun politik.
Terkait pemerintahan keduanya juga gagal kreatif. Misalnya soal e-government yang dibanggakan Jokowi. Hal itu terlalu tekhnis padahal Presiden bukan mengurusi hal yang demikian. Pun Prabowo juga gagal kreatif agar kekayaan Indonesia tidak dinikmati Asing. Tampak kedua capres miskin ide dan gagasan terkait pemerintahan padahal bidang ini sangat krusial.
Tentu kita sangat miris menyaksikan 'drama' jual beli jabatan di Kementerian agama. Padahal Kementerian ini dikelola manusia-manusia yang setiap harinya berinteraksi dengan Tuhan dan hambaNya. Baik Jokowi maupun Prabowo gagal kreatif dalam memaparkan solusi terkait akutnya korupsi dalam pemerintahan.
Pada sesi pertahanan dan keamanan keduanya kembali gagal. Tidak ada hal baru atau bisa dijadikan kebaikan bagi masa depan bangsa. Misalnya Jokowi membanggakan TNI kita yang paling hebat di ASEAN. Atau keraguan Prabowo atas kinerja TNI, Polri, BIN. Debat soal ini menurut saya tak lebih baik dari debat anak-anak SMU Taruna Nusantara. Mereka tidak memiliki cita-cita, misalnya, negara-negara Asia bakal membeli Tank, Helikopter, maupun pesawat tempur dari kita.
Selain itu mereka juga gagal memberikan gambaran profesionalitas TNI, Polri maupun BIN. Tentu saja ini akan berimbas pada pandangan dunia internasional terhadap Indonesia. Bila TNI dan Polri serta BIN kita hebat, tentu aksi penyadapan handphone seorang Presiden tidak pernah terjadi. Kalau kita memiliki kedaulatan dihadapan dunia internasional, pastinya TKI diluar negeri tidak dipandang rendah.