Setelah menyatakan diri bergabung dengan PDIP, publik kemudian mempertanyakan peran Ahok dalam Pilpres 2019.
Sebelumnya Ahok menyatakan bahwa ia bergabung untuk berbagi ilmu dan pengalaman politiknya. Jawaban ini menurut saya terlalu diplomatis dan bukan karakter Ahok.
Meski demikian, kita patut mengapresiasi semangat Ahok berpolitik. Sebagai tokoh paling banyak mengumpulkan massa selain Soeharto, Ahok memang selalu renyah untuk diperbincangkan.
Sempat menjadi tokoh antagonis umat Islam, Ahok kembali bangkit dalam ranah politik. Pilihannya bersama PDIP merupakan pilihan realistis dan logis. Pasalnya, PDIP merupakan partai penguasa dan diprediksi kembali menang dalam Pileg 2019.
Dan sebagaimana mukadimah tulisan ini, publik bertanya: peran apa yang akan dilakoni Ahok dalam pilpres? Para pendukung Ahok (Ahokers) pasti ingin Ahok berperan dalam pilpres. Tak sekadar menjadi anggota PDIP.
Namun tampaknya Ahok maupun tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf tak berani mengambil risiko. Mereka takut muncul kembali sentimen anti-Ahok dan malah menjungkalkan Jokowi-Ma'ruf. Ketakutan ini yang masih ada, sekaligus trauma akan kekalahan Pilkada DKI Jakarta.
Meski pemilih Jakarta dan Indonesia berbeda, akan tetapi kemenangan Jokowi di Jakarta dilanjutkan kemenangan Pilpres 2014. Itu artinya, hasil Pilkada Jakarta memiliki dampak dalam Pilpres 2019. Apalagi ada sosok Sandiaga Uno yang mengalahkan Ahok di Jakarta.
Pertimbangan ini barangkali yang mengharuskan Ahok duduk diam di bangku cadangan. Ahok hanya akan berperan bila Jokowi-Ma'ruf terpilih. Pilihan logisnya menjadi menteri dan kandidat Presiden 2024 dari PDIP.
Namun demikian, Ahok hendaknya mempertimbangkan nasib pendukungnya yang terkesan apatis. Kehadiran Ma'ruf Amin sedikit banyak mengganggu psikologis pendukung Ahok. Meski Ma'ruf Amin telah meminta maaf.
Faktanya, tanda tangan Ma'ruf Amin menjadi takdir kelam karier politik Ahok. Kesaksian Ma'ruf Amin juga memperberat hukuman dirinya. Namun politik selalu menyajikan ketidaan lawan abadi, apalagi Ahok gemar gonta-ganti partai.
Bagi Ahok, partai hanya tempat nongkrong sejenak, membesarkan dia atau akan ditinggalkan. Bahkan parpol yang membesarkan dia juga harus siap ditinggalkan, apalagi yang tidak.
Ahok memang politisi sejati gaya Machiavelli. Baginya, semua harus ikut keinginannya atau good bye.
Karenanya, mengharapkan Ahok mau berkampanye untuk Jokowi-Ma'ruf sepertinya sia-sia. Tidak ada keuntungan secara politik; malah sebaliknya, merugikan dirinya. Kecuali deal politik yang ditawarkan Jokowi sesuai dengan keringatnya.
Menurut saya, Ahok bukan tak berani kampanye untuk Jokowi-Ma'ruf, akan tetapi ia enggan. Peran Ahok yang logis dilakukan barangkali hanya mengimbau pendukungnya untuk tidak golput.
Ahok memang dilema, tidak membantu bisa membahayakan Jokowi-Ma'ruf yang butuh dukungan dari pendukungnya; dan membantu malah membangkitkan musuh lamanya di DKI Jakarta. Pilihan ini yang sedang diberikan pada Ahok.
Lalu pilihan mana yang akan dilakukan Ahok? Semua analis sepakat, Ahok sebaiknya membantu di belakang. Tujuannya menghindari kebangkitan musuh lama, dan isu SARA bisa diminimalisasi.
Sejauh ini Jokowi-Ma'ruf telah sukses meminimalisasi isu tersebut. Meski belakangan malah Jokowi-Ma'ruf larut dalam urusan paling Islam. Postingan salat masih mendominasi media sosial, kampanye yang masih jadul menurut saya.
Kampanye capres belum masuk pada substansi. Perdebatan paling Islam masih menjadi andalan. Ibadah dijual sebagai bahan kampanye, padahal bukan itu yang dibutuhkan rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia butuh kampanye akal sehat, kampanye yang mengedukasi pemilih.
Narasi ini yang semakin memperburuk Jokowi-Ma'ruf bila menjadikan Ahok sebagai tim kampanye. Meski di sisi lain kita bisa saksikan bagaimana kedua tokoh yang pernah saling berhadapan akhirnya berada dipihak yang sama.
Ahok dan Ma'ruf Amin bisa memberi contoh bagaimana sikap negarawan mereka. Menurut saya, ini poin plus yang bisa direalisasikan. Ahok akan dianalogikan sebagai pemaaf, bahkan hebatnya lagi ia mau membantu orang yang membuat karier politiknya selesai di Jakarta.
Tentu saja butuh perenungan, setidaknya Ahok butuh waktu guna menghabiskan sisa dendamnya. Kalaupun ia tak menyimpannya, setidaknya ia masih menyimpan kecewa. Seharusnya Ahok tak boleh kecewa.
Syarat utama berpolitik ialah siap kecewa; jika tidak siap, jangan berpolitik.
Menurut saya, Ahok paham akan hal itu, sehingga kini saatnya ia buktikan itu. Toh ia sering mengecewakan orang-orang yang pernah mendukungnya, bahkan mantan istrinya tidak mustahil kecewa pada Ahok.
Nah, kembali soal peran dalam Pilpres 2019. Ahok memang memiliki pengagum yang luar biasa, bahkan bukan hanya di Indonesia. Karenanya, saya menyarankan Ahok aktif berkampanye untuk Jokowi-Ma'ruf. Ini sekaligus pembuktian loyalitasnya pada PDIP.
Ke depan, Ahok dan Jokowi bisa kembali saling dukung. Misalnya Jokowi menjadi Ketua Umum PDIP dan Ahok capres. Dengan pengalaman politik yang dimiliki Ahok, ditopang popularitasnya, Jokowi bakal terbantu bila ia aktif berkampanye.
Ketakutan akan bangkitnya gerakan 212 sebaiknya dihilangkan. Mengingat PA 212 kini sudah ada di dua kubu, baik Jokowi-Ma'ruf maupun Prabowo-Sandi. Sudah mencair gerakan 212.
Ahok pasti berani berkampanye untuk Jokowi-Ma'ruf kecuali ia enggan melakukan itu. Setuju Ahok berkampanye untuk Jokowi?