Kekalahan Athena atas Sparta menurut Plato bukan hanya karena disebabkan pasukan Sparta yang kuat, Plato menilai pasukan Athenalah yang lemah. Menurutnya bentuk kekuasaan terbaik itu Monarkhi, aristokrasi militeristik terbukti mampu menjaga stabilitas negara, Sparta.
Prinsip ini pernah dijalankan Soeharto dalam memimpin Indonesia, ia menggandeng dan meng-anak-emaskan ABRI dalam menjalankan pemerintahan. Plato menilai negara harus menstabilitas situasi, apapun caranya demi menyelematkan kepentingan terbesar, yaitu negara. Plato jijik dengan demokrasi, sedikit mual dengan kebebasan bicara orang-orang awam didalam negara demokrasi.
Namun juga memberi syarat utama bagi seseorang yang berhak dan sekaligus berkewajiban memimpin negara. Raja filsuf merupakan syarat utamanya. Plato benar-benar tidak sepakat bila negara dijalankan dengan sistem demokrasi, ia tetap percaya monarkhi pilihan terbaik. Raja filsuf akan mensejahterakan rakyat dengan kebijaksanaan yang dimilikinya.
Plato menganggap demokrasi akhirnya akan melahirkan pemerintahan yang tiran. Senada walaupun tak seirama, Ibn Khaldun memandang negara sama dengan proses manusia. Mulanya lahir, remaja, dewasa, menua dan mati. Proses alamiah itu akan terus terjadi, sebuah negara demokrasi yang baru lahir seperti Indonesia nantinya akan menua dan mati. Saat itu lahirlah pemerintahan tiran.
Ibn Khaldun dalam Magnum Opus-nya, Muqqadimah, saat itu terjadi perebutan kekuasaan tak terhindari. Negara akan kembali mendapatkan pemenang, kita peristiwa 66 dan 98, euforia kemenangan atas sebuah rezim melupakan tujuan utama negara didirikan. Sebuah negara lahir atas kebutuhan individu-individu, kebutuhan dan keterikatan sama lain, demikian Aristoteles dalam Magnum Opus-nya Politica. Lebih lanjut ia menganalogikan negara sebagai tubuh manusia, antara organ yang satu dengan yang lain saling terhubung.
Aristoteles menilai bila ada organ yang sakit akan mempengaruhi organ lainnya, begitulah dengan negara. Itulah sebabnya bagi Aristoteles negara harus menjaga organ, menjaga warga negara atau rakyatnya. Menjaga rakyat agar sejahtera harus dengan keadilan. Dalam hal memaknai keadilan, nilai yang diambil antara Plato dan Aristoteles berbeda.
Aristoteles lebih pada hak sementara Plato pada kewajiban. Negara ideal bila hak setiap warga negara terpenuhi secara proporsional, kata Aristoteles, sementara Plato menilai keadilan merupakan kewajiban negara tanpa melihat hak dari rakyat. Ibn Khaldun, Plato, dan Aristoteles pada akhirnya sepakat bahwa negara harus dihuni rakyat dan pemimpin yang patuh hukum dan bermoral.
Bila hal itu tidak dipenuhi, ke-tiganya sepakat bahwa kehancuran sebuah negara akan terjadi, cepat atau lambat. Mereka sepakat pula bahwa mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan tujuan didirikannya sebuah negara. Kopi kami mulai mendingin, dialektika Ibn Khaldun, Plato dan Aristoteles belum akan reda.
Pikiran kami ibarat gelas kosong, harus terus diisi dengan kopi. Pertanyaan demi pertanyaan kembali muncul, mengapa ke-tiganya tidak sepakat demokrasi. Lalu mengapa kita ngotot demokrasi paling baik?