Waktu minggu lalu saya berkunjung ke rumah sakit terkenal dan mewah di Singapore. Artikelnya berjudul Terbang Gawat Darurat Dari Luar Negeri Ke Indonesia
Dalam kesempatan itu, saya juga fokus memperhatikan apa yang menyebabkan rumah sakit ini menjadi daya tarik pasien dari Indonesia untuk berobat disana. Dalam artikel ini saya mengulas tentang lingkungan rumah sakit saja.
Sebelumnya saya tidak pernah tertarik untuk mengulas rumah sakit bertaraf hotel mewah ini. Tetapi karena memang tagihan rumah sakit ini terlalu sangat mahal, maka saya tergugah untuk melihat lebih detail.
Saat saya tiba di depan rumah sakit, saya merasakan kesan rumah sakit yang jauh sangat beda saat saya kuliah dan bertugas di Jerman. Maksud saya adalah bangunan di Singapore ini tidaklah berkesan rumah sakit. Juga saat masuk lobby gedung, terasa lebih berkesan kantoran maupun kesan hotel. Setelah melihat papan nama dokter, maka mulailah kita terkesan bahwa ini adalah rumah sakit.
Memang kesan pertama mengoda, kesan yang rapih, penerangan yang terang benderang serta bersih seperti bersihnya kota Singapore. Saya langsung masuk naik lift menuju ruangan ICU.
Saat keluar pintu lift, saya langsung terkesan di hotel dan bukan di rumah sakit. Apa yang saya alami di Jerman dan dirumah sakittempat saya kuliah maupun bekerja di Jerman sangatlah beda dengan yang saya sedang lihat.
Saat pintu lift terbuka, saya heran melihat lantai lorongnya. Karena lantai tersebut dilapis oleh karpet. Sepaham saya rumah sakit Jerman pasti menggunakan lapisan Epoxy atau lapisan sintetik, sehingga kuman atau cariran dengan sangat mudah dibersihkan. Coba bayangkan saja, betapa sulitnya kuman atau kotoran melekat pada karpet. Karena itu Jerman menganggap bahwa karpet merupakan sarang kuman yang sulit dibersihkan. Saat melangkah dilorong menuju ruang ICU, saya memperhatikan lantai dan diding. termasuk di pabrik makanan saya, saya menganut standart rumah sakit jerman. Yaitu siku lantai dan tembok tidak boleh tegak lurus 90 drajat ( seperti huruk L ) tetapi di siku itu harus ada bentuk bersudut setengah parabola. Tujuan membuat siku tidak bersudut 90 drajat, supaya mudah membersihkannya. Coba anda perhatikan siku dinding dan lantai di rumah anda, sudut nya 90 drajat. Pasti ada kotoran di titik sambungan siku dinding dan lantai. Dengan sudut setengah parabola, maka tidak akan ada kotoran yang tertinggal di sudut itu. Sebagai contoh : Ambil kain lap dan bersihkan sudut lantai rumah anda. Biar sudah dilap bersih, pasti masih ada kotoran di titik sikunya. Bandingkan bila anda bersihkan dalamnya mangkok. Karena mangkok tidak ada sisi 90 drajatnya tetapi bentuknya setengah parabola, maka mangkok sangat mudah dibersihkan.
Sambil terus berjalan dikarpet yang bersih standart hotel, maka saya berkata sambil goleng goleng kepala “Ini rumah sakit atau hotel ?”. Perasan yang aneh untuk saya, karena saya sudah sekian lama terbiasa dengan standart Jerman.
Di ruang khusus untuk keluarga menunggu, kami berdiskusi tentang kondisi pasien sesuai info yang dipahami oleh keluarga. Kemudian kami bersama sama masuk ke ruangan ICU. Lagi lagi saya bingung mencari perlengkapan masuk area ICU. Saya tidak menemukan baju pelapis khusus masuk area ICU. Saya tidak temukan antiseptik membersihkan tangan sebelum masuk area ICU. Tutup rambut, penutup sepatu, penutup mulut, juga tidak disediakan.
Pastilah ada pembaca atau juga dokter yang membaca artikel ini. Dan pasti ada yang pernah masuk keruang ICU di Indonesia, maka dengan standart Indonesia, kita harus ganti sandal rumah sakit dan minimal cuci tangan dengan antiseptik. Ada jugalah yang mengharuskan mengunakan baju pelapis. Lalu…. Bila di bandingkan dengan Indonesia saja, maka standar prosedurnya di rumah sakit terkenal ini sangat jauh dari standart Indonesia.
Karena semua keluarga sudah masuk ke area ICU dan tidak ada yang kontrol, maka sayapun ikut masuk mencari kamar ICU dimana pasien berada. Ada ruangan berjendela luas dan pintu kacanya tertutup rapat. Saat saya masih berdiskusi dengan keluarga, tiba tiba keluarga itu masuk kedalam ruangan. Saya kaget sekali melihat sikap seperti itu, karena tidak semudah itu untuk kita bisa masuk keruangan ICU.
Jujur saja, saya seperti dokter yang norak di ruangan itu. Mau ikutan masuk, saya terpaku dengan pengalaman saya di Jerman yang serba disiplin. Akhirnya saya masuk juga seperti lainnya. Didalam ruangan, saya sejenak memeriksa pasien dengan hanya bantuan indra yang saya miliki saja alias tanpa alat bantu apapun.
Akhirnya saya dan keluarga berdiskusi dalam ruangan pasien. Dan pasiennya masih tersambung dengan sangat banyak alat modern. Luar biasa mewahnya alat alat itu. Pasti total nilainya dalam ruangan itu bisa beberapa milyar rupiah.
Lalu terlihat ada dokter yang sedang melakukan kunjungan pasiennya. Segara saya memperkenal diri dalam bahasa Inggris tetapi sang dokter paham juga bahasa Indonesia. Kami sejenak berkenalan dan saling bertanya. Sampailah kami pada diskusi yang dijadikan contoh kasus oleh dokter tersebut. Kami berdiskusi sejenak tentang apa yang menjadi spesialis dokter itu, yaitu tentang paru paru. Saya dijelaskan dan saya berkata sambil melihat foto rontgen paru paru : “Loh…. Ini TBC ?”
Dijawab : “Yess … TBC” Saya bertanya : “Terbukti TBC ?” Dijawab : “Yess… TBC dan Pneumonia” Saya makin kaget : “Masih aktif ?” Di Jawab : “Yess.. aktif” Saya masih kaget dan bertanya seperti dokter bodoh : “Kenapa tidak di isolasi / karantina ?” Di jawab : “Sudah sembuh dikasih obat”
Saya kehabisan berpikir….. saya terasa berada dimanakah saya ini…. Apakah saya sedang berada di Jerman atau di Indonesia atau di Singapore ? Bila saya di Jerman, pasti ruangan ini terisolasi dengan pintu khusus dua lapis. Bila saya di Indonesia, pasti minimal pasien berada diruangan isolasi. Bila saya di Singapore, kenapa pasien TBC aktif tidak di isolasi ? Binggung saya. Tetapi saya dan dokter ini masih bisa tertawa tawa dalam lorong area ICU, pas di depan ruang ICU pasien. Dan saya yakin seyakinnya, bahwa saya ada di rumah sakit terkenal dengan tarif sangat super mahal sekali. Situasi bercanda seperti ini, tidak akan bisa terjadi saat saya dirumah sakit Jerman.
Langsung saya di minta bicara tentang penyakit lainnya dengan dokter spesialis lainnya pula. Akhirnya saya sementara menyudahkan pembicaraan dengan dokter paru tersebut.
Saya keluar dan menunggu diruangan tunggu para keluarga pasien. Sambil menunggu saya mendengarkan keluarga pasien lainnya yang juga dari Indonesia. hehehe…. di ruangan tunggu itu, hampir semuanya dari Indonesia. Dan apa yang saya dengar adalah biaya yang sangat mahal sekali. Ada yang dari bicara nilai ratusan juta rupiah maupun sampai ber-ember ember-an. Yang mahal adalah Dollar Singapore nya. Tetapi tagihan itu bagi para warga Singapore pun sudah sangat mahal.
Saya cuma kaget saja bila memahami biaya yang ditagih oleh pihak rumah sakit. Yah tentu saja, kualitas ada harganya. Lagipula ini standart Singapore dan bukan standart puskemas di Indonesia yang bisa gratisan.
Karena itu, siapapun yang mau berobat.Di negara manapun mau berobat adalah terserah yang punya uang. Yang penting harus paham selain reputasi rumah sakit dan dokternya, juga keberhasilan berobat disana. Karena banyak pula yang pulang dengan kondisi tidak sembuh atau malah memburuk. Tidak bisa pula disalahkan rumah sakit, karena memang penyakit tidak bisa diduga duga. Bagi yang punya uang, silahkan saja berobat sangat mahal di rumah sakit bertarif hotel super mewah. Bila hanya sebatas membuang isi tabungan kecil dan bukan ukuran ember, silahkan saja. Tetapi bila membuang uang skala embar ember, sebaiknya berpikirlah baik baik. Ini pun sangat relatip untuk yang punya uang. Terutama segmen OKB yang ikut lifestyle untuk berobat di luar negeri.
Itulah pengalaman saya yang saya tulis dalam bahasa awam untuk pembaca bisa memahami kualitas rumah sakit bertaraf hotel super mewah.