Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Telepon dari Ibu Habibie

27 September 2010   05:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:56 303 0

Telepon dari Ibu Habibie

Sejatinya hari Senin, 20 September 2010 adalah hari yang cukup cerah. Namun entah mengapa, semangat saya tak secerah cahaya yang terpancar di pagi itu.

Hal ini tergambar saat bangun pagi. Biasanya saya sudah bangun pukul 04.00 subuh. Namun entah apa sebabnya, untuk beranjak dari peraduan saja enggan rasanya. Kehangatan selimut dan dinginnya udara pagi berhasil ‘menggoda’ untuk bermalas-malasan. Memang, akhirnya saya terbangun juga, namun jam dinding sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi.

Itu pun setelah berjuang dengan susah payah, menggeliat sebentar, kemudian sadar, barulah rasa buru-buru menghantui. Ya, bisa-bisa terlambat sampai di kantor. Perasaan takut terlambat segera datang menyeruak.

Selintas terbersit bisikan, “Sudahlah, kamu cuti saja. Nggak enak kan kerja hari Senin, apalagi mendung kayak begini!.” Namun bisikan ‘maut’ itu berhasil saya tepis. Tugas-tugas yang telah dijadwalkan akhir minggu lalu butuh penanganan serius. Lagipula, dimana sih rasa tanggungjawab saya jika mangkir kerja? Apa kata dunia?

Saya membangunkan kedua anak saya yang biasanya nebeng karena satu arah dengan saya. Lumayan, bisa menghemat uang jemputan mereka berdua. Setelah semua beres, kami berangkat. Daaaah mamaa, daaah dede.

Setelah mampir untuk mendrop kedua anak di sekolahan mereka, saya langsung ngebut menuju Cikarang. Tempat sawah-ladang saya berada. Jika dulu bekerja di ladang bersama orang tua, kini di sebuah pabrik pembuatan komponen kendaraan bermotor. Itulah sebabnya saya tak pernah ‘menyumpahi’ setiap kali terjebak kemacetan. Wong saya termasuk salah satu penyebabnya. Ha ha ha

***

Kini saya telah tiba di kantor. Jika bangun pagi butuh perjuangan yang ekstra, demikian pula memulai aktifitas pagi itu, terasa sangat ‘berat’. Maklumlah hari senin. Persis seperti kata pepatah, “I don’t like Monday.” Segudang pekerjaan yang siap menghadang, dan sisa pegal-pegal pasca kegiatan kepanitiaan kemarin masih bercokol ‘menyiksa’ sekujur tubuh.

Entah mengapa semua bersatu padu menantang dan membebani pikiran, sehingga semangat mengendur, lelah tak bergairah. Kendati berusaha untuk melawan dan menepis pikiran pengganggu, namun benar-benar dibutuhkan segudang energi dan semangat untuk memulihkan gairah kerja saya kala itu.

Tak seperti biasanya, hari-hari dapat saya antisipasi melalui self motivation. Memberi semangat pada diri sendiri, termasuk menghibur diri sendiri. Kali ini saya nyaris lumpuh total. Pikiran mulai dihinggapi oleh stress, rasa ketakutan dan kekhawatiran. Mulai dari memikirkan tetek bengek keluarga, program kantor, dan program pribadi yang belum tercapai. Termasuk penulisan berbagai artikel, berbagai judul buku yang urung rampung-rampung.

Memang, setiap kali saya mengingat beberapa naskah buku yang sedang saya kerjakan, hati ini miris bagaikan diiris iris. Bagaimana tidak, sudah lebih setahun kursus sana kursus sini, namun belum ada satu pun buku saya yang berhasil saya terbitkan. Padahal menulis sudah saya tetapkan menjadi jalan hidup di masa datang. Bekerja di pabrik, tak lebih dari sekedar kewajiban untuk menghidupi keluarga. Karena pada kenyataannya kehidupan di pabrik terlalu monoton. Jika tidak boleh dibilang membosankan. Yah, apakah ini yang dinamakan jenuh? Mungkin.

Saya telah berkali-kali menanyakan pada penerbit, apakah naskah saya selesai dinilai, apakah sudah laik cetak, atau masih perlu perbaikan. Terus terang saja, itulah naskah pertama yang berhasil tuntas di tanganku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun