Kekalahan bukan aib
Kemenangan, kesuksesan, kebahagiaan, adalah suatu kondisi yang selalu kita idam-idamkan. Positive thinking, semangat berkompetisi, strategy to win adalah how to ( cara ) yang sedang marak dan menjadi trend yang sedang mewabah di mana-mana dan di semua kalangan.
Semua orang mendambakan penghasilan lebih besar (Bigger), semua menginginkan posisi lebih tinggi (higher), semua bercita-cita menjadi manusia yang paling baik (better).
Oleh karena persaingan hidup dan ethos kerja yang selalu digembar-gemborkan, demi loyalitas pada pekerjaan dan integritas diri, dan pada akhirnya orang ingin meraih suatu hasil yang gilang-gemilang, sehingga tidak jarang terdengar motto sukses adalah sebuah keharusan.
Tidak jarang para motivator dan profokator berlomba-lomba mem-branding diri dan bahkan memasang tarif untuk memberi pembelajaran tentang bagaimana caranya untuk menjadi orang sukses.
Itu semua sah-sah saja, dan tak ada salahnya. Namun dibalik arus yang demikian derasnya, tidak sedikit manusia mengalami kegagalan yang berakhir pada keputusasaan akibat ketidaksiapan menerima kekalahan.
Pada dekade akhir-akhir ini, kalah adalah suatu kondisi yang harus dihindari, bila perlu diusir jauh-jauh dari kehidupan setiap orang. Kalah adalah pecundang yang merupakan aib memalukan, yang membuat harga diri turun, yang membuat rating melemah bak harga saham yang ada di pasar modal.
Namun di balik itu semua,mereka lupa bahwa apabila tidak ada yang kalah, maka tidak ada pula yang menang. Mereka juga sering tidak sadar, bahwa sebuah batu yang duduk di pincak gedung pencakar langit, tidak mungkin jika tidak ada batu yang mengalah menjadi pondasi.
Coba kita perhatikan proses pengasahan perhiasan intan. Bagaimana jadinya apabila batu apung tidak rela mengalah dan menjadi debu, sehingga intan menjadi mengilap dan bernilai jual yang tinggi? Apa jadinya sebuah patung kayu yang sedang diukir, apabila tidak ada kertas ampelas yang rela kalah demi menghaluskan sang patung?