Saya sempat dibuat pusing tujuh keliling saat ditugasi sebagai sekretaris di sebuah kepanitiaan di akhir tahun2009 yang lalu.
Bukan pusing karena pro dan kontra fasilitas mobil Toyota Crown Royal Salon 3000 cc, seperti yang diberikan kepada setiap pejabat setingkat menteri serta lembaga tinggi Negara di akhir 2009 yang lalu, namun pusing karena mendapat Complaint dari beberapa orang akibat kesalahan saya menuliskan gelar mereka.
Sudah jelas susunan kepanitian ini ada di dalam organisasi keagamaan, mengapa sih harus pakai gelar akademis segala? Bukankah di mata Tuhan semua orang itu adalah sama? Luar biasa tersesatnya bangsaku ini. Namun itulah fakta yang terjadi di lapangan. Sering kali orang merasa kurang afdol apabila tidak memakai gelar, tanpa mempertimbangkan tempat dan waktu yang tepat.
Teguranpertama yang datang pada saya adalah kesalahan penulisan gelar salah seorang panitia yang bergelar doktorandus ( Drs), saya tuliskan Ir.(Insinyur). Hal ini dapat saya maklumi karena jelas-jelas kesalahan saya, dan segera memperbaikinya. ( kendati dengan dongkol, karena dari awal saya berpendapat agar tak usah bawa-bawa gelar, karena ini bukan di kampus, atau di instansi pemerintahan).
Teguran kedua sebagai rentetan dari teguran pertama, dari seorang janda yang namanya dalam susunan kepanitiaan saya tuliskan “apa adanya”. Namun rupanya, karena merasa “kalah bersaing” dengan deretan nama dalam susunan kepanitiaan yang rata-rata menyandang gelar kesarjanaan, bahkan gelar keagamaan, Ia memprofokasi saya untuk memakai nama suaminya saja, lengkap dengan gelar dan embel-embelnya. Begini jadinya, “Ny. Doktorandus-Badu-Nama si ibu”. Sehingga saya terpaksa menelan pil pahit untuk kedua kalinya. ( Masak nama orang yang sudah almarhum, masih dicantumkan dalam susunan kepanitiaan, lengkap dengan gelar akademisnya lagi! Hugh amit-amit deh.)
Merasa berhasil memprofokasi saya, sang Ibu pun bercerita kepada anaknya yang juga terlibat dalam kepanitian tersebut. Anaknya yang telah pula ditinggal suaminya beberapa tahun lalu, tudak mau kalah dengan ibundanya. Serta-merta meminta saya untuk mencantumkan “Ny. Insinyiur.Doktorandus-Polan-Nama si Ibu ”. Pil pahit yang ketiga.
Untuk keempat kalinya, saya tidak mau salah lagi dengan tetek bengek gelar dan embel-embel ini. Rasanya muak sekali, dan ingin meninggalkan kepanitiaan ini. Masak permasalahanya hanya seputar gelar dan embel-embel melulu?
Namun dasar lagi apes, untuk keempat kalinya saya terpaksa berhadapan dengan permasalahan yang sama. Ceritanya pada sebuah surat, sesuai dengan kebiasaan protokoler, harus ditandatangani oleh tiga orang panitia Puncak. Apa boleh buat, ternyata ketiga orang ini punya gelar dan embel-embel yang bererot (panjang) seperti kereta api saja. Sehingga saya mengalami kesulitan untuk menuliskan ketiga nama mereka, saking panjangnya. Akhirnya Font-nya saya perkecil.
Nah, font yang diperkecil inilah yang menjadi biang keladi problem selanjutnya, karena menurut Panitia yang lain, tidak etis ( mungkin maksudnya mengecilkan orang besar ). Akhirnyasesuai dengan petunjuk Ketua panitia, nama ketiga orang itu di lay-out ulang, satu di atas, dan dua orang di bawah. ( saya sudah was-was, apakah yang di bawah tidak merasa direndahkan?)
Syukurlah, pada saat sign-off surat, tidak ada masalah, lancar-lancar saja. Dada ini pun lega.
Hal yang saya ceritakan di atas adalah sekelumit permasalahan yang terjadi dengan gelar dan embel-embel, yang sering merupakan permasalahan sosial di negri kita. Walaupun kita mengetahui bahwa gelar ini adalah peninggalan penjajah kolonial, namun bangsa kita cukup terprofokasi dengan baik untuk mengonsumsi gelar dan embel-embel tersebut untuk meningakatkan strata sosial.
Ini adalah ciri khas masyarakat protokoler, yang senang dengan acara-acara formal, baik di kampus, di sekolah, di instansi pemerintahan. Terlebih lagi di pemerintahan yang konon bila tanpa gelar, jangan berharap banyak untuk naik pangkat. Seolah gelar adalah bahan bakar dalam instansi pemerintahan, sehingga orang berebut “membeli”-nya dengan berbagai cara. Yang penting Punya gelar, Doktorandus, Insinyur, Master, Dokter, Doktor dan lain-lain.
Sudah menjadi kebudayaan di negri kita, bahwa derajat seseorang itu identik dengan jumlah gelar yang disandangnya. Tapi, apakah mereka tidak malu mencantumkan gelar yang kadang sampai lima buah itu, tapi miskin akan prestasi dan inovasi?
Namun di balik semua itu, dengan segala kerendahan hati, mari kita merenung akan kondisi bangsa kita yang carut marut ini.
Dari kita lahir hingga kembali ke pangkuan Ilahi, tidak satu pun barang dan jasa yang kita gunakan terlepas dari barang import, kecuali oksigen yang kita hirup.
Kita sangat tergantung dengan produk dan jasa dari bangsa lain. So, apa sih yang kita banggakan dalam bersosialisasi dengan bangsa lain? Apakah kita tidak malu dengan segala embel-embel dan gelar yang panjang, namun miskin prestasi itu? Sementara bangsa yang berprestasi , malu memakai gelar ?. Mereka memilih jadi diri sendiri saja.
Sudah seharusnya kita memulai action dari dalam mindset kita terlebih dahulu. Dengan cara merendahkan hati, meninggikan mutu, kembali menggali kearifan lokal, semisal “Makin berisi makin merunduk” ( Ilmu padi ), sehingga konten dan tindakan yang berarti demi integritas pribadi dan bangsa adalah gelar yang paling hakiki bagi kita.
Saya berharap, suatu saat kelak, gelar Improver, Innovator, Motivator, Creator, Navigator, Promotor, Inventor, Facilitator, Challanger akan menjadi gelar idaman di negeri kita.
Salam Indonesia sukses tanpa gelar.