“Coba anda bayangkan, harga bahan baku rotan dan kayu gelondongan asal sumatera di Sanghai - China, jauh lebih murah ketimbang harga barang yang sama di pulau Jawa,” ujar Yunus Theo Sabrata ketua Asosiasi Industri Kerajinan mebel Indonesia kepada SMART FM pagi ini.
Diprediksi penyebab dari fenomena ini adalah mahalnya biaya transportasi di dalam negri akibat dari kurang memadainya infrastruktur jalan, dan hal ini akan berakibat langsung pada biaya distribusi, termasuk distribusi bahan baku. Fenomena yang menarik ini juga bisa diakibatkan oleh kemampuan China dalam pengadaan besar-besaran akan bahan baku , salah satunya rotan dari Sumatera.
Mereka datang dengan kapal yang memiliki kapasitas cukup besar, dengan kemampuan financial dalam jumlah besar pula, maka pemilik barang akan tidak keberatan melepas komoditinya, kendati dengan harga yang tidak sebaik jika melepasnya pada pembeli dalam negri. Inilah yang memungkinkan China memperoleh bahan baku murah sehingga cost per unit transportation dari produknya dapat ditekan serendah mungkin.
Hal ini masih ditunjang pula oleh dibebaskanya bea masuk ke China. Nah, wajar saja sebatang rotan yang bersumber dari Sumatera akan lebih murah dibanding dengan harga sebatang rotan di Pulau Jawa. Akibat dari kondisi ini, ada kecenderungan deindustrialisasi yang telah terjadi lima tahun belakangan ini akan menjadi-jadi. Deindustrialisasi ini juga diprediksi akan meningkatkan angka pengangguran dalam negri.
Daripada mengolah sebuah bahan baku yang nota bene untuk mendapatkanya saja sudah begiru mahal, apalagi setelah diolah menjadi sebuah produk, tentu akan kalah bersaing dengan produk sejenis dari China, lebih menguntungkan berdagang komoditi alam saja. Hal ini tentu tidak dapat dipersalahkan karena tujuan bisnis itu adalah keuntungan, namaun seperti dijelaskan di atas, pekerja yang tadinya bekerja di sektor industri, akan kehilangan pekerjaanya.
Memang, eksport kita beberapa waktu belakangan meningkat. Namun apabila ditelaah lebih jauh, maka komoditi yang meningkat adalah komoditi yang bersifat bahan mentah seperti hasil bumi dan mineral. Sedangkan hasil dari sektor manufacturing ( Industri ) memperlihatkan tendensi menurun.
Efek yang bakal terjadi adalah berpindahnya para industriawan menjadi Importir. Dengan Brand yang sama dengan produk lamanya, ia memesan barang yang sama dari China, kemudian di label dengan brand resmi miliknya, lalu berjualan di dalam negri. Dengan cara ini mereka akan mendapatkan margin yang lebih baik dibanding jika memproduksi sendiri barang tersebut dalam negri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa iklim bisnis dalam konteks produk low-end dan yang memiliki kriteria produksi massal, akan kalah bersaing dengan produk-produk dari China karena beberapa hal yang dijelaskan diatas.
Kecenderungan kedua, industri yang bergerak dalam Konteks low-end, akan berpindah pada level yang di atasnya. Dimana jumlahnya tidak terlalu banyak, namun ia lebih kepada inovasi yang lebih tinggi dan lebih kreatif. Namun tantanganya juga tidak mudah bagi kita, karena penguasaan teknologi dan kekampuan dalam hal design dan inovasi yang kalah bersaing dengan Negara Industri yang lebih maju.
Dalam situasi yang sulit inilah, sangat terasa akan kebutuhan pembelajaran terhadap ilmu dan teknologi yang selam ini tidak disentuh dengan serius. Padahal kita memiliki BPPT, LIPI, dan seabreg lembaga yang didedikasikan untuk mengkaji teknologi dan ilmu pengetahuan. Tapi gregetnya kurang berasa baik di level Low maupun di level End. Kita terlena dengan hanya menjadi tukang jahitnya Jepang , Korea,Taiwan, China, dan bangsa-bangsa Eropah lainya.
Namun satu keyakinan saya adalah, adanya bakat kreatif yang ada pada anak bangsa ini, yang nota bene ,belum tergarap dengan baik, akan dapat menyelamatkan ekonomi kita. Hanya saja harus disolusiakan bagaimana cara menampung dan mengembangkan kretifitasan itu secara Holistik. Bisnis kreatiflah yang dapat bersaing dengan hasil industri Low-end maupun High-end. Kedua “end” tersebut telah diambil oleh bangsa lain, jangan pula dalam Industri dan bisnis kreatif kita tidak kebagian. Mari kita belajar dari bangsa yang “lebih” dari bangsa kita.