Ahhhh…. enaknya menjadi kambing, kebutuhan mereka hanya masalah makanan. Dan tak lebih. Aku pun mulai melamun seandainya saja aku menjadi kambing. tak perlulah aku sekolah tinggi untuk mendapatkan apa yang “mereka“ inginkan. Tak perlulah aku melakukan berbagai ritual (yang katanya) untuk mengucapkan sukur pada sang pembuat hidup. Aku cukup mengeluarkan suara dari mulutku untuk meyakinkan majikanku kalau aku benar-benar lapar. (aku tertawa ngekek teringat pada pembuat undang-undang, cukup membual, asal meyakinkan, mereka mendapat gaji)
Akupun mulai mengembik menirukan sebisaku suara kambing, berharap jika mereka mendengar suaraku mereka datang dengan tergopoh-gopoh dan membawakan sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Hingga akupun dapat makan tanpa menggerakkan badanku.
***************
“Gila…Edan…buka mata kalian…sadarlah karena kalian benar-benar sinting…!!!” Semua itu kukatakan pada mereka dengan suara tinggi setiap kali mereka memandangku sebagai “yang lain” dari mereka. Bahkan sering kukatakan juga "otak bebal kalianlah yang membuat kalian makin sengsara, merasakan kemakmuran semu, merasa nyaman hidup dibawah hukum yang bahkkan kalian sendiri tak tahu apa tujuan dan siapa yang membuatnya??? tertawalah dalam kekonyolan kalian….!!!!!”,
Mereka marah, entah kemarahan karena menyadari kebodohan, atau mungkin sebuah permohonan, sebuah permohonan yang menyatakan kejujuran akan pentingnya kedaulatan yang mesti dijaga, bukan sekedar identitas. Sebuah ideology (yang sebenarnya bagiku sangat reduktif hingga tak lagi bisa membedakan mana relitas dan ide) “kebijaksanaan” yang telah tertanam jauh dibawah alam sadar mereka sebagai “kebijaksanaan abadi”.
Atau mungkin mereka takut hukum “normal” yang mengatur keadaan selama ini menjadi rusak tak karuan. Tatanan normalitas menjadi baku. Bahkan menjadi suatu yang normative dan tak bisa lagi di utak-utik. Keselarasan symbol-makna benar-benar dijaga. Bahkan tak diizinkan pembongkaran mitos-mitos warisan peninggalan nenek moyang. Sampai pada titik ini aku merasa “tak ada lagi yang bisa di percaya”. (aku jadi teringat iwan fals, yang memohon kepada “orang tua” karena kekecewaan ).
Aku sendiri lebih senang menganggapnya sebagai ketakutan. Ketakutan berlebih akan terbongkarnya kebusukan yang telah lama terpendam. Kebusukan yang jika terbongkar akan mengancam kedudukan mereka. Mungkin mereka takut jika tragedi PKI yang selama ini menjadi momok yang menakutkan kembali terulang. (atau malah mungkin revulusi yang terjadi di tanah eropa) aku tertawa sendiri dengan argumen justifikasiku. Tapi aku yakin, aku mempunyai logika sendiri.
Hingga akhirnya mereka mulai menganggapku sesat, gila, tidak waras dan sinting.. Beberapa tetua bahkan menganggapku tidak kuat dengan ilmu-ilmu yang kupelajari, dan akhirnya menjadi gila. Sedang yang lain menganggap ku sebagai penganut ajaran sesat dan –tentu saja- menyesatkan. orang kampungku memberikan stempel padaku “Seorang manusia yang setelah beberapa tahun meninggalkan desa dan kembali dengan ajaran sesat dan menyesatkan”
Keberadaanku seolah menjadi ancaman yang serius, mengancam ke”normalan” yang selama ini telah berjalan tanpa gangguan yang serius. Aku dianggap sebagai penyakit, penyakit yang mematikan, menimbulkan kehancuran dan akhirnya harus dimusnahkan. -jika kalian percaya cerita ku ini kalian akan percaya bahwa gerak sejarah seperti roda yang berputar- Sebuah kebanggan mengalami kejadian sebagaimana yang dijalani oleh sokrates.
Aku sendiri berusaha untuk tidak perduli dengan kemarahan, gunjingan orang kampungku, dan tertawaan para gadis (yang harus kuakui memang sangat menyakitkan) dan bahkan keluargaku mulai terpengaruh dengan mereka. Aku jadi semakin heran, sebenarnya siapa diantara kami yang benar-benar sakit?.
Beberapa kali paranormal datang dan mencoba mengobatiku, layaknya seorang psikiater mereka menanyakan berbagai macam hal kepadaku. Akupun hanya menceritakan apa yang aku pikirkan, tak lebih apalagi hiperbolis. Lucunya mereka mengatakan pada ayahku bahwaaku kerasukan, karena berani melawan “ajaran orang tua” dan tak bisa di sembuhkan. Ternyata roh yang memasuki diriku terlalu kuat, hingga dukun itu tak mampu melawanku… suatu kemenangan.
***************
Tak tahan dengan kenyataan ini, akupun memilih diam. Diam kuanggap sebagai bentuk perlawanan terakhir. Masyarakat di sini sudah demikian kacaunya sehingga tak dapat di sadarkan lagi, norma mereka berubah menjadi nilai kaku yang tak dapat rubah kembali.
Tapi yang pasti diam adalah permintaan resmi dari orang tuaku. Setelah kuyakinkan mereka kalau mereka tak mesti menyesal karena telah melahirkanku. Mereka memintaku diam karena apa yang aku lakukan nantinya akan mempermalukan mereka, menambah kekacauan yang sebenarnya sudah kacau.
Keyakinanku pada waktu membuatku sedikit tenang. Setelah beberapa lama akhirnya kampung ini kembali seperti semula. tak ada lagi ancaman yang serius, tak ada lagi ocehan dan kemarahan yang cukup berarti.
Kediamanku rupanya membawa dampak yang lumayan. mereka tak lagi menganggap ku sebagai “yang lain” dari mereka. Mereka tak lagi terlalu mencampuri hidupku dengan kemarahan dan gunjingan mereka. Dan akupun dapat lebih leluasa dengan berbagai lamunan dan bayangan kemapanan yang akan datang entah suatu saat nanti, disini, tempat tinggal baruku. Sebuah kandang, dengan pasungan yang menemani sisa hidupku yang sia-sia..