Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Ketika SBY Koreksi Presiden Jokowi

28 April 2015   23:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:35 241 0
Meskipun tak lagi menjabat sebagai Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menunjukkan kepeduliannya pada penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di negeri ini.

Sebagaimana disampaikan dalam beberapa kesempatan, SBY akan mendukung semua kebijakan pemerintah yang pro rakyat. Tapi ditegaskan juga ia tak akan segan-segan mengritik jika kebijakan pemerintah justru membebani rakyat. Termasuk jika ada pernyataan pemerintah yang memang perlu dikoreksi dan diklarifikasi.

Yang terbaru, Selasa (28/4) SBY melalui akun twitter pribadinya @SBYudhoyono mengoreksi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dimuat Harian Rakyat Merdeka, Senin 27 April 2015.

"Pak Jokowi mengatakan yg intinya Indonesia masih pinjam uang ke IMF. Berarti kita dianggap masih punya utang kepada IMF. *SBY*," demikian bunyi salah satu tweetnya.

SBY menjelaskan bahwa pernyataan Presiden Jokowi tersebut salah sebab Indonesia sudah melunasi semua hutang kepada IMF tahun 2006 lalu. Dengan demikian sejak 2006, Indonesia tidak jadi pasien dan tidak lagi didikte IMF. "Kita merdeka dan berdaulat untuk merancang pembangunan ekonomi kita," tegas SBY.

Pada pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu Presiden Jokowi mengajak negara-negara Asia Afrika agar tidak tergantung pada IMF, Bank Dunia dan ADB.

"Saya berpendirian pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa hanya diserahkan kepada ketiga lembaga keuangan internasional itu. Kita wajib membangun sebuah tatanan ekonomi baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan ekonomi baru," tegas Jokowi.

Pidato yang cukup berani itu mendapatkan banyak pujian. Banyak yang menafsirkan Presiden Jokowi mengajak negara-negara Asia Afrika antipati kepada tiga lembaga keuangan tersebut. Namun anggapan tersebut dibantah sendiri olehnya.

"Siapa yang bilang anti? Siapa? Kita kan masih minjem ke sana. Itu sebuah pandangan, bahwa perlu suatu tatanan keuangan global yang lebih baik," ujar Presiden Jokowi Minggu (26/4) sebagaimana dikutip detik.com.

Rupanya pernyataan "kita kan masih minjem kesana" itulah yang menurut SBY harus diluruskan. "Minjem kesana" bisa diartikan bahwa Indonesia masih pinjam uang ke IMF.

Jika demikian maka sudah sepantasnya bahkan memang seharusnya SBY mengoreksi sebab dialah yang menjadi pelaku dan saksi sejarah pelunasan utang Indonesia kepada IMF sebagaimana dijelaskan dalam kultwitnya.

"Jika pernyataan Presiden Jokowi tsb tidak saya koreksi, rakyat bisa menuduh saya yg berbohong. Kebenaran bagi saya mutlak. *SBY*," demikian tweet penjelasan SBY.

Perdebatan tentang utang IMF ternyata berkembang dalam waktu yang cukup cepat. Tak berapa lama kemudian muncul tanggapan dari pihak Istana yang disampaikan Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto.

Dijelaskan Andi, memang benar tahun 2006 Indonesia tidak memiliki utang dengan IMF, tapi utang tersebut muncul lagi tahun 2009, besarnya 3 miliar dollar dan terus ada sampai hari ini.

Pernyataan Andi seolah ingin mematahkan klarifikasi SBY yang dengan tegas menyatakan Indonesia sudah tak berhutang lagi pada IMF. Perdebatanpun semakin seru meskipun kemudian justru bukan SBY yang mengoreksi pernyataan Andi Widjajanto.

Adalah Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang justru membenarkan pernyataan SBY dan kemudian memberikan klarifikasi. Bambang menjelaskan hingga kini Indonesia tak pernah berhutang lagi pada IMF. "Dari sejak 2006 kita sudah tidak ada utang," tegasnya sebagaimana dikutip sindonews.com (28/4).

Bambang malah menilai media yang salah kutip pernyataan Presiden Jokowi. "Enggak ada utang IMF, kita tak pernah berutang ke IMF, ya sudah. Tidak ada yang itu, salah kutip, dibilang yang bilang kita masih punya utang ke IMF itu salah kutip," ujar Bambang sebagaimana dikutip sindonews.com (28/4).

Pernyataan Bambang Brodjonegoro makin diperkuat dengan penjelasan Bank Indonesia (BI). Direktur Departemen Komunikasi (BI), Peter Jacobs memberikan penjelasan mengenai utang IMF yang tercatat di buku statistik utang luar negeri.

Dijelaskan bahwa posisi kewajiban sebesar US$ 2,8 miliar bukan utang kepada IMF dalam bentuk pinjaman yang selama ini kita kenal. Kewajiban tersebut adalah alokasi SDR yang timbul sebagai konsekuensi kita sebagai anggota IMF. Seluruh anggota IMF mendapat alokasi SDR tersebut. Secara rinci penjelasan ini bisa dilihat di akun Twitter @bank_indonesia.

Jika kita perhatikan lebih seksama, koreksi yang disampaikan SBY merupakan bentuk perhatian dan kepeduliannya pada pemerintahan Presiden Jokowi.

Disamping sebagai klarifikasi bahwa ia tak bohong tentang utang pada IMF yang telah lunas, koreksi SBY justru menegaskan pernyataan Presiden Jokowi agar kita tak tergantung pada lembaga keuangan dunia termasuk IMF. Pernyataan SBY membuktikan bahwa Indonesia sudah bisa bebas dari ketergantungan pada IMF.

Secara tersirat SBY nampaknya ingin mengingatkan Presiden Jokowi bahwa isu utang luar negeri adalah isu sensitif karena menyangkut kedaulatan dan harga diri bangsa dan negara.

Dalam tweet koreksinya SBY mengungkapkan, dengan lunasnya utang pada IMF kita tak lagi didikte dan tak harus minta persetujuan IMF dan negara-negara donor dalam pengelolaan ekonomi termasuk penyusunan APBN.

Rakyat Indonesia tidak lagi dipermalukan dan merasa terhina, karena kita tidak lagi menjadi pasien IMF dan bebas dari trauma masa lalu. "Sejak th 2007, saya (dulu sbg Presiden) menerima kunjungan 3 pemimpin IMF dgn kepala tegak. Kehormatan Indonesia telah pulih. *SBY*," jelas SBY dalam tweetnya.

Koreksi atas isu utang luar negeri yang kemudian berkembang menjadi perdebatan antar tokoh ini setidaknya menjadi pelajaran untuk kita bersama.

Semoga Presiden Jokowi dan orang-orang terdekat disekelilingnya lebih cermat dan berhati-hati dalam menyampaikan suatu statement. Ucapan pejabat negara apalagi seorang Presiden akan berimplikasi politis dan berdampak luas pada kebijakan yang menyangkut hajat hidup seluruh rakyat.

Ucapan seorang pejabat negara terlebih Presiden sering dijadikan referensi, tercatat dan selalu diingat sehingga tak bisa seenaknya diralat. Kebiasaan berubah pendapat dan meralat pernyataan akan membuatnya terkesan plin-plan dan tak punya sikap yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan rakyat.

Kritik dan saran jangan selalu dilihat sebagai upaya untuk mengganggu apalagi menjegal. Kritik dan saran hendaknya dilihat sebagai suatu bentuk kepedulian untuk mengoreksi agar kesalahan yang kita lakukan dapat segera diperbaiki dan tak berkembang menjadi kekeliruan yang lebih besar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun