Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Dual Profession (Bagian 1 dari Sebuah Novel "Wonderboys")

7 Februari 2011   17:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49 106 0
SORE ITU ketika sang panas tak lagi begitu menyengat, kurasakan dalam lubuk hati terdalam semua komponen alam begitu bersahabat, begitu intim dan memeluk erat hingga merasuk kedalam sumsum - sumsum tulangku. Ketika sang angin berhembus dengan sepoinya menusuk tepat ke ulu hatiku yang sedang dilanda perasaan luar biasa bahagia. Matahari yang biasanya membakar dunia dengan sengatan panasnya, kali ini aku begitu menyadari sungguh bahwa ia merupakan satu - satunya komponen alam yang mempunyai tugas paling vital, memberi penghidupan, penerangan dan penghangat bagi seluruh makhluk yang menggantungkan hidup terhadapnya di tempat yang biasa kita sebut dengan planet bumi dalam sistem tata surya kita ini. Saat ini, aku tidak sedang mendapat segepok hadiah berjuta - juta rupiah dari sebuah undian lotere tak sengaja, tidak juga karena sedang di mabuk oleh racun cintanya sang Dewi Amor, ataupun lebih -lebih karena merasakan buah nikmatnya dari hasil kerjaku selama 3 tahun lebih dengan diangkatnya menjadi karyawan tetap dari status karyawan kontrak (outsourching). Tidak satu dan yang lainya. Tetapi aku, saat ini begitu terperi sebagaimana semua alam merasakan rasa bahagiaku, menjadi saksi akan dimulainya pencapaian satu impian terbesarku bahkan setelah beberapa tahun berlalu. Ya, hari ini aku mulai kuliah lagi dan menyandang satu status lagi selain sebagai karyawan pabrik PT Surya Keramik Indonesia yaitu sebagai mahasiswa di salah satu sekolah tinggi ilmu administrasi di Banten. Memang ini baru suatu permulaan, pikirku. Tapi suatu permulaan yang bagus untuk mewujudkan kembali cita - cita hidup yang telah lama terpatri, mendarah daging dan tak akan lekang oleh lajunya zaman. Terima kasih ya Allah, aku bersyukur padaMu atas semua karuniamu.

* * *

Maka sore itu, seetelah pulang kerja harian yang biasanya lemah tak berdaya, kehabisan tenaga setelah bekerja seharian hampir 9 jam hilang sudah, semua raib entah kemana tertutup oleh semangatku yang lagi membara, semangat yang telah bertahun lamanya mencampakkanku yaitu semangat mengejar pendidikanku yang telah tertinggal. Semua siap, baju rapi ala mahasiswa baru, sedikit minyak wangi dan sentuhan gel minyak rambut mewarnai penampilan baruku setelah menanggalkan seragam kerja kebesaanku yang memang benar kebesaran. Akupun berangkat dengan tas tenteng hitam besarku yang sebelumnya paling - paling aku gunakan ketika musim mudik kampung tiba.

* * *

Kulambaikan tangan kanan dengan gerak perlahan untuk memberhentikan laju angkot, kemudian naik pas di depan jalan aspal, depan kontrakanku. Aku duduk di pojok kanan belakang sehingga bisa memperhatikan laju - laju kendaraan lainya di belakang angkot yang umurnya pasti sudah tua, lebih tua dari umurku saat ini. Terbukti sang angkot sering terbatuk - batuk jika memulai starter ulang dan ketika mengerem hendak berhenti. Lebih parahnya sang sopir sebagai kemudi utamapun usianya tak lebih muda dari angkotnya ini. Harus mengetuk atap angkot dengan keras plus disertai teriakan yang kencang bila benar - benar mau memberhentikanya, maklum sang sopir pendengaranya agak sedikit tergganggu walaupun si oknum masih mengaku pendengaranya masih setajam sang kelelawar malam. Ya kelelawar malam yang lan - sia ( Lanjut Usia).

* * *

"Srett" Bunyi gesekan ban depan yang mulai menipis tergerus aspal ketika pak tua mengerem mendadak, knalpotpun belakangpun terbatuk - batuk parau hingga bergoyang - goyang turun naik. Akupun tersadar ternyata pak Tua kebablasan telah melewati jembatan untuk memberhentikanya, Ia tak mendengar seruanku untuk berhenti apalagi ketukanku yang menggaung lebih tiga kali. Akupun tersenyum kecut ketika memberikan uang lecek dua lembar ribuan kepadanya. Sang sopir angkotpun terseyum tulus menyadari kelalaianya sehingga memperlihatkan kedua gigi depanya yang ompong. Aku jadi ragu untuk memarahinya tetapi malah hampir tertawa ketika melihatnya.

* * *

Sebuah bangunan cantik berlantai tiga mengundang mata, menusuk mataku memintaku untuk sesegera memelotototinya. Dengan bercat merah dilantai pertama diselingi garis - garis horizontal melintang mengelilingi dilantai dua dan hiasan puncak cat biru cerah agak tua di lantai tiga tepat kira - kira 50 meter lagi di depanku. Merupakan gabungan dua ruko yang menyatu. Itulah kampusku. Kampus baruku yang akan menjadi tempat belajarku. Disampingnya merupakan deretan ruko yang saling mengait satu dan yang lainya, disebelah kananya sebagai sebuah toko serba ada, serba ada dalam makna yang sebenarnya karena selain sebagai tempat makan, juga ada tempat fotokopi, makanan -makanan kecil dan peralatan perkuliahan. Sesudahnya berlanjut satu ruko kecil spesialis tempat makan soto tangkar yang nikmat dengan harga yang murah meriah bagi kantong para mahasiswa dan ada juga sebuah counter pulsa menutup deretan utama disamping kampus kami. Maksudku kampus itu, perasaan itu terbawa karena terasa senangnya. Berbelok ke belakang ada sebuah cabang bank swasta elite dan lembaga kursus bagi para anak SMA yang bergandengan erat satu dan yang lainya seakan tak mau di pisahkan karena mereka dilahirkan dalam waktu dan oleh tangan pembuat yang sama.

* * *

STIA Banten itulah nama kampus itu. Pasti seseorang pun tak akan tahu ketika ditanya itu sekolah yang mana, memang ada sekolah tersebut atau letaknya dimana. Baru semester tiga aku baru akan menjalaninya karena harus melewatkan dua semester awal pertama kuliah di sebuah Lembaga Pengembangan Profesi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah LP3I. Itulah perjanjian yang menguntungkan dari kedua instansi pendidikan tersebut. Dari sebuah periklanan sebuah lembaga tersebut kini menjamur sampai ke pelosok - pelosok kota. Sekitar 50 meter kearah depanya berdiri dengan kokoh namun begitu angkuh nan megahnya sebuah bangunan empat lantai sebagai tempat perbelanjaan dengan sebuah nama yang familiar yang banyak dikira dari bahasa inggris namun ternyata dari bahasa negerinya sang Napoleon Bonaparte, negeri bermenara Eiffel yaitu CARREFOUR. Bangunan itu berdiri dengan terbentang luas didepannya sebuah tempat parkir dengan pohon jarang - jarang seperlunya sebagai pembatas parkir. Sangat luas sekali tempat berparkirnya berpuluh - puluh kendaraan beroda empat. Tempat sekarang aku berjalan, melewatinya menuju ke tempat kampus baru itu tepat searah dengan mataku.

"Permisi Mbak?" Sapaku dengan senyum manis terlatihku sesudah membuka sebuah pintu kaca itu. Sesosok wanita paruh baya sekitar tigapuluh lebih, berambut sebahu menoleh kearahku dengan tatapan agak bingung namun berusaha untuk ramah melalui rona mukanya.

"Oh Ya. Silahkan masuk!!" Jawabnya sambil mempersilahkankanku masuk dengan kode gerakan lembut tanganya.

"Saya Dodo mbak Sita!" Mukanya masih terlihat kebingungan.

"Dodo Wiyono, yang hari sabtu kemarin. Saya jadi kuliah disini". Senyumnyapun kemudian merekah di bibirnya, kebingungan sebelumnya sirna berganti dengan sebuah ingatan akan sesuatu, yaitu tentang diriku.

"Sekalian registrasi?" Iapun kemudian mengangguk setelah mengatakan oke dan mempersilahkan duduk sebelumnya.

"Oh...Kamu Do Mbak sedikit lupa nih" Katanya sambil mencari - cari sebuah blangko registrasi kemudian memberikanya kepadaku.

"Kemarinkan rambutmu sedikit gondrong pas kesini, tiba - tiba saja plontos

seperti ini jadi Mbak agak pangling tadi. Siapa ya..." Ceritanya panjang lebar seakan tanpa mau di potong olehku. Perkataanya ramah nan memikat khas staf -staf kampus untuk memikat mahasiswa baru. Walaupun agak gemuk tapi dengan sensualitasnya, sedikit polesan make up dan gaya bicaranya yang khas pasti ia akan cepat mendapat mangsa - mangsa mahasiswa baru yang belum atau tidak kemana arah pendidikan masa depan atau bahkan tak punya pilihan. Aku adalah satu korbanya saat ini.

* * *

Setelah proses pendaftaran, registrasi dan segala hal lainya selesai kemudian mbak Sita memperkenalkanku dengan Bp Han yang tingginya tak lebih dari 165 cm, beliau berpotongan agak pendek yang dimanipulasi dengan kemeja garis - garis vertikalnya, berpadu celana kain coklat dan disempurnakan dengan sepatu kinclong ala pantofel yang membungkus kedua kaki gempalnya. Kemudian beliaupun mengambil alihku dari staf cantik tadi, untuk menemaniku, sekedar melihat - lihat ruangan dan memperkenalkanku dengan para staf kampus lainya.

* * *

Dilantai 2 aku kemudian diperkenalkan dengan Bp Muhamad Nurdin bagian pendidikan, Bp Manurung Simanjuntak bagian Staf operasional dan Bp William Peter yang bagian keuangan serta tak lupa dengan staf administrasi cantik berkerudung biru laut dengan tahi lalat di bawah dagu sebelah kirinya Mbak Anita puspita. Dengan mengulurkan tanganku disertai menyebutkan namaku sebagai tanda salam perkenalan kepada mereka, mereka semua bersahabat, malah sangat bersahabat dan ramah dengan mahasiswa baru sepertiku yang mempunyai status lain sebagai kuli pabrik nan hanya kontrak di salah satu pabrik keramik di Indonesia.

"Do!" Kata beliau seraya menghentikan putaran lamunanku seketika .

"Di lantai 3 ini ada toilet mahasiswa di samping kiri tangga ini, musolla di sebelah kanan ini dan tempat Pingpong di ujung sana!" Matakupun melihat melewati arah yang ditunjukkan oleh telunjuk pak Han.

"Jadi, semoga kamu bisa memanfaatkan dan menjaga semuanya ini dengan

maksimal!" Kata beliau sambil berpesan semoga saja aku betah untuk belajar di kampus ini. Akupun mengangguk menyetujuinya. Setelah menjelaskan semuanya beliaupun kini meninggalkanku sendirian di lantai atas ini karena ada urusan lainya, sehingga akupun melanjutkan pengamatanku ke setiap sedut ruangan yang nantinya akan menjadi tempat belajarku ini dan sekaligus melihat pemandangan outdoor yang dapat aku saksikan dari sebuah jendelan yang tertempel di dinding bercat krem itu. Lumayan indah melihat sesuatu dari atas itu. Seru pikirku.

* * *

Sesaat kebimbanganku merayap ke tubuhku. Sempat aku merasa tak percaya bahwa aku benar - benar berdiri di tempat ini, di kampus ini, tempat aku menuntut ilmu nantinya, mengembangkan semua kemampuan dan mulai meraih impian. Dan...semuanya akan kumulai hari ini. Hari ini...Oh. Padahal sekitar 3 tahun sebelumnya aku salah satu pecundang besar untuk mengambil resiko sekecil apapun itu, bulan sebelumnya, sebelum aku untuk memutuskan kerja seraya kuliah. Karena itu adalah sebuah keputusan yang teramat besar bagiku mengingat fisikku yang kurus kering seperti pohon singkong meranggas sudah sering kelelahan, menahan rasa beban kerja yang berat, benar - benar berat ukuranku apalagi nanti aku mengambil kuliah pikirku waktu itu. Membayangkan saja aku tak mampu untuk semuanya itu. Jadi beberapa bulan bahkan dalam hitungan flashback tahun - tahun yang lalu hanya aku lalui dengan suatu rutinitas yang hampir sama bahkan seakan mengulang, melalui sebuah puzzle kehidupan yang itu - itu saja. Pagi mulai kerja ketika matahari baru muncul sekilas memperlihatkan wajah paginya, sorenya pulang ke kontrakan, dan menonton siaran televisi yang tak mendidik bahkan membodohkan para pemirsa terutama anak - anak dibawah umur yang hanya berisi omongan sana - sini tanpa isi. Dan kalau sempat sesekali membaca koran atau apalah yang kira - kira bisa mengisi waktu yang kosong. Ya hanya sekedar mengisi waktu, tetapi apakah hidup hanya sesederhana itu, sesimpel itu padahal seorang insan pasti diciptakan karena ada suatu tujuan dari sang khalik. Pikrankupun sempat beberapa kali bahkan lebih sering ketika tiap malam - malam tertentu aku menderita insomnia, selalu berpikir membaca melulu tetapi ada sesuatu yang kurang, hal yang ganjil nan sesuatu yang mengganjal untuk apa itu semua aku membaca tiap hari kadang bahkan tiap waktu. Saat itulah otakku berada dalam pusaran bintang - bintang kecil yang saling berkejar - kejaran tanpa henti tapi tanpa arah dan tujuan.

* * *

Suatu ketika,

"Do, membaca melulu, mengaapa tidak sekalian kuliah ?" Kata Alif teman satu kontrakanku yang aku bahkan tak menyangka pertanyaan itu akan muncul darinya. Seketika pertanyaan itu menohokku dengan tepat kepusat otakku sehingga membuatku diam sejenak, tak bisa berkata apapun. Yang kulakukan hanya memperhatikanya yang baru pulang kerja, dan mengawasiku dari tadi ketika aku sedang terjerembab dalam sebuah buku bacaan motivasi diri.

"Bukankah dengan kuliah, membaca manfaatnya akan lebih di dapat!" Lanjutnya bahkan sebelum aku menjawab pertanyaanya yang pertama, dan belum menemukan kenapa aku seketika merasa seperti tertampar oleh pertanyaan tadi. Dan kini otakkupun mulai mengirimkan sinyal - sinyal itu, seketika aku tersadar kembali seakan baru saja ditinggal rohku sementara untuk bertamasya sebentar. Dan aku berpikir benar juga ya katanya, kata dari seorang buruh kontraktor pabrik sama di PT SKI hanya nasibnya yang tak lebih beruntung sedikit dariku. Maklum seorang kontraktor yang gajinya belum UMK.

* * *

Setelahnya selama berminggu - minggu bahkan berlari dalam hitungan bulan aku kesana-kemari, ke pelosok kota Tangerang dari ujung ke ujung sampai kebingungan menderaku bertalu - talu. Hanya satu tujuanku, mencari informasi kampus untuk kuliah yang terjangkau. Di kota ini hanya 2 universitas yang bertengger dan selebihnya hanya sebuah sekolah - sekolah tinggi dan lembaga - lembaga yang patut di tanyakan keberadaan. Jadilah aku terdampar di suatu Sekolah tinggi ini karena tiga hal pokok yang tak dapat di tawar lagi, pertama lokasinya yang dekat dengan pabrik paling hanya 7 menit hanya dengan angkot, kedua jadwalnya yang fleksibel bagi seorang pekerja shif kambuhan kadang kerja malam atau pagi dan ketiga pastinya ini yang sebenarnya tak mampu aku pikirkan lagi biayanya yang dibawah standar dari kampus yang lain walaupun bagi seorang kuli sepertiku masih saja terlalu mencekik leher. Untuk makan esok hari saja harus benar - benar di perhitungkan. Namun semua keraguan dan ketakutan yang sempat merasukiku dan membuatku hampir berhenti berharap kini hilang sudah menguap bagai asap yang keluar dari cerobong pabrik - pabrik itu. Ternyata ada sebuah sinar keberanian yang muncul dari dalam diriku, merengkuh, mendorong untuk terus mengikuti kemana jalanya sinar terang tadi melalui kata naluri hatiku. Dan pikiranku tetap saja terhenti sejenak ketika aku memikirkan ini semuanya. Ya menempuh pendidikan setinggi mungkin, di tempat ini, tempat dimana sekarang aku berdiri benar - benar mematung diri. Pilihanku telah tertambat disini, paling tidak untuk sekarang ini. Berbagai lintasan pikiranku tadi ternyata telah membuatku tak sadar bahwa telah banyak mahasiswa dan mahasiswi yang lalu - lalang, mondar - mandir kesana kemari ketika aku masih terpaku memandang pemandangan outdoor melewati jendela walau pikiranku sedang berkelana jauh melampaui jauhnya jangkauan pandanganku di ujung parkir di depan CARREFOUR di sana.

* * *

Mereka semua berpakaian rapi, sampai aku tertegun ketika mataku bertemu pandang dengan salah satunnya. Ada yang hendak ke musolla karena sang maghrib hampir tiba, ada yang ke toilet dan ada yang hanya sekedar ingin main pingpong di ujung ruangan yang baru kumasuki tadi dengan Bp Han. Mereka semuanya memakai pakaian formal jas dan celana kain bagi mahasiswa dan rok kain dengan warna yang senada, Inilah tempat -tempat orang yang intelek pikirku sejenak ketika ingatanku kembali membandingkan dengan teman - temanku sesama kuli pabrik dengan pakaiaan seragam yang tak di gilas seterika, tak memakai ikat pinggang nan diperparah dengan kotoran yang seakan mereka acuh karena itu adalah teman karibnya sampai saat ini. Sesekali mereka menoleh kearahku, aku tahu dari sudut mataku, bahkan beberapa kaum hawa cekikikan tanpa risih, bergerombol mencuri - curi pandang kearahku. Sesaat kepercayaan akan pesonaku meninggi, namun ketika tak semuanya memberi respon serupa bahkan ada yang melayangkan tatapan tak kumengerti, dengan tak ramah menyiratkan siapa peduli. Yah tatapan - tatapan seperti terakhir itu pasti muncul, setelah ku tahu bahwa pakaian ku yang memang beda dari mereka. Mungkin mereka pikir, Siapa makhluk asing ini, kepala lontos, dengan seragam nyleneh yang tak seirama dengan komunitas mereka itu. Merekapun sebenarnya tahu jawaban itu, mahasiswa baru pastinya.

* * *

Karyawan dan mahasiswa itulah profesiku yang membahagiakanku sekarang ini. Karena amat jarang yang bisa mempunyai keduanya, atau bahkanpun salah satunya. Tapi bagaimana caraku untuk memberikan bandul keseimbangan keduanya, kini keyakinanku memudar memikirkanya. Aku tersenyum sendirian, otakku berbisik aku pasti bisa, bisa kapan membagi waktu kapan harus bekerja dan kapan harus belajar walaupun itu pasti tak akan mudah untuk kulakukan tapi bukankah sampai saat ini aku juga telah mempunyai bandul - bandul penyeimbang tadi, semuanya telah berada dalam gengaman keyakinanku saat ini. Khayalankupun mulai mempermainkanku, membayangkan bahwa aku bisa menjadi karyawan yang tak biasa tak hanya bermodal otot belaka karena memang benar aku tak mempunyai otot yang kekar itu. Menjadi seorang karyawan yang mampu berpikir lebih jauh, sesuatu yang inovatif, berwawasan luas dan akhirnya mampu memegang kewajiban yang besar yang telah menunggu di pintu masa depan, yang tak hanya kerja, kerja dan kerja yang biasa saja. Dan sebagai mahasiswa aku ingin melakukan, menembus batas - batas penghalang, dan melewatinya bahwa dalam belajar itu tak mengenal batas waktu. Pastinya bisa di capai tanpa harus membebankan semua beban - beban keuangan yang makin lama - makin menggunung kepada sang pemberi nama ketika kita lahir ke dunia, karena mereka, hanya mempunyai beberapa lembar uang untuk makan sekarang saja amat kurang ataupun hanya mempunyai sebukit sawah penopang hidup, bukan gunung - gunung uang itu. Karena tak semua orang tua itu seorang Gubernur yang mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri walaupun dengan segepok uang sogokan agar anaknya ditterima karena sang anak yang tidak mempunyai kemampuan standar, bahkan dibawah standar karena tak mampu membedakan pengucapan antara Smell dan Smile sehingga ketika hati bermaksud mengucapkan senyum anda berubah makna menjadi bau anda. Semua pasti bisa kulalui, dapat kuhadapi, bekerja untuk mendapatkan sebuah penghasilan sendiri, yang dapat di gunakan untuk menjadi pilar penopang jalanya pendidikan yang sedang di raih. Karena pendidikan tak boleh terhenti dengan adanya suatu ganjalan kecil, alasan klasik, yang mampu membabat mati mimpi - mimpi kita dimasa yang akan datang yaitu alasan tak ada biaya.

* * *

Tak ada biaya. Tak ada biaya untuk kuliah. Kemudian tanpa terasa air mataku mengalir perlahan ketika mengingat kata - kata itu. Masa itu, ketika mereka, kedua orang tuaku berucap, "Ya tak ada biaya untuk kuliah Do...."* * *

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun