Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Gosip

21 Agustus 2010   15:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:49 123 0
Oleh : Dodi Faedlulloh Bagaimana sikap  Anda bila mendengar berita buruk orang lain ? tidak sedikit dari kita yang justru senang luar biasa bilamana bisa mendengar berita orang lain yang berbau negatif. Gosip, itu mungkin bahasa kerennya. Tidak jarang juga walaupun kebenaran berita tersebut belum pasti namun kita justru ikut-ikutan menyebarkan berita itu. Ya, memang terasa asyik, maklum yang dikorek-korek adalah borok orang lain. Dari satu mulut bisa terakumulasi menjadi ribuan mulut yang bicara mengenai hal yang sama. Berbeda dengan teknis "menyebarkan" duit yang dilakukan oleh para pejabat korup, semakin mengalir justru semakin berkurang karena masuk kedalam saku si pejabat, sedangkan si gosip ini semakin mengalir justru bisa semakin banyak tambahannya. Jiwa eksplorasi atau so detektif dengan cara menganalisa informasi yang didapat tiba-tiba muncul, hasil "tambahannya" kemudian disebar dari mulut ke mulut, tentu dengan tambahan-tambahan lainnya dari si pendengar berita buruk yang juga doyan bersyiar gosip. Satu berita buruk yang belum tentu kebenarannya berkembang menjadi berita  yang variatif. Bila kesenangan dalam menyebarkan gosip dikategorikan sebagai "manfaat" dari bergosip, saya dengan tegas meyakinkan bahwa kesenangan tersebut adalah satu-satunya manfaat yang didapat, tidak lebih. Adalah kesenangan yang bias tentunya. Kesenangan yang berdiri diatas keterpurukan orang lain.  Dalam proses penyebaran gosip tidak jarang si pegosip berubah seakan-akan bahwa dirinya adalah yang paling benar dan si korban gosip adalah orang yang paling salah. Barangkali bergosip sudah termanifestasi menjadi kebiasaan yang sulit untuk dirubah, apalagi   untuk seseorang sudah merasakan sensasi klimaks bergosip. Lagi, dan lagi tentunya. Namanya juga sudah menjadi kebiasaan, layaknya mandi pagi yang sering dilakukan banyak orang tak ada satu pun orang yang merasa bersalah jika kita melakukan kebiasaan mandi tersebut, begitu juga dengan bergosip. Analogi yang berlebihan memang, tapi disadari atau tidak, kita jarang merasa  bersalah ataupun berdosa jika kita membicarakan aib orang lain, apalagi dengan tambahan-tambahan versi kita sendiri. Dukungan Media Keadaan media yang cendrung bablas seakan mengakomodir kebutuhan manusia yang doyan bergosip. Bagaimana tidak, begitu banyak media baik itu berupa infotaiment atau acara berita formal yang meyuguhkan menu-menu berita buruk yang bervariasi. Coba tengok dan perhatikan, berapa persen berita buruk yang disuguhkan oleh media. Lebih besar persentase berita buruk daripada berita baik saya kira. Saya tidak begitu menyalahkan media, karena memang itu adalah sudah menjadi tugas pokoknya. Tapi yang sedikit saya khawatirkan adalah akibat dari terus menerusnya kita yang dibanjiri berita buruk. Hal-hal buruk tersebut bisa jadi merubah pola pikir manusia, mengasumsikan bahwa dunia ini begitu buruk yang dihuni oleh manusia yang bertindak buruk pula, kejahatan dan terror  dimana-dimana, bobroknya moralitas sudah menjadi hal yang lumrah, dan akhirnya muncul angapan bahwa dunia seakan-akan tidak akan punya masa depan. Karena saking bertumpuknya berita buruk di memori, bukannya menjadi sosok yang kritis, manusia justru menjadi sosok yang lemah dan mudah putus asa. Maka kini hindarilah segala macam bentuk kabar negatif, gosip dari infotainmen, cerita isu dari tetangga, lagu-lagu melow yang dedukstrif. Saatnya bacalah buku-buku yang membagun jiwa. Mari berdiskusi dengan orang-orang positif yang mempunyai visi hidup yang cerah. Bergabunglah dengan komunitas yang progressif  dan bersemangat! Dengan itu Saya yakin Anda akan berubah menjadi pribadi yang antusias, positif, progressif, dan tentunya bahagia. []

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun