Disamping itu, ternyata ada juga anggota DPR yang baru sadar bahwa gedung yang ada sekarang, Gedung Nusantara I, masih ada yang menganggur (idle) dan ternyata masih layak pakai. Sehingga dianggap berlebihan jika DPR membangun gedung baru sementara yang ada saja jarang dihadiri.
Sebelumnya, yang termasuk ngotot untuk membangun gedung baru ini adalah Pius Lustrilanang, salah seorang wakil ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Berkali-kali ia menyatakan bahwa pembangunan gedung itu sudah mendesak dan sudah diianggarkan oleh DPR periode yang lalu sehingga mau tidak mau harus dilaksanakan.
Nah, sekarang setelah parttainya menyatakan sikap tegas menolak pembangunan gedung ini, posisinya menjadi sulit. Saat ini Gerindra telah berbalik arah, dan terpaksa ia harus menyesuaikan diri dengan pendirian partainya. Jika ia seorang politisi kawakan, ia akan segera berkelit derngan mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu mengenai detail gedung tersebut, yang ia tahu adalah biayanya sebesar Rp 1,6 triliun.
Sama seperti Marzuki Alie, ketua DPR kita, yang mengatakan bahwa ia tidak mengerti soal pembanguanan gedung, bahwa ia adalah politisi yang bukan arsitek atau ahli bangunan, bahwa ia tidak mengerti apa-apa soal teknis pembangunan gedung mewah ini. Demikian pernyataannya sekarang, yang berbeda dengan pernyataan sebelumnya yang ngotot bahwa pembangunan gedung ini harus dilaksanakan, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau (30/8/2010).
Namun, Lustrilanang tampaknya tidaklah sekaliber Marzuki Alie atau Priyo Budi Santoso dari Golkar. Ia adalah mantan aktivis yang pernah diculik pada masa Orba. Dan secara beruntung ia bisa menjadi anggota DPR melalui Gerindra. Pengalamannya dalam bidang politik relatif masih hijau. Karena itu, ada kemungkinan ia bakal ditarik oleh partainya dan diganti oleh kader lainnya yang lebih berpengalaman.
Pernyataan resmi Gerindra ini praktis telah memojokkan posisi Lustrilanang. Tampaknya ia telah menjadi korban dari partainya sendiri. Sebab jika Gerindra konsisten menolak, seharusnya sejak awal ia dibisiki untuk tidak terlalu bernafsu mengusulkan pembangunan gedung tersebut. Tampaknya angin telah berbalik arah dan Gerindra mengikuti arah angin itu. Dan Lustrilanang ketinggalan angin.
Tinggal Partai Demokrat (PD) dan Golkar yang masih bertahan. PD bergantung pada sikap SBY yang seperti biasanya plin plan. Tidak tegas menolak atau mendukung. Seharusnya ia dapat bersikap tegas sebagai ketua badan pembina PD, bukan sikap sebagai seorang presiden. Karena ia adalah pembina PD dan sekaligus juga presiden RI, maka ia jadi bingung sendiri.
Sementara itu, Golkar sebagai partai yang paling berpengalaman, seperti biasanya pula, bersikap oportunistis dan kompromistis. Kemana arah angin disitulah mereka berlayar. Sikap Golkar pun antara kedengaran dan tidak kedengaran. Pernyataan dari ketua umumnya belum terdengar hingga kini. Yang terdengar baru suara-suara terompet yang sumbang.