Citra PD runtuh setelah kader-kader utamanya terjerat korupsi. Diawali dengan Nazaruddin, (bendahara) dan diakhiri dengan Anas Urbaningrum (ketua umum) ditambah dengan Angelina Sondakh dan Sutan Batoegana. Dan yang paling mengenaskan adalah nasib Andi Mallarangeng (menteri pemuda dan olahraga) dan Jero Wacik (menteri energi dan sumber daya mineral) yang telah dijaring oleh KPK sehingga menambah terpuruknya citra SBY yang menjabat sebagai presiden Republik Indonesia dan ketua umum PD sekaligus. Dua-duanya kena.
Nasib sial itu tampaknya belum berhenti sampai disini. Tatkala muncul masalah yang paling krusial, malahan PD meninggalkan rakyatnya. PD yang bermakna partai yang demokratis telah menanggalkan demokrasi, sehingga namanya menjadi partai non-demokrat. PD dianggap sebagai pengecut yang paling tidak bertanggungjawab ketika melakukan walk-out pada sidang pari purna DPR, ketika suaranya dibutuhkan untuk memperjuangkan pilkada langsung, pilkada oleh rakyat.
Wajah PD telah tercoreng. Rakyat akan mengingatnya. Sejarah telah mencatatnya. PD bersama-sama dengan Golkar, Gerindra, PAN, PKS, dan PPP, telah merenggut demokrasi dari tangan rakyatnya sendiri. Hukuman mereka akan diterima pada pemilu 2019 yang akan datang. Dan barangkali nantinya PD bukan lagi berada di urutan keempat tetapi ketujuh atau kedelapan. Sungguh tragis!
PD yang menjadi kebanggaan SBY akhirnya menjadi semakin terpuruk. SBY sendiri sudah tidak punya arti apa-apa lagi bagi PD. Tuduhan bahwa SBY sedang bermain sandiwara untuk memperbaiki citranya dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU) untuk mengubah pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung, sulit untuk dipungkiri. Citra buruknya tidak bisa diselamatkan. Warisannya sebagai presiden adalah membiarkan demokrasi tanpa demokrasi. Sunnguh tragis!