Lebay? Mungkin bisa dikatakan ya, tapi inilah pembuka yang hangat yang memantik kenyamanan kita untuk sedikit gundah memperhatikan nasib petani, dalam konteks di sini petani yang menggarap sawah.
Penulis bertanya, petani itu apakah suatu pekerjaan yang enak? Kalau para pembaca menjawab “iya”, berarti Anda sudah siap untuk merasakan ‘enaknya’ menjadi petani. Proses ‘olah raga’ itu dimulai ketika petani menyiapkan lahan dengan membajak sawah, menabur bibit padi, menyemai,dan memanam satu per satu benih. Setelah tumbuh, petani harus menyiangi rumput yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya benih, kemudian ngrabuk (yang konon pupuk bersubsidi tetapi tetap saja harganya mahal) supaya tanaman subur dan menghasilkan banyak buliran padi. Belum lagi kalau hama menyerang, entah itu wereng lah, keong lah, burung emprit lah, tikus lah, ah sudahlah. Petani mau gak mau membutuhkan obat pestisida untuk menyemprot padinya supaya terbebas dari hama wereng, butuh membuat orang-orangan sawah dan setia menunggui padi dari ‘pencurian’ yang dilakukan oleh burung pipit. Dan juga, harus rajin gropyokan apabila ada hama tikus mengganas. Ibarat sekolah, petani ini mengalami banyak sekali ‘pekerjaan rumah’, ‘les tambahan’, dan juga ‘tes’ supaya dapat lulus sampai tiba waktu panen.
Pada waktu panen tiba pun, biasanya yang punya gawe akan dikerubungi buruh dadakan yang ikut “membantu” dan mau tidak mau petani mengeluarkan upah bawon. Sudah selesai? Ternyata belum. Petani harus menjamin gabah setelah dirontokkan harus kering benar supaya laku dan dihargai oleh para tengkulak. Berakhir? Belum juga. Petani harus menghadapi final examination, yaitu: harga gabah. Hal yang menyayat hati adalah apabila dengan pengorbanan yang demikian besar tersebut, harga gabah ternyata jatuh dan pada akhirnya malah tidak menutupi ongkos produksi.
Dengan bercermin kondisi yang demikian, penulis kadang berpikir, jika generasi penerus lebih memilih untuk mencari profesi baru yang lebih menjanjikan, lalu, apa yang terjadi kemudian dengan kelangsungan hidup profesi petani?
Pakdhe Ngatimin dan Paklik Sagiman adalah ‘sisa-sisa’ penduduk yang berkutat mempertahankan ‘tradisi’ di luar kebanyakan orang yang setelah lulus sekolah kemudian merantau ke kota. Mereka adalah ‘pewaris’ status agraris yangkonon masih melekat identitasnya atas negeri ini. Mereka adalah generasi penerus pendekar pangan di saat orang-orang lain yang ‘lebih pintar dan terpelajar’, yang karena entah punya kesempatan atau memang karena tidak punya lahan lagi, akhirnya, meninggalkan lumpur dan aroma harum busuknya jerami untuk mendapatkan jalan hidup yang ‘lebih mapan’ dengan mencari pekerjaan ‘terhormat’ di tempat yang lebih modern sebagai seorang: Buruh! Dengan profesi itulah, mereka menikmati ‘kenyamanan hidup’ berupa penghasilan teratur yang mereka terima setiap bulan, tanpa harus terpanggang sengatan matahari dan guyuran hujan.
Fenomena yang jamak terjadi ini sebenarnya tidak bisa lepas dari stigma yang melekat pada diri petani dan kondisi yang menyebabkan profesi ini sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan hal yang melelahkan, memprihatinkan, dan kurang menjanjikan. Walaupun tidak semua demikian, penulis yakin lebih banyak yang beranggapan seperti itu. Bahkan, kakek penulis pun ketika masih sugeng dengan berapi-api menceritakan perjuangannya ketika masih muda dalam membesarkan anak-anaknya, bercita-cita supaya mereka, anak-anaknya dan kelak cucu-cucunya (termasuk penulis), jangan sampai mengalami dan merasakan kesusahan hidup seperti dirinya melainkan menggapai hidup yang ‘lebih mulia’ dan menjadi ‘orang’. Dan benar saja, kegigihan kakek sebagai petani membiayai 7 anaknya meniti jalur sekolah sampai SLTA, sukses membawa mereka menjadi ‘orang’, dan satu dari antara mereka mungkin yang paling ‘rendah derajatnya’ adalah bapak penulis yang ‘hanya’ berprofesi sebagai seorang: Guru SD! Penulispun, karena ingin mencari jalan pintas, maka memilih untuk ikut pendidikan kedinasan yang mewajibkan bekerja pada institusi tertentu setelah lulus. Dan, jadilah kini penulis sebagai ‘buruh’ negara.
Baik. Mari kita tinggalkan cerita kakek saya, berganti ke hal yang menggelisahkan. Kegalauan penulis dimulai tatkala menelisik fakta yang sangat memprihatinkan ketika: generasi penerus terus-menerus berbondong-bondong ke kota; sawah-sawah terkonversi menjadi pabrik dan perumahan ibarat sawah thukul omah, bukan padi atau tanaman hijau lainnya; adanya permainan harga pupuk dan harga gabah panen, dan juga faktor alam yang tidak bisa dihindari karena musim yang tidak jelas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa akibat industrialisasi, terjadi pergeseran pola kependudukan. Pabrik-pabrik dan perkantoran yang bermunculan luar biasa banyaknya karena ‘undangan’ investasi dari pemerintah seakan melambai-lambaikan tangannya dan memberi harapan yang lebih kepada generasi muda akan hidup yang lebih mapan. Di sisi lain, pertumbuhan jumlah penduduk juga membuat lahan garapan semakin sempit. Sejurus, mulailah generasi penerus ini mengubah arah hidupnya, dan tragisnya, berbondong-bondong meninggalkan sawah. Yang tidak ikut arus ini, tentu tersisa dengan tetap setia menggarap sawah, bagi yang punya; atau menggarap sawah orang lain dan bekerja serabutan di desa supaya asap dapur tetap terjaga.
Berkurangnya generasi petani ini, entah di luar dugaan atau diperkirakan sebelumnya, ternyata sangat mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari hasil sensus yang dilakukan oleh BPS (Tempo, 2013) yang mengungkapkan data bahwa terjadi penurunan jumlah rumah tangga petani dari 31,17 juta rumah tangga pada tahun 2003 menjadi sekitar 26,13 juta rumah tangga pada tahun 2013. BPS menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. (Menghela nafas).
Bagaimana dengan 10 tahun ke depan, apakah kita dapat memprediksinya, ataukah nanti petani itu hanyalah tinggal sebagai ‘makhluk langka’ yang perlu dilestarikan di suatu ‘cagar alam’? Patut diingat bahwa hal ini sangat berbanding terbalik dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang dari tahun 2003 sampai 2013 saja tumbuh dari sekitar215 juta jiwa menjadi lebih dari 250 juta jiwa. Ironis memang, di tengah adanya peningkatan jumlah penduduk yang demikian besar dan membutuhkan ketersediaan pasokan pangan yang memadai, tidak diimbangi dengan pertumbuhan jumlah petani yang memproduksi pangan.
Pemerintah (apakah) sedang terlena dengan pertumbuhan ekonomi yang mapan, stabil, dan berkelanjutan, bahkan bertahan di tengah suasana krisis yang melanda kawasan regional dan global. Indonesia punya sumberdaya alam yang luar biasa yang menopang devisa dan anggaran negara. Apalah yang tidak bisa dibeli Indonesia dengan pertumbuhan yang bagus tersebut. Walhasil, impor pun membludak, termasuk: bahan makanan pokok! Negara (yang dulu) agraris, tetapi mengimpor makanan pokok? Tidak mengherankan, bahkan hal ini terjadi sejak era orde-orde sebelumnya. Namun, apakah yang telah dilakukan pemerintah selama ini untuk melindungi petani dan pangan nasional? Apakah dengan impor beras yang lebih murah dari biaya produksi beras dalam negeri?
Penulis, atau siapapun yang peduli akan nasib petani dan ketahanan pangan harus menahan napas dalam-dalam karena kondisi seperti ini cukup menyesakkan dada. Berbekal pengalaman hidup selama 2 tahun tinggal di negeri ‘Saudara Tua’, penulis dapat menggambarkan bahwa betapa enaknya menjadi petani di sana. Salah satu petani yang penulis kenal, Satoshi Wada, bahkan memiliki 2 mobil yang di sini pegawai pajak pun harus berpikir ulang untuk membeli Honda All New Jazz, dan satu lagi mobil mewah! Penulis hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Apa rahasianya? Ternyata profesi petani dan hasil pertanian sangat dilindungi oleh pemerintah Jepang. Harga beras dijamin tinggi oleh pemerintah, sehingga mereka memperoleh hasil yang memuaskan walaupun di beberapa daerah tertentu karena keterbatasan musim tanam, mereka hanya panen sekali dalam setahun. Para petani, yang rata-rata juga usia tua pun, menikmati profesi ini karena tidak melelahkan. Satu-dua hektar untuk menanam atau memanen hanya butuh hitungan kurang dari tiga jam, tidak lebih, dilakukan seorang diri atau dua orang. Pula, proses penanaman sampai panen pun dilakukan secara mekanik. Petani tinggal duduk manis di atas mesin, menyetting bibit padi muda, mesin dijalankan dan, tatdaaaa, benih akan ditanam secara otomatis. Panen pun demikian, petani tinggal naik traktor, menjalankan mesin, dan buliran padi pun akan tertampung di bagian traktor, dan jerami akan sendirinya tersisih dengan berhamburan keluar ditebas mesin. Menakjubkan sekali!
Sementara itu, di pelosok desa, menanam padi bisa membutuhkan 5 – 10 orang. Dengan berjajar, mereka bergerak menanam satu per satu benih semaian dengan jarak teratur. Demikian pula waktu panen. Bermodalkan alat tradisional berupa sabit, para pekerja memotong padi, mengumpulkan menjadi berkas-berkas, lalu dirontokkan secara manual untuk memisahkan buliran padi dari jerami. Hal ini biasa dilakukan dari pagi hari sampai sore hari. Demikianlah proses ini berlangsung, dari sejak jaman Majapahit belum ada perubahan yang berarti. Menyedihkan sekali!
Penulis berpikir, apakah tidak ada usaha pemerintah untuk mengubah situasi ini menjadi lebih baik? Penulis yakin ada, namun belumlah signifikan. Program yang sering terdengar adalah penemuan dan penggunaan secara massal bibit baru yang terkenal tahan hama dan menghasilkan bulir yang banyak. Tujuannya adalah tidak lain dan tidak bukan: untuk meningkatkan produksi. Namun, bagaimana dengan permasalahan sumber daya manusianya, apakah akan menutup mata apabila petani dalam kurun waktu satu periode mendatang akan habis? Atau bahkan kita juga latah dengan membuka kran impor tenaga petani dari negara-negara miskin untuk mengerjakan tanah kita? Ataukah terus-menerus mengimpor beras dengan dalih bahwa beras impor lebih murah dari pada beras lokal? Mengerikan sekali!
Pemerintah semestinya lebih peka memikirkan nasib petani ini. Patut dicamkan bahwa para petani ini adalah ‘makhluk’ yang paling sabar dalam menjalani profesinya. Walaupun gagal panen berkali-kali, pukulan harga gabah yang anjlok, lelahnya mengolah sawah, mereka tetap menjalani proses dan terus berkarya. Jika saja mereka seperti buruh manja yang banyak demo, mogok, dan menuntut, maka dapat dibayangkan apabila petani ini ‘ngambeg’. Stok pangan habis, harga makanan pokok mahal, devisa negara jebol, dan lain-lain, dan pada akhirnya, adalah suatu keniscayaan kalau bangsa ini bakal runtuh, hanya karena tidak punya ketahanan produksi pangan.
Ah, semoga tidak, karena ini adalah kegalauan hati penulis. Dan apabila ditanya untuk memilih: menjadi Menteri Keuangan atau Menteri Pertanian, penulis lebih mantap menjawab: Menteri Pertanian!
*a Samurice, seorang buruh negara yang masih punya ‘spirit’ petani!