Tjiluwah
Mia Jamila
Raisa telah mengajukan pengunduran diri dari tempatnya bekerja selama tujuh tahun di suatu Bank terkenal di Jakarta. Ia harus mengikuti penempatan pertama suaminya sebagai pegawai Departemen Luar Negeri di luar negeri tepatnya di Peking (Beijing), Republik Rakyat Cina.
Raisa teringat kembali kepada pembicaraan nenek dan kakeknya yang ia panggil Eni dan Engki ketika Raisa masih duduk di Sekolah Dasar di Bandung pada tahun 1940.
Engki memotong kuku kaki Raisa dan langsung memanggil Eni.
"Eni, lihat kaki anak ini, ada tahi lalat di mata kakinya dekat tumit," kata Engki sambil menunjuk ke kaki Raisa.
 "Anak ini akan pilampereun," kata Eni sambil memegang kaki Raisa.
"Apa itu pilampereun, Ni?" tanya Raisa.
 "Biasanya kalau ada tahi lalat di kaki, nanti kalau sudah besar akan pergi jauh," kata Eni menjelaskan.
"Pergi jauh ke mana, Ni?" tanya Raisa kembali.
 "Pergi ke Sumatera," kata Eni memberi contoh.
Raisa pun tidak berpikir apa-apa karena belum  memahami antara tahi lalat dan pergi jauh.
Pada kenyataannya Raisa akan pergi jauh, lebih jauh dari pulau Sumatera.
Tahun 1957, ketika transportasi udara belum ada dari Jakarta ke Peking RRC. Perjalanan dinas keluar negeri harus menggunakan kapal laut dengan rute Jakarta-Singapore -Hongkong, kemudian dari Hongkong ke Peking menggunakan kereta api. Menggunakan kapal laut berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Raisa mempersiapkan segala sesuatu untuk suami dan kedua putranya yang masih balita. Untuk memudahkan dalam keberangkatan Raisa dan keluarga bermalam di rumah dinas Angkatan Laut Tanjung Priok. Rumah ini tidak ditempati oleh kakak Raisa yang berdinas sebagai bidan di Rumah Sakit Angkatan Laut Bendungan Hilir. Keluarga besar Raisa yang memang tinggal di Jakarta bersama-sama menginap di rumah, ada ibunda Raisa, kakak-kakak dan adik-adik. Mereka semua ingin mengantar Raisa dan keluarga.
Tiba waktu keberangkatan di Pelabuhan Tanjung Priok, hiruk pikuk pengantar dan penumpang kapal laut  bernama "Tjiluwah".  Perpisahan itu memang menyedihkan tapi tetap harus dijalani. Setelah berpeluk cium dengan ibunda dan keluarga  memohon doa untuk keselamatan keluarganya. Mereka berempat naik ke kapal penumpang yang sangat besar dan menempati kabin kamar yang di dalamnya ada dua tempat tidur bertingkat.
Kapal laut penumpang "Tjiluwah" mengangkat  jangkar dan meniupkan  sirene tanda kapal berangkat. Selama perjalanan dari Jakarta ke Singapura, keluarga Raisa banyak dihabiskan di kamar saja. Walaupun di kapal laut  penumpang itu ada fasilitas ruang makan tetapi keluarga Raisa hanya memesan saja untuk diantar ke kamar. Sarapan, makan siang  makan malam dan anak-anaknya masih balita bermain dilakukan di kamar. Hanya sekali-sekali suami Raisa yang dipanggil Doni keluar kamar ke buritan untuk mencari udara segar.
Dua hari berlayarnya kapal laut "Tjiluwah" tiba di Singapura untuk bersandar selama dua malam. Pada sore hari menjelang malam, datanglah seorang perwakilan dari Konsul Jenderal Indonesia di Singapura yang disapa Pak Rahmat langsung mengajak keluarga Pak Doni.
"Ayo kita jalan-jalan lihat Singapura berkeliling pulau."
Keluarga Pak Doni langsung setuju dan mereka naik ke mobil Pak Rahmat. Waktu mobil Pak Rahmat akan berputar balik sambil berkata.
"Singapura hanya sampai di sini saja," jelas Pak Rahmat.
"Apa hanya sampai sini saja kotanya?" tanya Raisa heran.
Rasanya baru naik mobil sudah harus kembali lagi ke pelabuhan. Tidak ada yang bisa dilihat karena suasana kotanya yang gelap, tidak bisa lihat apa-apa. Begitulah suasana kota Singapura di tahun 1957 masih sangat sepi dibandingkan dengan Jakarta yang lebih ramai.
Setelah tiga hari dua malam di Singapura kapal laut 'Tjiluwah" Â kembali mengangkat jangkarnya dan terdengar sirene kapal tanda keberangkatan. Seperti hari-hari sebelumnya aktifitas keluarga Raisa ada di kamar kabin, kegiatan makan dan anak-anak bermain. Beberapa hari ke depan merupakan perjalanan yang berat karena kapal laut "Tjilu wah" masuk ke perairan laut Cina Selatan yang gelombangnya sangat tinggi benar-benar mengocok perut dan membuat sakit kepala. Raisa, Doni dan si sulung Edwin terkena yang dinamakan mabuk laut, benar-benar sangat menyiksa, tetapi putra ke duanya Yosa tetap saja bermain tanpa kena mabuk laut.
Beberapa hari diombang-ambing gelombang laut Cina Selatan ketika dari kejauhan tampak daratan kota Hongkong seperti akan mendapatkan segunung emas. Akhirnya ketemu juga yang disebut daratan bumi berpijak. Kapal laut "Tjiluwh" tidak bisa bersandar seperti di pelabuhan Jakarta dan Singapura jadi seluruh penumpang diangkut menggunakan sekoci ke daratan Hongkong. Pada saat itu belum masuk ke musim panas masih bulan Maret  jadi udaranya masih sangat dingin bagi orang-orang dari daerah tropis.
"Selamat tinggal Tjiluwah, engkau telah mengantarkan aku pergi jauh," kata Raisa
dalam hati, di dalam sekoci Raisa sekali-sekali melihat kembali ke kapal yang sangat besar dan megah pada zamannya.