Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Sepotong Kaos, Sejuta Cerita

23 September 2009   00:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:42 297 0
Pada mulanya kecemburuan, lalu ikhtiar. Blitar adalah wilayah tua meski letaknya jauh dari pesisir utara Jawa yang dalam konteks sejarah senantiasa lebih berkembang ketimbang wilayah selatan. Tapi ada Sungai Brantas yang membelah wilayah ini, memanjang dari timur ke barat. Sungai besar selalu jadi jalur transportasi penting di masa lalu. Ia menghubungkan orang-orang dari wilayah pedalaman dengan peradaban di kota-kota pesisir yang seringkali lebih dulu bersentuhan langsung dengan mancanegara. Lalu-lintas gagasan di Blitar, juga peradaban, terbantu oleh sungai. [caption id="attachment_36" align="alignleft" width="250" caption="PRASASTI BALITAR I - Kini tersimpan di pendapa Kabupaten Blitar. foto: DJALOE"][/caption] Pada 5 Agustus 2009 lalu, Blitar berulangtahun ke-685. Ini merujuk hasil pelacakan tim sejarahwan tahun 1976 yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Blitar. Disebutkan, titi mangsa 5 Agustus 1324 itu termaktub dalam Prasasti Balitar I yang mencatat Blitar menjadi daerah swatantra. Kata ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti daerah yang mengurus rumah tangga sendiri. Di India, ada partai politik bernama Partai Swatantra yang didirikan oleh Chakravarti Rajagopalachari pada Agustus 1959. Pada konteks sekarang, swatantra hampir semakna dengan bebas, independen atau otonom. Kota tua, peradaban tua... Tapi masa lalu Blitar itu terasa sangat jauh karena tidak melimpahnya catatan tentang Blitar tempo doeloe. Ini berbeda sama sekali dengan kota-kota tua lainnya di Nusantara. Istilah tempo doeloe dalam naskah ini merujuk pada periode kolonial, bukan era kerajaan-kerajaan besar. Untuk periode kerajaan, jejak-jejak peradaban tua di Blitar justru masih bertebaran di berbagai tempat. Salah satunya Candi Palah Panataran di Nglegok yang bukan saja tempat pemujaan tapi juga pusat studi intelektual keagamaan. [caption id="attachment_37" align="alignleft" width="250" caption="RADEN WIJAYA - Semula di Blitar, kini di Museum Nasional, Jakarta. foto: wikipedia"][/caption] Contoh lainnya, Candi Simping di Sumberjati yang menyimpan patung perwujudan Raden Wijaya atau Nararya Sanggramawijaya atau Sri Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Majapahit pada 1293 hingga lengser tahun 1309. Patung elok itu sekarang tersimpan di Museum Nasional atau populer sebagai Museum Gajah di sebelah barat Tugu Monumen Nasional, Jakarta. Jejak peradaban tua tentang Blitar tidak hanya tertuang dalam bebatuan tapi juga buku. Satu-satunya buku yang terkenal adalah Negarakretagama, sebuah magnum opus dari sarjana-cendikiawan-pujangga-wartawan masa Majapahit, Mpu Prapanca. Kini, salinan kitab itu terpacak di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, disadur oleh Ida I Dewa Gdhe Catra dengan huruf dan bahasa Jawa kuna bentuk kakawin. Kitab ini menceritakan kerajaan Majapahit dari abad XII Masehi sampai abad XIV Masehi. Ada bab yang mengisahkan Hayam Wuruk bersafari ke Candi Palah Panataran pada 1357 Masehi dan 1361 Masehi. Cerita tentang Blitar era kerajaan mewariskan catatan berharga. Ini tentu sangat menarik bagi pelancong yang melihat batu berukir bukan semata karena keindahan bentuknya tetapi juga karena mengetahui latar ceritanya. Kita sebut saja pelancongan semacam itu sebagai pariwisata intelektual.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun