Presiden RI berkunjung ke Maluku pada awal Mei ini. Bila banyak yang bertanya bagaimana hasilnya? Maka jawaban saya sederhana. Louhenapessy menanggung malu sementara Assagaf tertunduk layu. Kedua nama di atas adalah Kepala daerah sekaligus tokoh kunci dalam membangun komunikasi politik tinggkat tinggi. Dan dalam pandangan saya, Gubernur Maluku & Walikota Ambon telah gagal untuk memanfaatkan moment penting tersebut. Sedangkan Jokowi pusing mikirin solusi Maluku.
Saya akan menyandarkan argumen ini berdasar pada analisis (Semantik Lingustik) dalam sambutan Jokowi pada acara pembukaan APEKSI. Dan pendekatan komunikasi politik (Marketing Politik) antara kepada daerah dengan Presiden dalam membangun ikatan emosional-visoner.
Louhenapessy Menanggung Malu
Pada sambutan Presiden dalam acara Rakernas Asosiasi Pemerintah Kota se-Indonesia (Apeksi), ada dua hal yang menjadi sorotan utama. Yaitu, tentang karakteristik kota dan pembangunan-penataan kota. Di hadapan 97 Walikota se-Indonesia, Jokowi menyampaikan bahwa mestinya setiap kota memiliki identitas dan karakter. Misalnya mau fokus di kota maritim, atau kota hijau, atau agropolitan, atau mau konsentrasi di mycity, smart city atau heritage city.
Ini argumen yang cukup jelas, sekaligus kritik yang pedas. Karena pada banyak kasus, pembangunan kota atau salahurus kota justru telah menghilangkan identitas atau karakteristik kota itu sendiri. Sebagai mantan Walikota, Jokowi mengerti betul bagaimana membangun kota yang maju dan berkarakter. Bahwa kemajuan kota bukan semata diukur dari pembangunan fisik saja. Tetapi harus pula sesuai dengan karakteristik alam (geografis) dan identitas manusia (sejarah-budaya) kota tersebut.
Misalnya, Kota Sawahlunto. Kota ini dulunya adalah bekas pertambangan batu bara kolonial pertama di Nusantara. Kehadiran tambang ketika itu, seketika mengubah Sawahlunto dari desa kecil menjelma kota, lengkap dengan cerita penindasan dan tragisnya hidup masa penjajahan. Atas dasar historis itulah Sawahlunto membentuk identitas sebagai Kota Pusaka Tambang. Hasilnya sangat positif, kini Sawahlunto menjadi salah satu kota wisata utama di Sumatra dan mencuri perhatian wisatawan dalam dan luar negeri.
Lantas, bagaimana dengan Kota Ambon? Begini penilaian Jokowi: "Seperti di Ambon, dengan teluk yang sangat indah, kita harus mempunyai keberanian untuk menata teluk yang ada, pantai, kanan kiri teluknya. Jangan sampai kedahuluan misalnya oleh PKL dan rumah-rumah. Inilah pentingnya bekerja detail," begitu kata orang nomor satu di Republik ini.
Saya sebagai yang awam menerjemahkan ungkapan Jokowi seperti ini. Mungkin Presiden hendak mengingatkan bahwa Ambon itu punya potensi menjadi Kota Teluk, kota pesisir mirip Singapura. Karena punya alam yang aduhai, pantainya bagus, teluknya indah, dan lautnya biru. Tapi kenapa potensi tersebut tidak dioptimalkan oleh pemerintah daerah. Malah lebih fokus ngurusin administrasi. Akhirnya, pantai yang indah diduduki PKL, pembangunan rumah tidak tertata. Hasilnya teluk tercemar.
Pada lain pihak, kota Ambon gencar melakukan promosi wisata. Seperti agenda wisata “mangente Ambon”, lalu apa yang bisa dinikmati dari kota ini kalau tata kotanya amburadul dan keindahanya malah dicemari oleh warga kotanya sendiri. Jika dinormalisasi akan butuh waktu lama, tenaga ekstra dan biaya yang lebih besar. Mengutip kata Presiden, “Ini pemerintah daerah takut atau tidak bisa kerja detail?”.
Ini kritik sangat keras dari Presiden. Bayangkan suasana batin Walikota. Mungkin campur aduk, dan yang pasti malu. Karena Ambon selaku tuan rumah telah mendapat predikat gagal oleh Presiden di hadapan 97 Walikota Se-Indonesia. Saya sadar bahwa menata dan membangun kota tidaklah mudah. Saya juga telah melihat usaha dan upaya pemerintah kota yang cukup bagus. Meskipun ada beberapa yang masih dalam proses dan belum optimal. Kurang adil bila Walikota harus menanggung ini semua. Ada juga warga kota yang masih bandel dan keras kepala, susah berkompromi dengan pemerintah, tidak tertib aturan dan mencemari lingkungan.
Usulan saya untuk membentuk karakter-identitas (Brand) kota Ambon, maka Pemerintah kota harus mulai berfikir ulang. Apakah Ambon adalah City Of Music atau Ambon adalah Water Front City. Atau ada tawaran alternatif lain.