Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Pidato Calon Walikota

28 November 2013   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 508 0


Di atas meja masih tergeletak dua lembar kertas yang mesti ia hafal. Seharian ia berjuang untuk menaklukan baris demi baris kertas itu. Kini, ia menyeruput kopi untuk menghadang rasa kantuk yang mulai menyerang. Malam segera akan berganti dini hari, dan Sabarno mesti berlatih lagi. Besok seorang penasehatnya akan melihat perkembangannya. Maka, setelah, menyeruput kopi buatan istri, ia kembali memungut lembaran kertas itu, dan mengepalkan tangannya.

“Ingat, Pak, jangan pernah meremehkan pidato!”. Kata penasehatnya, suatu kali sesaat setelah ia memberikan sambutan pada peresmian pencalonannya menjadi walikota. Penasehatnya memberi wejangan yang tajam gara-gara dalam sambutannya itu ia melakukan kesalahan yang fatal. Bagaimana tidak, ia membaca begitu saja sapaan “Yth” yang semestinya ia ucapkan “Yang terhormat”. Entah, karena grogi atau karena tak menyiapkan diri, ia bisa melakukan itu. Bisa jadi sekretarisnya juga memberikan kertas pidato itu terlambat. Setidaknya, ia lebih beruntung karena tidak membaca apa adanya tulisan “Bapak2, ibu2”. Pasti orang akan tertawa terbahak-bahak, bila ia tanpa bersalah mengucapkan sapaan seperti ini: Yth Bapak dua, ibu dua. Namun, kesalahan menyebut kata sapaan yang pertama itu cukup membuatnya bertekuk lutut di hadapan penasehatnya yang ahli pidato itu.

“Politik itu, pak, adalah seni mempengaruhi orang. Dan, pidato adalah salah satu perangkat utamanya. Yang menguasai kata-kata itulah yang akan berkuasa.” Dengan gaya teatrikal penasehatnya menjelaskan. Sabarno mengangguk, terkesima akan penjelasan yang menyakinkan itu.

“Bapak harus tahu bahwa pidato itu adalah seni menyihir massa. Dengan kata-kata, di depan senat Roma, Cicero membongkar persengkongkolan Catilinia. Dengan kata-kata, Bung Karno membakar amarah massa dan siap berperang dengan negeri tetangga. Dengan kata-kata pula, Bung Tomo menyihir arek-arek Surabaya menjadi beringas, tanpa ragu mengangkat senjata melawan sekutu.”

Sabarno hanya bisa berdehem lembut menyambut penjelasan penasehatnya yang makin tak bisa disangkal. Sesaat Sabarno membatin, barangkali penasehatnya ini memang sengaja dikirim Tuhan untuk membantunya menuju kursi wali kota. Ia pun patuh dengan apa saja yang disarankan oleh penasehatnya itu. Ia tak menolak ketika diminta menghafalkan kata-kata asing. Konon, kata asing membuat kita terlihat cerdas, dalih penasehatnya. Ia pun tak menolak ketika penasehatnya membawanya ke pantai. Penasehatnya ingin menguji apakah suara lantang Sabarno sudah mampu membelah debur ombak dan angin pantai. Pun juga ketika Sabarno diminta menyamar jadi pedagang asongan hanya sekedar mengetes suara kerasnya beradu dengan jerit kendaraan yang berlalu lalang. Ia selalu tunduk kepada penasehatnya sebab ia percaya penasehatnya adalah kiriman Tuhan.

Sabarno makin giat berlatih berpidato. Dalam acara apa pun, lewat orang kepercayaannya, ia berusaha memperoleh kesempatan untuk memberi sambutan. Entah itu acara peringatan kemerdekaan di kampung, pertemuan PKK, pesta pernikahan atau pun sunatan anak salah satu tetatangganya. Dan, tiap kali habis memberi sambutan, di rumah, penasehatnya sudah siap dengan aneka teori sebagai evaluasi pidatonya.

Pernah ia dicerca habis-habisan oleh penasehatnya, karena pidatonya dianggap mengecewakan. Tetangganya, seorang ibu yang kurang mampu tiba-tiba ditimpa nestapa. Suaminya, yang sehari-hari jadi tukang ojek itu mati mengenaskan karena duel dengan para penjahat yang ingin merebut motornya. Dengan mengharu biru ia nyatakan bela sungkawanya kepada keluarga itu. Ratusan pasang mata mengawasinya. Beberapa wartawan lokal mencatat apa yang ia katakan. Orang-orang lawan politiknya, juga hadir sebagai mata-mata. Orang-orang kepercayaan Sabarno bukan main senang dengan momen ini. Mereka berkali-kali mengabadikan momen Sabarno berpidato di samping ibu dan anak-anaknya. Belasan kilat yang dari aneka kamera itu siap mewartakan bahwa Sabarno dekat dengan orang kecil. Sabarno peduli dengan orang kecil. Ia pun mengaduk-aduk perasaan tamu yang sebagian besar adalah pendukung Sabarno sendiri dengan pidato yang dibuatkan oleh sekretarisnya semalam.

“Mestinya bapak tak perlu berkali-kali menyebut kata ‘prihatin’!”. Mulailah penasehatnya mengevaluasi. “Kata prihatin yang terlalu banyak diucapkan itu terkesan palsu, dan dibuat-buat, apalagi yang mengatakan seorang pejabat. Bapak tahu bedanya orang yang mudah terharu dan tergerak hatinya khan? Konon, orang yang mudah terharu akan merogoh sapu tangannya lebih dahulu ketika melihat kemiskinan di depan matanya. Tetapi, berbeda dengan orang yang mudah tergerak hatinya. Melihat kemiskinan di depan matanya, ia akan merogoh dompetnya. Nah, kalau berkali-kali Anda menyebut kata ‘prihatin’, itu berarti sama saja Anda mengambil sapu tangan Anda, dan tak ada artinya bagi penderita. Semestinya bapak cukup memerintahkan orang bapak untuk memotret bapak ketika mengendong anak yatim yang kurang gizi itu dan mengatakan: saya akan membiayai sekolahnya sampai perguruan tinggi.”

Begitulah yang terjadi di rumah setiap Sabarno habis berpidato. Penasehatnya akan memberi masukan yang panjang dan memberi pujian tiap kali pidatonya yang dirasa memuaskan. Meski demikian, Sabarno tak jenuh untuk berlatih. Tangannya pun bergerak sesuai isi pidatonya. Kadang mengepal, kadang menunjuk, dan kadang pula melebar.
Demikian malam itu. Ia terus berlatih hingga dirasa tubuhnya telah letih. Ia akan mengulang satu dua kalimat yang terasa janggal intonasinya. Pelan-pelan ia menutup lembaran kertas itu, dan mulai lagi berpidato, berpidato lepas teks. Malam itu seperti malam yang lain, ia persembahkan waktunya untuk kata-kata.

** *

“Mohon diingat, pak, pidato adalah sumber dan puncak politik. Rencana dan visi dirumuskan dalam kata-kata. Sebaliknya, evaluasi dan tinjauan dirangkum dalam kata-kata.” Begitu penjelasan penasehatnya sebagai penutup komentar atas kemajuan pidatonya. Sekali lagi penjelasan penasehat itu tak bisa ia bantah. Siapa berani membantah, kepada utusan Allah, begitu pikirnya.

Karena meletakkan pidato sebagai sumber dan puncak politik, Sabarno tak pernah lalai memberikan komentarnya barang sedikit saja. Di mana pun ia berada. Selepas berkunjung pada sebuah daerah yang sebagian besar penduduknya dikenal preman misalnya, tak lupa ia berpidato singkat. “Bangsa kita butuh preman, dalam arti free man, yaitu lelaki yang bebas berkarya untuk bangsa.” Ketika mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan, ia pun menyetir kata-kata hebat Goethe, “kita harus berubah, memperbaharui diri, dan meremajakan diri kalau tidak, kita akan membatu.” Sesungguhnya, Sabarno tak tahu siapa itu Goethe, tetapi nama itu ada dalam diktat yang diberikan oleh penasehatnya.

Di mana-mana tiap kali kunjungan, ia selalu meninggalkan jejak pidatonya serupa kata-kata mutiara. Kalau kata-kata mutiara ini dikumpulkan barangkali ia akan mengalahkan motivator hebat yang dimiliki bangsa ini. Tiap kali kunjungan, pidatonya pasti khas sesuai dengan keadaan lapangan. Ya, kunjungan. Konon, program kunjungan ini adalah ide dari penasehatnya. Tentu saja pembaca tahu siapa sebenarnya pencetus ide kunjungan atau disebut “blusukan” ini. Penasehatnya mengaku mencontoh begitu saja model ini sebab dirasa ampuh untuk mengangkat citra. Kata penasehatnya, kunjungan mampu menambah pembendaraan kata-kata pidatonya. Jadi, kunjungannya itu menjadi bahan pidatonya.

Namun, suatu kali, penasehatnya geram bukan main ketika Sabarno “blusukan” atau istilah mereka “kunjungan” ke sebuah SD. Di sana Sabarno sempat marah hanya gara-gara seorang murid tertidur saat ia berpidato. Penasehatnya mengatakan mestinya Sabarno tak perlu marah. “Cukup katakan kepada media bahwa anak-anak pun nyaman di dekat Anda, tak takut tidur meski Anda sedang berpidato. Bukankah itu menambah citra Bapak?”

Yang lebih membuat marah penasehatnya adalah ketika Sabarno mengakhiri pidatonya. Awalnya ia berkata-kata penuh percaya diri, “Anak-anak, kalian tahu dunia fantasi? Ya, disney. Sebagai penutup pidato, bapak akan mengutip kata-kata Walt Disney, pendiri Dunia fanstasi itu. Begini katanya: jika kau dapat memimpikan sesuatu, kau akan dapat melakukannya!” Kata-kata ini sungguh mengena bagi anak-anak sebenarnya. Sampai di sini penasehatnya setuju. Namun, selesai mengatakan itu, Sabarno mengambil gitar dan mengajak anak-anak untuk bernyanyi. Nah, inilah yang membuat penasehatnya marah.

“Berpidato sambil main gitar itu sungguh tak masuk akal, Pak.” Kata penasehatnya dengan nada tinggi. “Dalam benak anak-anak tak ada sedikit pun gambaran pemimpin itu seorang satria bergitar. Satria bergitar itu hanya ada dalam benak orang zaman romantisme. Bahkan, di zaman romantisme, isak tangis pun terasa manis. Janganlah, Bapak, mengorbankan wibawa hanya untuk terlihat mempunyai darah seni. Hobi bapak bermain gitar ini adalah cela bagi lawan-lawan politik untuk menyerang bapak. Nanti kalau sudah jadi walikota, apakah persoalan masyarakat bisa diselesaikan dengan membuat sebuah lagu?”

Sabarno mencerna kata-kata penasehatnya dan menyimpan dalam hatinya. Ia merasa diajari berpidato oleh penasehatnya. Diajari lewat praktek langsung. Ia tidak patah semangat. Justru ia makin dikuatkan untuk menjadi walikota yang mahir berkata-kata.

Sementara hari H pemilihan makin mendekat. Tim suksesnya berusaha memenangkan pemilihan walikota ini. Demikian juga tim sukses lawan-lawan politiknya. Sudut-sudut kota menjadi kumuh karena gambar-gambar calon walikota. Pohon-pohon pun disiksa dengan tempelan-tempelan gambar yang tentu saja membuat aktivis lingkungan menjadi geram.

Beberapa kali TV lokal mengundang para kandidat walikota ini untuk berdebat. Tentu saja dalam bidang ini, Sabarno menguasai. Sesuai ajaran penasehatnya, Sabarno membungkam lawan-lawan politiknya. Membungkam yang dimaksud di sini adalah membuat bingung. Ya, bingung karena Sabarno terlalu banyak mengutip kata-kata tokoh terkenal tanpa sambung dengan substansi perdebatan. Namun, penasehatnya sangat bangga karena Sabarno terlihat seperti macan di medan perdebatan.

Malam hari H-1, suasana kota semakin panas. Seluruh warga menanti siapa yang akan menang pada pemilihan besok hari. Beberapa politikus memberikan peringatan kalau terjadi serangan fajar. Sebagian tokoh masyarakat menghimbau masyarakat untuk berpikir kritis. Sebagian anggota keamanan siap mengamankan TPS. Riuh suasana di TPS nampaknya sama dengan riuh perasaan dalam dada para calon walikota.

Sebenarnya, sebagian besar sudah menduga siapa yang akan menang dalam pemilihan besok. Seorang calon telah berhasil memikat warga dengan program-program yang masuk akal. Apalagi, lembaga survei lokal telah menempatkan ia pada urutan pertama. Tentu saja, dia bukan Sabarno.

Sesungguhnya, tim sukses pemenangan Sabarno was-was dengan calon kuat lawan Sabarno itu. Tim mereka menyiapkan diri apabila Sabarno kalah. Penasehatnya pun nampaknya tahu bahwa Sabarno akan kalah. Dan, seperti kebanyakan orang yang selalu cari keuntungan pada kekuasaan, ia pun siap pindah halauan merapat pada calon yang menang.

Lalu, bagaimana dengan Sabarno sendiri? Malam itu, sesuai petunjuk penasehatnya, ia masih berlatih berpidato dengan suara menggelegar. Ya, sebuah pidato untuk kemenangannya besok!
Ketika politik makin bising,
Jogja, Oktober 2013
@Djagadlelanang

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun