Di tengah kerumunan kota yang ramai, Johan, masih dengan pakaian Cakilnya, menggaruk kepala sambil berkata, "Kenapa aku bisa sampai di sini? Bukankah aku seharusnya sedang menari di atas panggung?"
Bagas tertawa kecil sambil menepuk punggung Johan. "Kamu pasti menarik perhatian dengan pakaian itu. Lihat, orang-orang mengira kamu badut jalanan!"
Saskia pun ikut tersenyum, "Yah, setidaknya kita mendapat sedikit uang receh," katanya sambil mengangkat beberapa koin yang dilemparkan orang-orang ke arah Johan.
Namun, di tengah canda dan tawa itu, Raka tampak gelisah. Pikirannya terus-menerus dipenuhi bayangan Sinta yang ditawan oleh Ibu Malam. Ia merasa tak bisa lagi menunggu. Tanpa memberitahu siapa pun, ia memutuskan untuk bertindak sendiri.
"Aku akan mencari Sinta," gumam Raka pelan, nyaris tak terdengar oleh Bagas dan Saskia. Ia memperhatikan sekelilingnya dan melihat sungai yang mengalir deras di dekat mereka. Tanpa ragu, ia melepas bajunya, lalu melompat ke dalam air dan mulai berenang menuju istana Ibu Malam yang tersembunyi di Kota Asmara.
Sementara itu, Bagas dan Saskia mulai merasa khawatir. "Kamu lihat Raka?" tanya Saskia, matanya mengedar mencari sosok yang tak juga muncul.
Bagas menggeleng. "Mungkin dia sudah bergerak sendiri untuk menemukan Sinta. Tapi kita juga harus melakukan sesuatu. Masih ada rahasia yang harus kita ungkap."
Saskia terdiam sejenak, mengingat sesuatu. "Bagas, kamu ingat tulisan di tubuh Surya?"
Bagas mengangguk. "Ya, tulisan itu. Aku ingat bagian yang berada di dadanya, di dekat tanda lahir yang aneh itu. Ayo kita cari tahu lebih lanjut."
Mereka menemukan tempat yang tenang di kota dan mulai membuka catatan yang mereka buat tentang tubuh Surya. "Bagian ini," kata Bagas, menunjuk pada gambar kasar yang ia buat, "tulisan ini tampaknya berbicara tentang cara membunuh Ibu Malam."
Saskia menatap tulisan itu dengan seksama. "Tulisan kuno ini... sepertinya mengacu pada ritual tertentu. Tapi yang paling aneh, syaratnya adalah dua orang dengan tanda lahir yang sama."
Bagas berhenti sejenak, lalu membuka baju bagian atasnya, menunjukkan tanda lahir yang ia miliki di dadanya. "Saskia, kamu punya tanda yang mirip, bukan?"
Saskia ragu-ragu sejenak, lalu membuka sedikit bagian atas bajunya untuk menunjukkan tanda lahir yang serupa. "Bagaimana mungkin? Apakah ini berarti... kita yang harus melakukannya?"
Bagas mengangguk. "Sepertinya begitu. Kita berdua mungkin adalah kunci untuk menghancurkan Ibu Malam selamanya. Kita harus mencari tahu bagaimana melakukan ritual ini."
Saskia merasa perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia takut akan apa yang harus mereka lakukan, tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar menghubungkan mereka berdua. "Bagas, aku takut... tapi kita harus mencoba."
Di tempat lain, Raka telah sampai di istana Ibu Malam. Ia menyelinap masuk melalui salah satu jendela yang terbuka. Dengan hati-hati, ia bergerak menuju ruangan tempat Sinta ditawan. Di sana, ia melihat Sinta, duduk terikat di sebuah kursi, wajahnya pucat tetapi tetap menunjukkan ketegaran.
"Sinta," bisik Raka, mendekat sambil mengintip ke arah pintu, memastikan Ibu Malam tidak ada di sekitar.
"Raka?" Sinta membalas dengan suara lemah. "Bagaimana kamu bisa sampai di sini?"
"Aku akan membebaskanmu," jawab Raka sambil melepaskan ikatan di pergelangan tangan Sinta. "Kita harus segera pergi sebelum Ibu Malam kembali."
Namun, saat mereka hendak keluar, suara tawa jahat bergema di seluruh ruangan. Ibu Malam muncul dari bayang-bayang, matanya menatap tajam ke arah mereka. "Kalian berpikir bisa kabur dariku?"
Raka langsung memposisikan dirinya di depan Sinta, melindunginya dari Ibu Malam. "Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Sinta!" serunya.
Ibu Malam tersenyum sinis. "Kau bodoh, Raka. Kau bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sinta adalah bagian dari takdirku. Dan begitu juga dirimu."
Sinta meremas tangan Raka, matanya penuh ketakutan. "Raka, kita harus pergi sekarang!"
Tanpa berpikir panjang, Raka menciptakan gangguan dengan menjatuhkan barang-barang di sekitar mereka, membuat kebisingan yang memecah konsentrasi Ibu Malam. Di saat yang sama, mereka berlari keluar dari istana dengan kecepatan penuh.
Namun, di luar, mereka terjebak di tepi sungai yang dalam. "Tidak ada jalan keluar," kata Sinta dengan suara panik.
Raka memutar otak dan tiba-tiba menemukan solusi. "Kita harus berenang melintasi sungai ini. Percayalah padaku, Sinta. Aku akan membawamu keluar dari sini."
Dengan Sinta di pelukannya, Raka melompat ke dalam sungai dan berenang dengan sekuat tenaga, menjauh dari bahaya. Namun, mereka tahu, ini belum berakhir. Ibu Malam pasti akan mengejar mereka lagi, dan kali ini, mereka harus menemukan cara untuk menghentikannya untuk selamanya.
Sementara itu, Bagas dan Saskia berdiskusi dengan serius tentang tulisan di tubuh Surya. Mereka tahu bahwa ritual yang diperlukan untuk membunuh Ibu Malam melibatkan lebih dari sekadar keberanian; itu membutuhkan pengorbanan dan keyakinan.
"Aku percaya kita bisa melakukannya, Bagas," kata Saskia sambil menggenggam tangan Bagas erat. "Kita harus melindungi Raka dan Sinta, apapun yang terjadi."
Bagas mengangguk, merasakan tanggung jawab yang berat di pundaknya. "Aku juga percaya. Kita harus segera menemukan mereka dan menyelesaikan ini."
Namun, jauh di dalam hati, mereka tahu bahwa pertempuran terbesar mereka baru saja dimulai.