Wacana pemindahan ibukota negara kembali mengemuka beberapa waktu lalu, setelah timbulnya berbagai persoalan yang menimpanya, mulai dari kemacetan, banjir, sampai kepada permukaan tanah yang semakin menurun akibat abrasi. Berbagai lokasipun mulai diusulkan, mulai dari Jonggol hingga Palangkaraya untuk mengantisipasi pemindahan tersebut. Namun berdasarkan perhitungan teknis, biaya pemindahan ibukota tersebut dapat mencapai sekitar 300 Trilyun Rupiah. Suatu jumlah yang amat besar bila ditinjau dari kebutuhan negara lain yang lebih mendesak. Namun bila wacana tersebut ingin segera diwujudkan, ada beberapa alternatif pemindahan lokasi ibukota. Salah satunya adalah Maja yang terletak di Kabupaten Lebak, dekat dengan Rangkasbitung, dan dari Jakarta berjarak sekitar 60 Km. Kota Maja merupakan sebuah kecamatan kecil yang pada awalnya direncanakan sebagai kawasan permukiman skala besar pada tahun 1994, dengan tujuan untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk Jakarta yang semakin melebar ke daerah sekitarnya. Konsep kota ini pada awalnya akan dibangun seperti BSD dengan istilah Kota Keberabatan Maja (Maja Neighborhood City) dengan luas lahan yang disiapkan mencapai 10.900 Ha. Akan tetapi krisis moneter tahun 1998 membuyarkan segalanya. Kredit macet berhamburan, dan sebagai akibatnya perumahan yang sudah terlanjur dibangun ditinggalkan penghuninya akibat ketidakmampuan membayar kredit yang melonjak tajam. Kota Maja akhirnya menjadi fosil hidup layaknya peninggalan Suku Maya dan Suku Inca jaman dulu. Saat ini yang tersisa di sana adalah aset berupa tanah yang sebagian telah dikuasai PT PPA (eks BPPN) dan Bank penyalur kredit. Sebagian lagi yang telah terlanjur dibeli dibiarkan saja menjadi aset menganggur. Untuk membangkitkan lagi Kota Kekerabatan Maja, diperlukan suatu kegiatan utama yang dapat menggerakkan orang untuk tinggal di situ. Salah kegiatan utama yang mampu menarik orang dalam jumlah besar adalah pemindahan pusat pemerintahan ke lokasi tersebut. Dengan memindahkan ibukota negara beserta aparatur di bawahnya, diperkirakan dapat dibangun sekitar 50.000 - 100.000 unit rumah baru di lokasi tersebut. Dengan tersedianya aset tanah yang telah dikuasai negara melalui PT PPA maupun pengambilalihan kredit dari bank penyalur, serta tukar guling aset pemerintah yang ada di Jakarta, maka biaya pembangunan tersebut dapat berkurang jauh, bahkan bisa jadi hanya sekitar 10% dari total biaya yang diperkirakan sebelumnya. Pembangunan kantor pemerintah dapat menggunakan dana dari hasil tukar guling, sementara pembangunan sarana pendukung termasuk perumahan dapat bekerja sama dengan pengembang dan bank penyalur kredit perumahan. Sarana transportasi telah tersedia kereta api double track, tinggal menambah rute dan frekuensi kereta api menuju Jakarta. Untuk prasarana jalan tinggal melanjutkan jalan tol BSD - Jakarta menuju Balaraja melalui Maja, atau membuka akses menuju pintu tol Cikande. Begitu pula akses ke Bandara dapat melalui jalan tol Jakarta - Merak yang dilanjutkan dengan jalan tol dalam kota menuju Bandara. Hanya persoalan daya listrik yang perlu dipecahkan, namun dengan adanya pembangkit baru di Labuan diharapkan dapat mengatasi kekurangan daya tersebut. Demikian pula dengan persediaan air, dengan rencana pembangunan waduk Karian maka ketersediaan air dapat diatasi sekaligus juga dapat digunakan sebagai alternatif pembangkit listrik baru. Demikianlah sekedar wacana pemindahan Ibukota Negara dengan memanfaatkan aset yang ada dengan biaya minimal, sekaligus memecahkan sebagian persoalan ibukota sekarang. Kita bisa mencontoh Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya yang berjarak tidak jauh dari Kuala Lumpur. NB. tulisan ini juga dapat dibaca di Politikana.com
KEMBALI KE ARTIKEL