Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring menjadi sebuah pilihan bagi sekolah dalam menghadapi lonjakan COVID 19. Di awal Januari 2022 pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) 50% di sekolah sudah mulai diterapkan, bahkan di awal Fabruari sudah bisa menerapkan  PTM 100% meskipun dilakukan dalam dua sift, sift pagi dan sift siang. Belum genap 2 minggu kegiatan berlangsung sudah harus berganti lagi menjadi PJJ karena lonjakan varians Omicorn. Sekolah harus dapat cepat beradaptasi terhadap situasi perubahan yang begitu cepat, namun sayangnya beralihnya cara pembelajaran ini tidak diikuti dengan metode pembelajaran yang menuntut kodrat peserta didik. Masih banyak guru yang mengalihkan cara-cara lama yang sudah dilakukan di depan kelas ke bentuk PJJ melalui google meet, zoom meeting dan atau sejenisnya. Cara-cara lama seperti apa? Para guru cenderung mengisi pengetahuan melalui ceramah yang biasa dilakukan di kelas dialihkan ke sistem PJJ tersebut.  Beban siswa untuk mengikuti pembelajaran seperti ini sangat besar, di samping beban kuota yang harus ditanggung untuk mengikuti PJJ tidaklah sedikit, dapat dibayangkan berapa kuota yang harus dikeluarkan apabila harus mengikuti google meet dari pukul 07.00 sampai 12.00 setiap harinya. Belum lagi harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh setiap mata pelajaran.  Jika ada 13 mata pelajaran maka setiap minggunya dan misalnya ada 10 mata pelajaran yang memberikan tugas kepada siswa setiap pertemuannya, maka mereka harus menyelesaikan 10 tugas setiap minggunya. Mungkin Anda tidak sanggup ketika harus kembali menjadi siswa dengan kondisi seperti ini. Apakah sistem pembelajaran harus seperti itu yang akan dijalankan di sekolah? Apa tidak ada cara-cara yang lebih memanusiakan anak didik kita dibandingkan hanya sekedar mengisi materi sesuai kompetensi dasar yang ada di kurikulum sekolah seperti halnya mengisi botol kosong dengan air? Jangan heran ketika siswa ke sekolah oritentasinya bukan lagi belajar menuntut ilmu, namun sekedar ingin bertemu teman-temannya karena suasana pertemanan itulah yang sebenarnya mereka inginkan, karena kodrat manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kolaborasi antara satu dengan yang lainnya. Sistem persaingan yang diciptakan di kelas selama ini dengan standar-standar yang sama, perengkingan yang selama ini dilakukan justru semakin merenggangkan makna kebersamaan, munculkan persaingan tidak sehat di kelas.  Kodrat siswa yang beranekaragam tidak mendapatkan penghargaan karena diberikan standar yang sama. Ibarat dalam perlombaan antara kera, ikan dan gajah dan ketika lomba berenang gajah dan kera tidak mungkin menang, begitu sebaliknya ketika lomba memanjat, ikan dan gajah tidak mungkin menang. Begitu juga dengan lomba kekuatan maka gajahlah yang akan menjadi juaranya. Mengapa sistem pembelajaran menciptakan persaingan di antara siswa, bukan kebersamaan yang menjadi orientasi pertamanya sehingga tercipta kolaborasi saling melengkapi. Alangkah indahnya ketika dipanggung ada Ani yang pintar membaca puisi, diiringi Arif yang pintar memetik gitar dan Anton yang pintar melukis untuk menggambarkan makna dari puisi tersebut. Bukan lagi perlombaan namun mampu menciptakan project yang menarik dengan melibatkan kebersamaan antar siswa yang saling melengkapi satu sama lainnya.
KEMBALI KE ARTIKEL