Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kolotnya Bumil

1 September 2021   07:28 Diperbarui: 1 September 2021   07:33 184 1
"Gimana?" tanya pria di seberang, mencoba memastikan jika ia tidak salah dengar.

Mariana menghela napas panjang. Sudah sebulan ini ia belum bertemu Reza, tapi mau gimana lagi, tugas menuntutnya membatalkan janji mereka.

"Iya, Za. Kita nggak jadi malmingan hari ini. Aku masih harus mendata bumil di sini. Sekalian laporan sama Bu Ira," jelas Mariana mencoba memberi pengertian sekali lagi.

Terdengar embusan napas dari seberang. Mariana tahu, Reza pasti kecewa dengannya. Mereka sudah menjalani hubungan jarak jauh, bertemu hanya waktu Reza liburan. Kini malah tidak bisa bertemu, karena Mariana masih ada tugas.

"Oke," ucapnya kemudian.

"Makasih, ya, udah ngertiin aku."

Reza mengangguk meski yang diajak ngobrol tidak tahu. Mariana bersyukur, Reza mau memahami dirinya.

Setelah mengobrol beberapa menit dengan Reza di telepon, Mariana kembali melanjutkan tugasnya. Melihat data ibu hamil yang telah melakukan pemeriksaan. Lalu merekap kembali data mereka melakukan pemeriksaan hingga bulan ini.

Dari tiga puluh data ibu hamil yang sudah ia rekap, masih banyak yang belum melakukan pemeriksaan. Ibu hamil trimester satu yang mencakup usia kehamilan hingga dua belas minggu hanya satu orang yang melakukan pemeriksaan dua kali, lima lainnya masih satu kali. Padahal minimal pemeriksaan trimester pertama terbaru tahun ini dua kali.

Mariana membaca detail rekapannya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa mereka begitu tidak peduli dengan kehamilannya. Periksa kehamilan secara gratis saja malas, bagaimana kalau disuruh membayar? Mariana menggeleng tidak mengerti.

"Gimana, Mar?" tanya Bu Ira selaku bidan desa di Desa Sekarwangi. Menghampiri Mariana yang masih berkutik di meja kerjanya.

"Eh, ini Bu. Saya sudah rekap data pemeriksaan bumil hingga bulan ini." Maria menyerahkan buku rekapannya. "Masih ada bumil yang jarang periksa," lanjutnya.

"Bu Siti ini udah 36 minggu, Mar. Periksanya baru tiga kali," keluh Bu Ira sembari menggeleng melihat data pasiennya. "Mana belum periksa trimester tiga lagi," keluhnya lagi.

"Terus gimana, Bu?"

"Bukan cuma Bu Siti. Bu Ningsih sama Bu Kasih ini juga, udah trimester tiga malah belum periksa." Bu Ira membaca dengan teliti.

Mariana hanya mengangguk. Bingung dengan ibu hamil di sini.

"Ya udah, besok kita kunjungi satu-satu, ya. Kalau ada apa-apa, saya juga yang harus tanggung jawab nanti."

"Iya, Bu."

***

"Bu Siti, gimana kandungannya? Kok nggak pernah periksa," tanya Bu Ira disertai keluhannya pada Bu Siti.

Mariana hanya diam mengamati bidannya menangani pasien yang nakal, tidak mau periksa.

"Alhamdulillah, baik-baik saja, Bu. Makanya saya nggak periksa," jawab Bu Siti santai.

Bu Ira dan Mariana menggeleng bersamaan.

"Walaupun baik-baik saja, tetap harus periksa, Bu." Bu Ira membuka buku kesehatan ibu dan anak yang bewarna pink milik Bu Siti. "Ibu belum periksa lab, kan. Gimana ini? Saya nggak tahu keadaan Ibu sekarang."

"Saya baik-baik saja, Bu. Periksa lab, kan sudah kemarin," sanggah Bu Siti.

Mariana yang hanya nyimak, jadi geregatan.

 "Mana bisa gitu, Bu. Periksa lab waktu awal hamil sama mau melahirkan itu beda, bisa aja berubah." Bu Ira mencoba memberi pengertian, tapi tetap saja masih disanggah Bu Siti.

Obrolan Bu Ira dan Bu Siti seakan tak berujung. Bu Siti tipe orang kolot yang sulit diajak kerja sama. Diminta periksa sebelum melahirkan saja tidak mau. Katanya dia baik-baik saja, jadi tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Untungnya Bu Ira ini sabar dan terus mencoba memberi pengertian.

***

Setelah mengunjungi ibu hamil yang belum periksa kehamilan, Mariana dan Bu Ira pulang. Mereka memutuskan berpisah, karena Bu Ira ada keperluan arisan. Mariana pun pulang sendiri.

Saat berjalan menyusuri jalan setapak pedesaan, Mariana dikejutkan dengan gadis yang ia kenal.

"Rahma!" panggilnya pada gadis berdaster orange.

Gadis tersebut menoleh dan melihat Mariana.

"Ana?!" Rahma terkejut melihat teman SMA-nya itu di desanya. Lalu menghampiri Mariana. Begitu juga Mariana melangkah, mendekati Rahma.

"Kamu kok di sini?" tanya Rahma heran.

Mariana nyengir dan berkata, "Iya, aku bantu Bu Ira, buat ngejar tugas kuliah yabg ketinggalan."

"Oalah, hebat kamu, Na. Bisa kuliah."

"Biasa aja, Rahma. Kamu sibuk ...." Mariana menghentikan kalimatnya, saat menyadari perut buncit Rahma. "Kamu hamil?!" ucapnya terkejut.

"Biasa aja, Na. Nggak usah kaget gitu. Aku kan udah nikah," jelas Rahma pada teman SMA-nya itu.

"Kapan? Kok nggak ada kabar di grup alumni?"

Rahma nyengir. Ia memang tak mengabari apa pun di grup alumni. Ia merasa risi jika harus memberi kabar pernikahannya, sementara teman-temannya yang lain berkabar tentang kuliah dan pekerjaan mereka.

***

Mariana kembali mengamati rekapannya. Tidak ada satu pun nama Rahma di bukunya. Apa mungkin Rahma salah satu ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilannya? Mariana menepuk dahinya jika memang itu bedar adanya.

Ponsel Rahma berdering, ia segera mengangkat panggilan begitu tahu nama si penelpon.

"Halo, Za?" sahutnya.

"Sibuk, ya?" tanya Reza.

"Iya, lumayan. Tadi aku kunjungan ke rumah bumil," jelas Mariana disertai embusan napas. "Mana bumil di sini, pada males periksa lagi," kesalnya ketika mengingat para bumil menyanggah ucapan Bu Ira.

"Sabar, Na,"

"Kamu nggak ngerti sih, gimana kolotnya mereka. Diminta periksa minimal enam kali selama hamil aja susah banget. Kalau kayak gini, kan bidan juga yang susah, Za." Mariana mengeluhkan ibu hamil yang susah diajak kerja sama.

"Kamu tahu, kalau ada apa-apa sama bumil, siapa yang dimintai pertanggungjawaban? Ya, bidan!"

"Bukannya itu emang tugas bidan?" Reza menyela keluhan Mariana.

"Iya, sih."

Mariana tidak dapat mengelak. Semua ini memang tugas bidan. Bukan hanya memeriksa ibu hamil, membantu melahirkan, memeriksa ibu nifas dengan bayinya, dan kb. Bidan juga dituntut untuk mencerdaskan ibu hamil dengan memberikan konseling dan kelas ibu hamil.

***

Mariana sedang bermain ke rumah Rahma. Ia menyeruput teh hangat yang disajikan untuknya. Sebelum akhirnya bertanya, "Kandunganmu udah berapa bulan, Ma?"

"Enam bulan, An."

"Udah pernah periksa?" tanyanya lagi.

"Udah," jawabnya singkat.

Mariana mengerutkan kening. Apa Bu Ira tidak mendata Rahma waktu periksa, hingga ia tidak masuk data rekapannya.

"Kok aku nggak lihat namamu di data Bu Ira. Periksa di mana?"

"Dukun bayi, Na." Aku menganga tak percaya, zaman sekarang masih ada yang ke dukun bayi? "Lagian, di puskesmas bidannya galak-galak. Kalau ke tempatnya Bu Ira juga, harus bayar. Mending ke dukun bayi, lebih murah," jelasnya.

"Astaga, Rahma." Aku gemas mendengar alasannya. "Periksa apalagi lahiran di dukun bayi tuh nggak boleh. Kalau kamu kenapa-napa, siapa yang mau tanggung jawab? Pasti yang disalahin bidannya," ceramahku disertai sabar.

"Lagian, kalau takut sama bidan puskesmas, terus di Bu Ira mahal, kenapa nggak ke poskesdes, kan nggak bayar."

Rahma nyengir.

"Pokoknya, besok kamu periksa ya ke poskedes. Besok aku sama Bu Ira ada di sana. Harusnya kamu itu periksa minimal tiga kali kalau udah enam bulan gini."

"Harus banget, ya, periksa ke Bu Ira?"

Mariana menghela napas. Sudah dijelaskan dan diminta periksa, masih saja bertanya.

"Kamu tahu nggak, Ma? Kematian ibu dan bayi di Indonesia itu masih tinggi?"

Rahma menggeleng.

"Itu memang banyak penyebabnya, salah satunya ya persalinannya bukan di tenaga kesehatan," jelas Mariana.

"Kenapa nggak diizinin persalinan di dukun bayi, ya karena khawatirnya alat yang digunakan tidak steril. Itu bisa jadi penyebab infeksi yang bisa membuat ibu meninggal."

Bulu kudu Rahma berdiri. Ia membayangkan sendiri bagaimana jika ia nanti melahirkan di dukun bayi, lalu terkena infeksi.  Rahma menggeleng, menepis pikiran negatif.

"Terus nih, kalau ada apa-apa, seperti kematian ibu atau bayi, pasti yang dimintai pertanggungjawaban bidan desa. Karena bidan desa yang paling dekat dengan warga desanya."

Rahma mengangguk paham.

"Aku jelasin, ya. Minimal periksa kehamilan itu enak kali di bidan, dua kali di dokter." Aku mencoba menjelaskan dasar pemeriksaan ibu hamil. "Enam kali di bidan itu dua kali waktu hamil awal sampai tiga bulan, satu kali di kehamilan empat sampai enam bulan, terus tiga kali sewaktu usia kehamilan udah tujuh sampai sembilan bulan."

***

Akhirnya, Mariana dan Reza bisa bertemu. Keduanya mengobrol sembari makan di pinggir jalan. Menikmati suasana malam minggu.

"Nggak nyangka deh, teman-temanku dah pada nikah," ucap Mariana sambil mengunyah nasi gorengngnya. Reza mengangguk setuju, karena teman-temannya, terutama perempuan juga banyak yang sudah menikah.

"Padahal pada masih muda, udah pada punya anak dua sampai tiga." Mariana meminum air jeruk pesanannya.

"Kamu mau ngikutin jejak mereka, nggak?"

Mariana langsung tersedak begitu mendengar godaan Reza. Reza terkekeh melihat ekspresi Mariana yang merah merona.

"Kuliah dulu, Za!" Mariana menempeleng kepala pacarnya itu.

"Bentar lagi juga selesai." Reza menaik turunkan alisnya bergantian.

"Astaga, habis kuliah ...." Ucapan Mariana terhenti ketika ponselnya berdering. Dilihatnya identitas pemanggil.

"Halo, Bu?"

"Maria, ke puskesmas, ya. Bu Siti udah pembukaan."

"Baik, Bu."

Setelah telepon ditutup, Maria langsung menarik lengan Reza.

"Za. Ke puskesmas sekarang!"

Reza yang ingin menyantap nasi goreng menumpahkan nasinya saat lengannya ditarik Mariana.

"Pak, ini uangnya."

Maria meletakkan uang lima puluh ribu di meja, tanpa peduli kembaliannya. Membuat penjual nasi goreng kebingungan dengan tingkahnya yang buru-buru.

***

Setelah lima belas menit perjalanan, dari alun-alun kota ke kecamatan, tibalah Reza dan Mariana di puskesmas. Baru saja turun dari motor, Mariana melihat Bu Siti berbaring di atas brankas, di sebelahnya ada bidan, masuk ke mobil ambulans puskesmas.

"Bu, mau ke mana? Itu Bu Siti ...."

"Bu Siti perdarahan, Mar. Ibu rujuk dulu, ya," ucap Bu Ira cekatan menyiapkan berkas.

"Maria ikut, ya, Bu!" pinta Maria.

"Ya udah, yuk!"

"Maria naik motor ajak, Bu!"

Maria menghampiri Reza yang masih duduk di atas motor. Wajahnya ikut bingung melihay Mariana yang tampak khawatir.

"Ayo, Za! Ke RS!"

***

Bu Ira menghela napas. Tampak kelegaan di wajahnya.

"Ya gini, Mar. Kalau bumil nggak mau periksa, kita nggak tahu pemeriksaan labnya, jadi nggak tahu risiko apa yang bakal terjadi kalau bersalin."

"Iya, Bu," ucap Mariana paham.

"Kamu balik, ya. Istirahat. Udah malam juga."

Mariana mengangguk, ia pamit dengan Bu Ira sebelum akhirnya menemui Reza yang masih setia menunggunya di luar IGD.

"Gimana?"

"Alhamdulillah. Perdarahannya udah berhenti."

Reza yang melihat keletihan di wajah Mariana, mengelus puncak kepala gadis itu. Ia tahu, tidak mudah menjalani tugasnya sebagai asisten bidan. Meski baru kuliah, belum pernah melakukan tindakan mandiri, ia tetap harus siaga jika ada panggilan mendadak.




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun