Dalam peraturan tersebut, Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan pelaksanaan Program Kartu Prakerja pada Manajemen Pelaksana sebagai PMO (Project Manajemen Office) Program Kartu Prakerja. PMO atau Manajemen Pelaksana ini terdiri dari Direktur Eksekutif dan dibantu lima direktur lainnya yakni Direktur Teknologi; Direktur Kemitraan, Komunikasi dan Pengembangan Ekosistem; Direktur Pemantauan dan Evaluasi; dan Direktur Hukum, Umum, dan Keuangan. Selain Manajemen Pelaksana juga dibentuk Komite Cipta Kerja yang struktur koordinasinya juga kurang transparan.
Manajemen Pelaksana ini sendiri menjadi kontroversi lantaran bukan institusi negara, bukan kementerian/lembaga, juga perusahaan BUMN, namun punya kewenangan powerfull dalam penggunaan APBN Rp 20 triliun dalam Kartu Prakerja. Sementara sistem perekrutan Manajemen Pelaksana juga tidak transparan, tahu-tahunya pemerintah menunjuk Direktur Eksekutif diemban Denny Puspa Purbasari yang juga merupakan salah satu deputi di Kantor Staf Presiden (KSP). Pemerintah sendiri tidak pernah mengumumkan ke publik penunjukkan Denny cs bersama lima direktur lainnya dalam Sebagai MPO Program Kartu Prakerja.
Tidak sampai disitu, Peraturan yang dikeluarkan Menko Airlangga ini jadi payung hukum penunjukan langsung kepada delapan 'broker' perusahaan platform penyedia pelatihan jasa online dalam Kartu Prakerja. Padahal, sejatinya, setiap pengadaan barang dan jasa yang dilakukan pemerintah seluruhnya mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Peraturan yang dikeluarkan Menteri Airlangga inilah yang kemudian menjadi biang masalah dari Program Kartu Prakerja.
KPK dalam rekomendasinya kepada Menko Perekonomian dan pihak terkait untuk melakukan perbaikan implementasi pada Program Kartu Prakerja. Rekomendasi ini bisa jadi teguran halus dari KPK kepada Menteri Airlangga jangan sampai program peningkatan skill ini berujung pidana. Â