Apa kabar ?
Ah, saya rasa tuan baik baik saja.
Tuan tampak begitu mantap melangkah, seperti lelaki dewasa.
Tanpa saya tentunya.
Tuan,
Tuan semakin matang.
Tampak dari raut dan garis tegas wajah tuan.
Yang tentunya masih saya curi diam-diam.
Tuan,
Dengan membuka 'cerita' media sosial tuan, saya bersyukur.
Bahwa 'cerita' tuan kini dipenuhi santunan yatim dan jadwal pengajian.
Tuan kini lebih dekat dengan Tuhan.
Tuan,
Saya turut bahagia atas sebuah cincin yang melingkar indah di jari tuan.Hitam, tegas. Layaknya tuan.
Tak apalah cincin saya tidak seperti milik tuan.
Saya tetap bahagia, untuk tuan tentunya.
Tuan,
Hari ini, raga kita dipertemukan oleh semesta.
Sedang jiwa kita masih tidak berjumpa.
Entahlah, mungkin karena jiwa saya yang sibuk membendung sejuta kenangan lama.
Sedangkan jiwa tuan berkelana menjamah puan yang disana.
Tuan,
Apa kabar ?
Ah, bukan kabar tuan.
Bukankah saya sudah bertanya tadi diawal.
Aissh..
Apa kabar ?
Apa kabar hubungan kita?
Ah, mungkin sekarang agak tabu mengucap kata ganti kita.
Baik, saya ralat.
Apa kabar hubungan saya dengan tuan?
Hubungan yang bahkan tidak sekalipun terucap kata perpisahan?
Ah, mungkin masih tertunda,
Atau mungkin saya yang terlalu tuli untuk tidak mendengarkan.
Tuan,
Saya kini tengah duduk di hadapan tuan.
Tuan hanya menatap saya dengan tatapan kawan.
Sedang hati yang tertatap ini lebam.
Tuan,
Puan di hadapanmu ini retak.
Tunggu sampai hari tuan, hingga puan ini sempurna pecah.
Tuan memang hanya diam.
Sama seperti saat saya terus bertanya kenapa. Dulu.
Tuan memang hanya diam.
Namun, karton berpita putih ini meneriakan kembali genderang perang.
Tuan,
Tuan sendiri yang mengantarkan kertas yang tercetak nama tuan dan puan yang tidak aku kenal.
Indah memang, teihat mewah.
Sedang saya yang awalnya dengan suka cita menyambut fajar yang telah kembali,
Harus dengan gemetar berucap selamat.
- sajak patah, dari puan yang patah patah.