Pada awal bulan November kemarin saya menonton pertandingan Basket atau biasa disebut DBL (Developmental Basketbal League) di Jogja tepatnya di Gor Universitas Negeri Yogyakarta. DBL ini merupakan sebuah kompetisi liga bola basket pelajar untuk kalangan SMP dan SMA. Pada saat itu tim basket yang sedang bertanding merupakan tim dari SMA Kolese De Brito dan MAN 1 Yogyakarta. Ketika saya memasuki stadion, saya banyak sekali melihat penonton-penonton lain yang sekaligus sebagai supporter tim basket saling menunjukan chant serta koreografi yang sangat menarik antar supporter lawan untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap tim kebanggaannya, sehingga tidak heran jika terdapat rivalitas yang terjadi selama pertandingan berlangsung.Â
Rata-rata supporter antar tim juga merupakan siswa atau alumni dari masing-masing sekolah tim basketnya, tak jarang juga orang umum yang bukan siswa atau alumni dari salah satu sekolah tersebut ikut serta menjadi supporter salah satu diantaranya. Dengan demikian, hal tersebut termasuk ke dalam suatu konflik kecil antara supporter satu dengan supporter lainnya yang memiliki rivalitas sementara. Â
Konflik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sebagai manusia sebagai mahluk sosial, konflik juga muncul akibat dari adanya perbedaan kepentingaan, nilai atau tujuan antar individu atau antara individu dan kelompok.Â
Menurut teori konflik yang dikemukakkan oleh tokoh sosiologi modern yaitu Lewis A. Cooser sekitar tahun 1956 melalui sebuah karyanya yaitu The Function of Social Conflict, bahwa konflik merupakan proses yang bersifat rasional dalam pembentukkan, penggabungan dan pemeliharaan struktur sosial, sehingga menurutnya konflik tidak hanya selalu berkaitan dengan sesuatu yang berkonotasi negatif melainkan juga terdapat fungsi positif didalamnya. Karena menurutnya konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok yang dapat memperkuat kembali identitas dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Dengan demikian konflik menurutnya bisa menguntungkan bagi sistem yang bersangkutan.Â
Dalam teorinya Cooser membagi konflik menjadi 2 bagian, yaitu: Konflik realistis, merupakan konflik yang berasal dari akibat dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam suatu hubungan kepada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya tuntutan rakyat kepada pemerintah terhadap penolakan UU Cipta Kerja dengan melakukan demonstrasi. Selanjutnya Konflik Non- Realistis, merupakan konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang bersifat antagonis, tetapi juga terdapat keinginan serta kebutuhan untuk meredakan ketegangan dari salah satu pihak. Memang jika dilihat dari pemikiran teori konflik Lewis A. Cooser terdapat perbedaan dengan beberapa teori konflik yang dikemukakkan oleh beberapa tokoh sosiologi lainnya. Namun pemikiran Cooser ini menurut saya sedikit terdapat kemiripan dengan teori konflik yang dikemukakkan oleh George Shimmel mengenai hubungan antara kelompok luar (out-group) dan kelompok dalam (in-group) yang terdapat pada proposisi Cooser mengenai fungsi konflik eksternal yang tujuannya untuk memperkuat kekompakkan internal serta meningkatkan moral kelompok sehingga kelompok-kelompok dapat berusaha memancing antagonisme dengan kelompok luar agar supaya mempertahankan atau meningkatkan solidaritas dalam kelompok internal (in-group). Begitupun dengan proporsi yang dikemukakkan Shimmel mengenai fungsi konflik eksternal bagi kelompok internal bahwa konflik dengan kelompok lain berkontribusi pada pembentukan dan penguatan kembali identitas kelompok serta mempertahankan batas-batsnya terhadap dunia sosial sekitarnya.
Dengan demikian Contoh konflik yang saya sebutkan pada paraghraf pertama merupakan contoh konflik yang dapat meningkatkan solidaritas internal pada masing- masing kelompok (In-group), serta memperkuat identitas masing-masing  kelompoknya dalam contoh diatas disebutkan bahwa yang dimaksud kelompok adalah para supporter.Â
Kenapa konflik antar supporter basket tersebut justru memperkuat solidaritas antar supporternya itu karena konflik tersebut bekerja sama membangun komitmen serta semangat untuk bersatu mendukung tim kebanggannya, dari situ dapat dilihat rasa solidaritas dari masing-masing kelompoknya.
Teori konflik mulanya diperkenalkan oleh tokoh filsuf Jerman yaitu Karl Marx yang gagasannya dipicu karena melihat adanya suatu bentuk pertentangan yang terjadi antar kelas borjuis melawan kelas proletar untuk merebut hak-hak ekonomi. Selanjutnya, muncul tokoh teori konflik lainnya, salah satunya Lewis A Coser yang  lahir di kota Berlin pada tahun 1913 dan wafat di Cambridge, Massachusetts pada 8 Juli 2003 di usia 89 tahun. Semasa hidupnya Ia pernah dipilih menjadi presiden American Sosiologycal Assosiation (ASA) pada tahun 1975.Â
Salah satu karya Coser yang paling fenomenal adalah bukunya yang berjudul The Functions of Social Conflict, dalam bukunya ia menyatakan bahwa ilmuwan sosiologi harus memberikan perhatian kuat pada konflik sebab sebagian konflik merupakan bagian dari masyarakat yang sangat penting dan mendesak untuk dijelaskan. Â
Teori konflik Lewis A Coser ini lahir sebab dilatar belakangi oleh kondisi intelektual, sosial dan politik pada masa itu. Coser juga menolak adanya pandangan mayoritas ilmuwan Amerika yang mengeklaim bahwa konflik selalu mengenai disfungsi, disentegrasi dan kekerasan. Selain itu, teori ini juga banyak dipengaruhi oleh tokoh sosiologi lain seperti George Shimmel, Karl Marx, Emile Durkheim.