Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu Ekonomi Syariah. Mayoritas mengatakan ekonomi syariah adalah sekedar pengertian bahwa ekonomi yang berlandaskan Alqur’an dan Hadist. Jika diajak untuk berpindah memilih ekonomi syariah, sebagian mereka masih condong memilih ekonomi konvensional dengan kelebihan duniawi yang ditawarkan, yakni mendapatkan materi tanpa adanya usaha.
Kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Kebahagiaan yang dimaknai oleh kebanyakan orang yakni memiliki harta melimpah dan memiliki kenikmatan dimana-mana. Orang-orang seperti ini menurut Aristippus adalah orang yang menganut Hedonisme, yakni paham materialism mekanistik, yang mengganggap egoistis sebagai tujuan akhir dari kehidupan manusia dan kenikmatan adalah tujuan hidup yang paling mulia dari setiap manusia. Menurut Plato (427-357 SM) kalau nafsu keserakahan ini tidak bisa dikendalikan, maka sebagian orang (yang cerdik, pintar, dan berkuasa) akan hidup bermewah-mewahan sedangkan yang lain akan hidup kesengsaraan dan kehinaan.
Menurut Adam Smith (1723-1790) salah satu tokoh ekonomi konvensional yang sampai saat ini pemikirannya dipakai pada ilmu ekonomi di dunia khususnya di Negara kapitalis, mengatakan bahwa hakikat manusia adalah 1) Manusia sebagai makhluk sosial tidak suka hidup individualistic. 2) Manusia makhluk rasional dan memiliki kebebasan, akalnya bisa membedakan yang baik dan yang buruk. 3) Sikap egoisme dan rakus manusia akan memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan. Adam Smith pula percaya bahwa sistem pasar kompetitif itu didukung oleh kekuatan "invisible hand“.
Sebenarnya “Invisible Hand” yang dimaksud oleh Adam Smith adalah Allah SWT. hanya saja dia tidak mengakui. Berbeda denganAbu Yusuf (113 -182 H) salah satu tokoh ekonomi islam pada bukunya Al- Kharaj bahwa “Harga tinggi tidak selalu dikarenakan permintaan tinggi sedangkan penawaran rendah, atau sebaliknya harga murah karena quantiti melimpah dan permintaan tetap. Kadang-kadang makanan berlimpah tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah. Murah dan mahal merupakan ketentuan dari Allah SWT.”
Padahal timbulnya masalah ekonomi bukan karena kelangkaan sumber daya. Tapi moral hazard manusia dalam ketidakmerataan distribusi dan keterbatasan kemampuan manusia untuk mengolah sumber daya. Adanya iktikhar (penimbunan barang) dan moral hazard lainnya. Dalam Islam sebenarnya Allah telah menciptakan masing-masing makhlukNya dengan sumber daya yang cukup.
Serta tujuan hidup yang harus diyakini adalah mencapai falah; kebahagiaan di dunia dan akhirat. Setiap kegiatan ini diniatkan ibadah, maka akan memberi manfaat dan berkah (maslahah). Karakter berkah yakni 1) Barang/jasa yang dikonsumsi bukan yang haram 2) Tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi(Israf) 3) Diniatkan untuk mendapat ridha Allah. Apabila semua kegiatan ekonomi dilandaskan untuk mencari mashlahah maksimum, tidak hanya materi yang dibutuhkan didapat tapi berkah dari Allah pula.Maka dari itu para pelaku ekonomi syariah tidak terfokus pada mencari keuntungan maksimum tapi maslahah maksimum.
Dengan menggunakan prinsip angka 1 dan 0. Diumpamakan angka 1 ini adalah agama (ibadah) dan 0 adalah hal-hal kebaikan lainnya. Berarti bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan tidak akan bernilai jika tanpa pondasi awal yakni agama (ibadah).
Dalam masalah harta, Allah-lah pemilik mutlak harta, kepemilikan harta oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk menjalankan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Seperti peringatan pada QS. Thaha/20: 124-125 dibawah ini.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى(١٢٤)قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا(١٢٥)
"Tetapi barang siapa berpaling dari peringatanKu (Al-Qur'an) maka dia akan menderita hidup sempit, kemudian Kami bangkitkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta. Nanti dia tentu berkata : "Ya Tuhanku! Mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulunya aku melihat.”
Dalam ekonomi syariah sangat melarang adanya praktik MAGHRIB (Maisir, gharar, dan riba). Maisir adalah penipuan seperti perjudian. Gharar adalah hal yang mengandung ketidakjelasan (samar). Riba adalah tambahan atau pertumbuhan tanpa adanya usaha. Contohnya bunga pada bank, dan uang tambahan pada pinjaman dana.
Sebelum membahas pelarangan riba. Alangkah terlebih dahulu memahami konsep fungsi uang dalam islam. Uang dalam islam bukan berfungsi sebagai komoditas, seperti yang dianut oleh ekonomi konvensional, uang dapat disimpan sebanyak-banyaknya dan dapat diperjual-belikan dan dapat berlipat ganda sendiri tanpa adanya usaha. Sedangkan dalam ekonomi syariah, uang harus berputar pada sector riil, seperti melalui akad mudharabah yakni akad bagi hasil bagi si pemilik dana dan si pengusaha, dan akad lain-lainnya bisa dilihat pada DSN MUI atau pada Statistik Perbankan Syariah.
Lalu tanpa adanya perputaran pada sector rill, uang tidak berfungsi. Bayangkan jika tidak aktivitas jual beli barang, sedangkan uang hanya disimpan dan dikumpulkan saja sebanyak-banyaknya, dan pada akhirnya tidak ada barang yang beredar, apakah uang tetap berfungsi? Jelas tidak, justru uang hanya akan menjadi barang simpanan yang tidak bernilai. Dan apabila ada barang tetapi tingkat konsumsi rendah akhirnya harga barang menjadi meningkat, serta Bank Indonesia mau tak mau mencetak uang lagi karena uang pada peredaran menurun. Alhasil, suku bunga naik dan harga barang-barang menjadi naik. Sedangkan nilai uang riil dari pendapat masyarakat tetap. Akibatnya rakyat kecil lagi-lagi yang menjadi korban. Sedangkan orang kaya yang memiliki uang banyak, makin banyak pula uang yang ia miliki. Dengan meningkatnya suku bunga. Disinilah letak kemudharatan bunga (riba) yang mampu menghancurkan bangsa dan negara.
Ancaman Allah terhadap Riba tidak main-main. Berikut peringatan tentang Riba dalam Alqur’an dan hadist :
قَالَ اللهُ تَعَالَى: الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. {البقرة: 275}.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al-Baqarah [2]: 275)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. {روله مسلم}.
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan Zuhair bin Harb dan Utsman bin Abu Syaibah mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Abu Az Zubair dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama.“(HR. Muslim)
ِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika telah nampak perbuatan zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk merasakan adzab Allah .” (HR. Al Hakim dan Thabarani)
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan ia mengetahuinya, lebih buruk dari tiga puluh enam kaliberzina.”(HR Ahmad)
Selain itu, dalam ekonomi syariah tidak ada unsur dzalim, justru sangat mementingkan tingkat mashlahah. Seperti pada prinsip Asuransi Syariah yang menekankan prinsip tolong menolong, QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya: “Bekerjasamalah kamu pada perkara-perkara kebajikan dan takwa, dan jangan bekerja sama dalam perkara-perkara dosa dan permusuhan”. Berbeda dengan asuransi konvensional, hanya terpacu pada profit dan materi. Seperti kasus di Luar Negeri ada seorang anak sengaja membunuh ayahnya demi Dana Asuransi Jiwa sang ayahnya yang cukup besar. Sungguh tragis.
Kini ekonomi syariah mulai berkembang pada berbagai sektor lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Bahkan di luar negeriperkembangan ekonomi syariah sudah ada sejak tahun 1963 yang dipelopori oleh Bank Syariah yakni “The Mit Ghamr Bank” di Kairo, Mesir. Lalu diikuti oleh Negara-negara non Islam lainnya dengan membuka Produk-produk Banking Islami yang ditawarkan oleh Fund Manager Konvensional seperti The Wellington Management Company (USA), Kleintwonth Benson Bank (Inggris), ANZ Bank (Melbourne-London), dan seterusnya. Sekarang menurut Statistik Perbankan Syariah bulan september 2013, Indonesia sudah memiliki 11 Bank Umum Syariah dan 24 Unit Usaha Syariah. Salah satu BUS yaitu Bank Syariah Muamalat Indonesia dan UUS yaitu UUS dari Bank Permata.
Sudah jelas ekonomi syariah adalah pilihan yang tepat dan paling menguntungkan. Dengan melakukan aktivitas ekonominya sama saja dengan beribadah. Jadi jika ada yang bertanya mengapa memilih ekonomi syariah, jawab saja, pilih dapat untung dan pahala pada akhirnya, atau dapat untung tapi buntung pada akhirnya.