Nativisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang sangat populer. Dari waktu ke waktu, pola berpikir nativisme terus menunjukkan eksistensinya. Bahkan, tidak dapat kita elak lagi, bahwa nativisme sangat berkaitan dalam berjalannya pendidikan di Indonesia. Namun, sudahkah kita tahu apa itu nativisme? Mengapa aliran ini terus eksis sepanjang sejarah?
Aliran nativisme menurut bahasa berasal dari kata "nature" yang berarti alam. Secara istilah aliran nativisme adalah kecenderungan dalam pola pikir seseorang yang senantiasa membuat orang tersebut ingin kembali menuju kehidupan awal manusia. Orang yang berpikir dengan aliran nativisme, selalu dekat dengan sifat alamiah. Sifat alamiah inilah yang selalu ia bawa dan junjung tinggi dalam kehidupannya. Sehingga ada beberapa prioritas dalam menilik suatu hal dari faktor alamiah manusia.
Orang yang menganut aliran nativisme, akan mengutamakan sisi hereditas. Hereditas ialah faktor yang dipengaruhi oleh kelahiran manusia. Kemudian, faktor hereditas tersebutlah yang menjadi salah satu pemicu mengapa orang yang menganut paham nativisme cenderung menilik segala sesuatu dari faktor keturunan. Adapun tokoh penganut aliran ini ialah Schopenhauer, yang merupakan seorang filsuf dari Jerman.
Selain itu, prinsip orang yang berpikir dengan aliran nativisme selalu mengarah pada sisi bawaan lahir manusia. Seperti halnya dengan bakat yang ia bawa sejak lahir. Mereka berkeyakinan apabila seorang anak yang lahir di dunia selalu dianugerahi dengan bakat bawaan. Tentu, hal tersebut berbeda antara anak satu dengan anak yang lainnya.
Dalam perkembangannya, teori nativisme memperoleh banyak kritik. Beberapa di antaranya yaitu sebagai berikut:
1. Keturunan Bukan Segalanya
Faktor hereditas dan keturunan memanglah penting bagi seseorang. Akan tetapi, tidak semua orang harus mendewakan keturunan. Dalam dunia pendidikan, keturunan tak seharusnya menjadi suatu hal final yang berpengaruh dalam proses belajar anak. Contohnya, pada masa lampau anak bangsawan dan raja cenderung diperbolehkan bersekolah. Hal ini bertolak belakang dengan anak orang biasa. Sehingga, hal tersebut kini menuai kritik.
2. Ikhtiar Lebih Berpengaruh
Salah satu kritik untuk aliran nativisme ini adalah ikhtiar lebih berpengaruh. Bagi seorang anak, keturunan tidak selalu membuat ia sama seperti keluarganya yang terdahulu. Tidak selalu anak raja kelak akan menjadi raja pula. Terkecuali apabila dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat melanjutkan jejak sebelumnya. Dengan begitu, tak dapat diungkiri jika ikhtiar lebih berpengaruh daripada sifat alamiah.
3. Pendidikan Menyetarakan Manusia
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk memiliki hidup yang lebih baik adalah dengan belajar. Sehingga peran dunia pendidikan dan sekolah sangat berdampak bagi peradaban. Adanya anggapan si nativisme yang mengutamakan sifat bawaan lahir, tidaklah benar. Dunia pendidikan menyetarakan semua orang untuk memperoleh kesempatan yang sama. Dari situ, faktor keturunan maupun bakat bawaan, dapat disetarakan dengan orang yang berpendidikan.
Dalam aliran nativisme, kita seringkali mendengar ungkapan bahwa "buah jatuh tak jauh dari pohonnya". Ungkapan itu sejatinya menunjukkan apabila keturunan ialah faktor yang berpengaruh bagi kelangsungan hidup peradaban ke depannya. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, ada transformasi menuju arah modern pula. Termasuk dalam aliran nativisme ini.
Beberapa perkembangan aliran nativisme yang dapat kita lihat saat ini ialah penentu keberhasilan seseorang bukanlah dari keturunan, melainkan dari bakat yang ia miliki. Akan tetapi, setiap bakat tentu memiliki kecenderungan. Ini menjadi sebuah pembeda, bahkan dengan tokoh terdahulu yang terikat keluarga. Sebab, terdapat kemungkinan apabila seorang anak memiliki kecenderungan bakat yang berbeda dengan orang tua, kerabat, maupun saudara kandungnya.
Meskipun demikian, aliran nativisme tak mampu terlepas dari dunia pendidikan. Banyak praktik pendidikan di Indonesia yang menggunakan paham nativisme. Dalam implementasinya, aliran nativisme berguna untuk mengetahui sifat bawaan seorang peserta didik. Hal ini mampu mempermudah guru dalam mengetahui seperti apa sifat dan kecenderungan peserta didiknya.
Beberapa contoh implementasi aliran nativisme dalam ranah pendidikan saat ini adalah dengan dihadirkannya tes bakat bawaan. Dengan tes bakat, siswa diminta mengisi atau menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan. Dari sana, guru mampu menilai kecenderungan bakat pada diri siswa. Sehingga, dengan cara tersebut guru mampu memotivasi siswa dalam mengembangkan bakat yang dimiliki.
Selanjutnya, ialah tes karakteristik kepribadian. Tes ini seringkali dilakukan ketika peserta didik memasuki tahun ajaran baru. Adanya tes karakteristik mampu membuat guru lebih tahu seperti apa gambaran karakteristik siswanya. Pasti terdapat keberagaman karakter dalam satu kelas. Ada yang pendiam, suka bergaul, berani, kurang percaya diri, dan lain sebagainya.
Implementasi aliran nativisme yang lainnya yakni tes sidik jari. Pada kasus tertentu, siswa diminta melakukan tes sidik jari. Selain itu, ada pula penekanan pada bakat bawaan siswa. Hal tersebut biasanya berupa arahan dari wali kelas untuk merekomendasikan siswa bergabung pada ekstrakurikuler yang sesuai dengan bakat bawaannya. Misalnya siswa yang suka menyanyi, akan diarahkan untuk mengikuti ekstrakurikuler paduan suara.
Walaupun aliran ini cenderung memaksakan peserta didik untuk menuju ke arah bakat bawaan, aliran nativisme memiliki kelebihan tertentu. Dengan aliran nativisme, sekolah mampu mengetahui potensi pada diri peserta didiknya. Hal tersebut membuat guru lebih tepat sasaran dalam mengarahkan mereka untuk menggali potensi. Sehingga tak dapat kita ungkiri jika nativisme mampu menyusun pondasi awal peserta didik dalam belajar di sekolah.
Namun, meskipun demikian, aliran nativisme juga harus diimbangi dengan aliran yang lainnya. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada dominasi dari faktor bawaan lahir, seperti hereditas, bakat, atau keturunan. Sebab, dalam dunia pendidikan siapapun harus memperoleh kesempatan menuntut ilmu yang sama. Pendidik juga tidak boleh pilih kasih dalam mengajar di kelas. Dengan begitu, peserta didik memperoleh hasil yang maksimal dalam belajar.