Jika meja tamu kecil sebagian orang termasuk saya biasanya cukup terisi tebaran pasir dan beberapa kerang hias ala kadarnya, tak demikian dengan meja kecil di hadapan kami kemarin pagi. Di dalamnya tampak aneka rempah seperti biji pinang, kayu manis, gambir, biji dan bunga pala, cengkeh dari beberapa kepulauan di nusantara, biji jenistri, dll.
"Waaah keren banget nih hiasannya mbak...Multi fungsi kelihatannya, sekalian buat display ya..?" Demikian komentar pertamaku ketika memasuki sebuah rumah asri milik sahabat kami di bilangan Palem Permai, Bandung Selatan.
"Hiyaa, tepat Dik! Selain buat menyimpan sample produk, lumayan buat hiasan sekalian. Kalau mau lihat produk lainnya, itu di laci samping pintu juga ada..." sumringah si tuan rumah mempersilakan kami melihat-lihat aneka rempah koleksinya. Ada coklat bubuk, biji coklat utuh asal perkebunan di luar Jawa, biji jali-jali, kemiri, dll.
"Wah, apa nih? Batang kayu manis bukan? Hhmmm…. wangiiii..." seru saya takjub mengamati tongkat yang terasa begitu ajaib karena aroma yang ditebarkannya.
"Iya, itu kayu manis yang masih utuh, belum dipotong-potong. Kayu itu sejauh ini baru dimanfaatkan kulitnya, bagian dalam digunakan sebagai kayu bakar" sahut wanita cantik di hadapan kami.
Ya, kabarnya cantik itu memang relatif. Seringkali wawasan luas, tata sikap dan bicara serta kepercayaan diri yang baik akan menjadikan seorang wanita terlihat jauh lebih cantik dan menarik.
Maka ketika kakak kelas kami di SMP yang kini menekuni profesi sebagai wanita exportir rempah-rempah berceloteh tentang rempah-rempah kami pun terkesima menyimaknya.
Sambil menyuguhkan teh dengan gula yang terpisah di tempatnya, ia terus bertutur seolah tahu jauh-jauh kedatangan kami memang mengharapkan hidangan khusus berupa ‘cerita tentang rempah’.
"Biji pinang ini di India dimakan sebagai hidangan penutup. Fungsinya untuk membersihkan bakteri di rongga mulut."
"Ohya? Bukannya keras banget nih mbak? Dimasak seperti apa sebelum dimakan?" tanyaku heran.
"Cuma dipotong aja kok jadi beberapa bagian. Ini nih seperti biji pinang dari lampung yang sudah dibelah-belah ini langsung dikonsumsi. Kalau kita yang menggigit sih emang iya gigi kita yang akan patah. Tapi buat mereka, bunyinya krek-krek-krek...renyah! Ha ha ha...." jelasnya.
"Ohhh...jadi pinang ini ada yang dijual utuh ya, tapi juga ada yang sudah belah begitu...?
"
"Ya jadi kalau di Kalimantan, orang umumnya malas memotong seperti yang dilakukan orang Sumatra. Mereka menjual biji pinang dalam keadaan utuh. Sebenarnya pinang yang dibelah itu lebih diminati pembeli luar dibanding yang masih utuh. Secara harga jual sebenarnya juga lebih mahal..."
“Hhmm…..gitu ya... Tentang rempah-rempah ini kami jadi tertarik untuk tahu lebih banyak saat Minggu lalu kebetulan kami pergi ke Museum Bank Indonesia di daerah Kota. Bagi bangsa asing dan penjajah Belanda saat itu, Indonesia bak sebuah gudang gula di mata semut-semut bangsa Eropa terutama. Ada berkarung-karung cengkeh, lada dan kayu manis yang jadi komoditi utama dan menarik para pendatang untuk singgah ke negeri ini.
Di sana kita diingatkan kembali bahwa sebelum jaman kolonial, nenek moyang yang digambarkan dengan patung beberapa pria gagah berani yang bekerja di pelabuhan mengangkut karung-karung ke dalam kapal layar. Mereka berdagang aneka rempah dan hasil bumi hingga ke negeri-negeri yang jauh….Dari situ aku jadi terpikir, bahwa rempah-rempah sesungguhnya adalah kekuatan kita yang tak bisa digeser oleh bangsa lain, jika kita menguasai sepenuhnya. Lalu timbul pertanyaan, kenapa ya pendidikan di negeri ini masih belum juga menyentuh ke pengembangan di sektor agraris yang justru adalah kekuatan kita sendiri? Makanya kami jadi kepikir kesini, setidaknya sekadar tahu tentang dunia rempah-rempah Mbak…hehehe”